Seperangkat Dusta 25
Adhitama menatap putrinya yang sudah rapi dengan tas putih di tangan. Satu bulan sudah berlalu setelah peristiwa tak mengenakkan itu terjadi. Senja sudah mulai kembali beraktivitas seperti biasa. Dukungan Sasa sahabatnya sangat membantu dia untuk memulihkan rasa percaya diri.
Satu bulan berada di villa dan dibatasi oleh Sony untuk berinteraksi dengan sosial media membuat Senja tertekan. Dengan bantuan sang papa akhirnya Sony sedikit melunak.
"Kamu nggak kasihan sama adikmu? Dia itu punya nama dan dikenal orang banyak. Media sosial adalah tempat dia berinteraksi selain di komunitasnya."
"Tapi itu akan membuat Byan kembali mendekati Senja, Pa. Sementara proses perceraian mereka saja masih menggantung karena laki-laki itu menolak menceraikan Senja." Sony tampak geram.
Adhitama meletakkan cangkir tehnya. Belakangan ini dirinya sering mendapati Senja termenung. Ketika ditanya dia hanya menggeleng dan kembali bercanda dengan Boby. Selama Senja di villa, setiap akhir pekan Adhitama selalu datang untuk sekadar membawakan makanan kesukaan sang putri.
Pernah suatu ketika dia mencoba bertanya tentang Byan, tetapi tak ada jawaban yang pasti keluar dari bibir putrinya.
"Sony."
"Iya, Pa?"
"Bagaimana kalau mereka masih saling mencintai?"
"Sony akan carikan pria lain yang lebih segalanya dari Byan, Pa! Soal cinta, Senja pasti bisa jatuh cinta lagi dengan yang lain. Dan laki-laki itu? Sony nggak peduli!"
Pria berambut kelabu itu menarik napas dalam-dalam. Jika ditanya siapa yang paling sakit saat mengetahui Senja tidak baik-baik, tentu dia orangnya. Terlebih anak perempuannya itu begitu banyak mendapatkan kekecewaan dalam hidup. Salah satunya adalah cara kepergian mamanya yang tidak semestinya.
Akan tetapi, dia juga tahu jika putrinya masih belum bisa melupakan Byan. Demikian pula dengan Byan. Beberapa waktu lalu suami Senja datang padanya dengan maksud ingin mengembalikan semua aset perusahaan yang pernah diserahkan kepada Byan.
"Maaf, Pa, apa saya masih boleh memanggil Papa?" tanya Byan ragu kala itu.
"Tentu saja. Tidak ada yang melarangmu."
Mata Byan berkaca-kaca. Dia kemudian meluahkan semua kegundahan hati termasuk tentang harapan pada pernikahannya.
"Byan, kalau masalah perusahaan, Papa tidak meminta, biar itu kamu kelola, anggap semuanya adalah memang milik papamu dan sekarang sudah menjadi kewajibanmu untuk meneruskan."
Adhitama mendekat, duduk di sebelah Byan.
"Tapi untuk masalahmu dengan Senja, itu murni urusanmu dengan anak Om, termasuk tentu saja Sony." Dia menepuk bahu sang menantu. Maaf, Om nggak bisa bantu soal itu."
"Byan mohon, Pa. Byan ingin memperbaiki semuanya. Byan sangat menyesal. Tolong, beri kesempatan, Pa."
Sebagai seorang ayah, tentu Adhitama tidak tega, apalagi dia juga melihat keadaan Senja. Anak perempuannya itu pun sebenarnya tak jauh beda, meski Senja tidak pernah mengakui, tetapi dia tahu betul apa yang sedang berkecamuk di kepala anaknya.
"Baik, Pa, kalau memang saya harus berjuang untuk mengembalikan semuanya, tapi apa Senja sekarang baik-baik saja?"
"Istrimu baik-baik saja. Dia sudah jauh lebih baik dari kemarin-kemarin. Percayalah, Byan, kalau kalian memang berjodoh, maka apa pun usaha untuk memisahkan kalian itu tidak akan bisa terjadi."
Adhitama menarik napas dalam-dalam mengingat obrolannya dengan Byan.
"Pa, jangan bilang Papa mulai berharap mereka kembali lagi. Papa nggak ingat bagaimana menderitanya Senja semenjak bersama laki-laki itu?"
Adhitama menarik napas dalam-dalam, kemudian mengangguk.
"Papa ingat, Papa cuma ingin adikmu bahagia. Papa juga tahu kamu sangat menyayanginya, kebahagiaan Senja tentu kebahagiaan kamu juga Papa."
Suasana ruang kerja Adhitama sepi sejenak.
"Kalau kamu pikir Senja akan bahagia dengan caramu, dan selama dia tidak protes ... Papa ikut aja."
**
Mengenakan celana denim dan blouse putih, Senja keluar dari kamar. Rambutnya dikuncir kuda dengan riasan wajah natural membuat penampilannya tampak segar.
