Seperangkat Dusta 23


Sementara itu Sony masih bertahan di ruang tengah bersama Mayla. Sang istri berusaha menenangkan suaminya dan mencoba mengajak Sony untuk menjauh.

"Kamu boleh marah dan kecewa, aku tahu perasaanmu, aku juga kesal dan sangat marah pada Byan, tapi Senja sudah dewasa, beri dia kepercayaan untuk menentukan sikapnya kali ini, Mas," ucapnya lirih. "Ayo kita masuk!"

Sony menarik napas dalam-dalam. 

"Byan!" panggilnya tegas. "Kamu kuberi waktu satu jam untuk berbicara dengan adikku. Setelah itu kamu boleh pergi tanpa dia! Paham?"

Byan tak menjawab. Baginya bisa bertemu Senja dan Sony tidak meninjunya saja sudah cukup baik. Tak ada pilihan lain bagi Byan selain mengangguk.

"Iya, Bang. Makasih."

"Senja, ingat apa kata Abang!" ujar Sony sebelum meninggalkan ruang tengah.

Kini hanya mereka berdua. Kecanggungan tampak pada keduanya, meski mereka berstatus suami istri.

"Aku ...." Mereka berdua mengucapkan kata yang sama, yang membuat keduanya semakin canggung.

"Kamu dulu aja yang bicara." Senja menurunkan Boby dari pelukannya.

"Nggak, kamu aja dulu." 

"Nggak, Mas. Mas Byan dulu."

"No, ladies first." Dia menggeleng cepat. Bibirnya terangkat saat Boby justru memutari kakinya.

"Hei, Boby, sini! Ingat, kamu nggak boleh ganggu ...."

"Nggak apa-apa. Satu pekan lebih bersamanya ternyata bukan hal yang buruk." Byan membungkuk lalu mendekap Boby. Seolah tahu jika suami Senja itu sedang jatuh cinta padanya, kucing itu pun bersandar manja di dada Byan.

"Sepertinya dia menyukaimu." Senja tampak takjub melihat pemandangan itu. Karena dia tahu jika sang suami bukan penyuka kucing.

"Eum ... kita duduk di ruang tamu aja, yuk!" ajak Senja. "Kamu mau minum apa?" tanyanya saat mereka berada di ruangan yang lebih besar dari ruang tadi.

Sejenak Byan diam. Dia berusaha menyingkirkan rasa gengsinya untuk kali ini. Pria itu teringat ucapan Leo tentang bekerja keras untuk memperbaiki hubungan pernikahan mereka, termasuk meyakinkan bahwa dia benar-benar tak bisa berpisah dengan sang istri.

"Eum ... apa aja, tapi ...."

"Tapi apa?"

"Aku kangen cappucino buatanmu," tuturnya lirih.

Mata Senja menyipit. Selama ini seingatnya dia hanya membuat kopi cappucino untuk Byan sekali saja saat hujan turun deras di senja hari. Ketika itu Byan baru saja tiba dari kantor.

"Kalau merepotkan, nggak usah. Apa saja aku mau asal kamu nggak keberatan dan nggak mere ...."

"Nggak! Sama sekali nggak merepotkan. Kamu tunggu sebentar," potongnya kemudian bangkit dari duduk. "Tapi kamu sudah makan?"

Byan mengangguk sembari mengucap kata, "Sudah."

Sepuluh menit kemudian, Senja muncul dengan secangkir cappuccino dan croissant keju. Dengan sopan dia mempersilakan Byan untuk menikmati.

"Kamu yang buat?" tanyanya setelah menggigit kudapan berasal dari Prancis itu.

"Nggak, aku beli." Senja tertawa kecil. Matanya memperhatikan gerak gerik Byan. Dia tahu Byan berbohong soal makan.

"Kamu bohong, 'kan, Mas?" tanyanya saat sang suami baru saja menghabiskan satu croissant dan menyesap kopinya.

"Bohong? Aku? Soal apa?"

"Soal makan. Kamu belum makan, 'kan?"

"Aku ... aku ...."

"Kenapa nggak makan? Kamu suka kalau kamu sakit?" Nada Senja terdengar kesal, tetapi justru membuat Byan lega. Itu artinya Senja masih mengkhawatirkannya, tidak seperti yang dia kira.

Sejenak ruangan besar itu sepi. 

"Senja."

"Ya?"

"Aku mohon kamu sudi memaafkan aku. Aku benar-benar minta maaf," tuturnya lirih. "Aku tahu pasti sulit bagimu untuk memaafkan aku. Karena semua yang kulakukan padamu sangat keterlaluan dan ...."

"Kamu nggak salah, Mas. Dalam hal ini apa yang sedang dan sudah terjadi adalah murni cara Tuhan untuk memberikan pelajaran bahwa kita harus lebih berhati-hati pada siapa pun." 

Perlahan Senja menarik napas. Kedua tangannya saling bertaut. Duduk berdua berdampingan dengan Byan adalah hal langka semenjak mereka menikah.