"Mbak Senja mau ke mana?" sapa Nur. Nur adalah orang yang bekerja sudah lama di villa milik keluarga Adhitama. Perempuan yang sudah memiliki satu anak itu ditugasi untuk menjaga kebersihan bersama dengan suaminya, Jono.
"Aku mau ketemuan sama Sasa di kafe dekat sini, Mbak Nur."
"Tapi gimana kalau abangnya Mbak Senja nyari?"
Senja menggeleng. "Abang Sony sedang keluar pulau dalam satu pekan ini, jadi untuk sementara aman." Dia tertawa kecil karena bisa sedikit bernapas menghirup udara di luar villa.
"Hati-hati, Mbak."
Senja mengangguk lalu segera keluar karena taksi online-nya sudah tiba.
**
Sasa menyambut dengan pelukan hangat. Setelah sekian lama hanya bertukar kabar melalui ponsel, akhirnya untuk pertama kalinya mereka bertemu muka.
"Spaghetti carbonara?"
"Kesukaannya tuan putri," sambung Sasa. "Aku sengaja pesan karena aku yakin kamu pasti nggak nolak makanan yang satu ini. Iya, 'kan?"
Mereka berdua duduk menikmati hidangan, sesekali Sasa menatap Senja seakan menunggu rekannya itu bercerita tentang perasaannya. Namun, Senja sepertinya justru menunggu Sasa bertanya.
"Jadi gimana?" Sasa memindai Senja yang baru saja meletakkan sendok ke piring makannya.
"Gimana apanya?"
"Hubungan kamu dengan Byan."
Menarik napas dalam-dalam, dia membalas tatapan Sasa.
"Nggak ada."
"Nggak ada? Nggak ada apa maksudnya."
"Ya nggak ada perkembangan. Proses perceraian masih jalan di tempat, aku nggak bisa menghubungi Byan, dan aku rasa dia ...."
"Dia mengkhawatirkanmu." Sasa memotong ucapan rekannya.
Kening Senja berkerut.
"Mengkhawatirkan siapa?"
"Iya, Byan mengkhawatirkanmu, Senja!"
Tersenyum tipis, Senja meneguk blue punch di depannya.
"Entah kenapa sekarang aku sudah tidak peduli, Sa."
"Kamu yakin?" selidik Sasa.
Dia mengangguk. "Aku rasa begitu, mungkin karena kami sudah cukup lama nggak ketemu." Kali ini Senja tertawa kecil.
"Kamu sudah tidak mencintainya lagi?"
Senja terpekur. Pertanyaan Sasa itu sama persis dengan pertanyaannya sendiri. Apakah rasa itu sudah benar-benar hilang atau dia sedang berusaha berbohong pada diri sendiri?
"Senja?" Sasa menjentikkan jarinya tepat di depan wajah rekannya.
"Hmm? Kenapa?"
"Malah melamun. Kenapa? Kamu ragu dengan apa yang barusan kamu bilang?"
"Soal apa?" Mendadak Senja kehilangan konsentrasi.
"Naah, iya, 'kan? Sudah kuduga, kamu pasti sedang berusaha menyembunyikan perasaanmu lagi Betul?"
Tak ada jawaban dari Senja. Dia memilih mengaduk-aduk minuman segar miliknya.
"Senja, aku tahu kamu itu seperti apa. Ayolah! Jangan bohongi diri sendiri. Setidaknya jujur ke aku."
"Kamu tahu, Senja? Aku ke sini itu harus memastikan keadaan aman."
"Aman? Emangnya kenapa? Ada apa denganmu?"
Menarik napas dalam-dalam, Sasa menceritakan jika Byan yang hampir setiap hari menyambangi rumahnya. Suami Senja itu selalu berharap jika Sasa akan memberitahukan soal keberadaan sang istri.
"Sekarang, dia jadi bestie-nya Vito." Sasa meletakkan tangannya ke dagu. "Ternyata dia bisa juga dekat sama anak-anak," imbuhnya lagi.
"Juga Boby," timpal Senja sambil menahan tawa.
"Really?" Sasa membulatkan matanya.
Senja mengangguk kemudian bercerita seperti apa Boby berinteraksi dengan suaminya. Dari sorot mata Senja, Sasa menangkap jelas jika perempuan berhidung mancung itu masih memiliki perasaan cinta pada Byan.
"Nggak salah lagi."
"Apanya?"
"Nggak salah lagi, tebakanku benar, 'kan?"
"Soal?"
"Kamu masih memiliki perasaan itu. Kamu masih mencintainya. Kamu masih mencintai suamimu. Betul, 'kan, Senja Azalea Putri?" goda Sasa sembari menaik turunkan alisnya. "Kamu nggak bisa bohong ke aku."
Tak menjawab, Senja hanya bisa membuang napasnya perlahan. Sasa memang tidak pernah salah pada intuisinya. Terbukti beberapa kali rekannya itu sangat baik menerjemahkan apa yang tengah dia pikirkan meski beberapa kali Sasa memilih tidak mengatakan pada Senja.
"Tapi dia tidak ...."
"Dia mencintaimu, Senja. Sangat mencintaimu, meski pada awalnya dia memang sangat berengsek!"
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top