 Berbeda saat masih berpacaran, jika sudah duduk berdampingan mereka akan asyik berdiskusi tentang apa pun hingga lupa waktu. Sekarang mereka kembali duduk berdampingan, tetapi bukan dalam kondisi mengasyikkan. Kini mereka duduk dan membicarakan hubungan yang kusut dan sangat jauh dari kata baik.

"Aku akan menerima apa pun kemarahan yang ingin kamu luapkan padaku, sekarang atau selamanya. Aku siap menerima kemarahanmu asal ...." Byan menggantung kalimatnya. Dia mengusap Boby lembut sambil tersenyum.

"Asal apa?"

"Asal kamu jangan ninggalin aku. Aku nggak bisa." Suara Byan terdengar penuh penekanan. "Please, jangan tinggalin aku."

Ada sesak yang tiba-tiba muncul di dada Senja. Rasa sesal itu memenuhi dada hingga menjalar ke otak dan berakhir pada rasa panas di kedua matanya. Masih teringat bagaimana Byan menolaknya saat baru saja mereka menikah. 

Masih terdengar jelas ucapan Byan soal perasaannya kala itu. Jika dulu dia mencoba bertahan karena ingin tahu mengapa pria itu berubah, tetapi kini semuanya hanya menyisakan rasa sakit yang teramat sangat. Jika pun saat ini dirinya bersedia duduk bersama, itu lebih karena dia iba.

"Aku tahu, pasti papa dan abangmu tidak lagi sudi menerimaku, aku bisa terima itu. Karena aku sadar aku salah dan bodoh, tapi aku nggak akan bosan memohon agar kamu mau memaafkan aku, Senja." Kali ini suara Byan bergetar. "Kita mulai lagi dari awal, aku janji akan memperbaiki dan menebus semua kesalahanku." 

Byan memiringkan tubuh menghadap perempuan berbaju merah di sampingnya. Perlahan meski ragu dia mencoba meraih jemari sang istri dan merangkumnya dalam satu genggaman. "Please, kumohon."

Senja memang sangat mencintai Byan, bahkan sampai saat ini pun benih rasa itu masih ada, tetapi dia sudah memutuskan untuk membebaskan pria itu. Pria yang tidak pernah mencintainya. Pria egois yang pernah hadir dan pernah menjadi satu-satunya yang selalu ada dalam mimpi untuk membersamainya hingga akhir usia.

"Maaf, Mas. Aku telah begitu salah memilih menjatuhkan hati padamu. Dan apa yang terjadi ini kuanggap sebagai pelajaran besar bagiku bahwa jatuh cinta itu ternyata menyakitkan."

Byan memejamkan mata dan menggeleng ketika pelan Senja menarik tangan dari genggamannya.

"Ungkapan jujurmu bahwa kamu tidak pernah mencintaiku adalah hal paling menyakitkan yang pernah aku dengar dan kau rasakan. Bahkan lebih sakit dari kehilangan Mama." Satu persatu air mata jatuh membasahi pipi mulusnya. "Aku perempuan, Mas. Aku punya perasaan dan kamu tidak pernah menganggap aku ada, itu sudah cukup menghukumku atas kesalahan papa dan abangku menurutmu."

"Senja, maafkan aku. Aku bicara begitu karena aku bodoh dan tidak menyadari kalau sesungguhnya ternyata aku salah. Aku bicara begitu untuk menutupi apa yang sebenarnya sudah sangat lama aku rasa. Aku bicara begitu karena aku selalu dipengaruhi oleh cerita Om Romi yang ...."

"Dan kamu menjadikan aku sasarannya. Kamu juga berusaha membuatku kembali depresi setelah kematian Mama yang tidak wajar." Tangisnya pecah. 

"Belakangan aku tahu kalau mamaku depresi karena Om kamu itu terlalu terobsesi pada mamaku."

Napas Senja tertahan saat teringat ucapan Romi yang mengungkapkan betapa dia begitu menggilai sang mama. Meski papa dan Sony tidak pernah menceritakan secara gamblang, tetapi akhirnya dia tahu langsung dari Romi. Hingga dia sudah menemukan jawaban dari foto Romi yang dilingkari oleh papanya.

"Aku sendirian bertahan. Aku sendirian mencoba kuat, dan aku sendirian berusaha meyakinkan jika suatu saat kamu akan tahu kalau kamu salah." Senja mengusap pipinya.

"Kamu tahu apa soal sepi, Mas? Kamu tahu apa soal sendiri?" Matanya begitu menyiratkan kesedihan yang mendalam.

"Senja, aku ...."

"Kamu selalu merasa bahwa kamulah yang paling menderita, kamulah yang paling berhak untuk dikasihani, kamu merasa kamulah yang paling benar!" Senja memotong ucapan Byan. "Kamu tega mempermainkan aku dan perasaanku, Mas!" Bahunya bergetar menahan luap kesedihan dan amarah.

Tak tahan melihat luka hati Senja dan karena merasa sangat berdosa, Byan meraih bahu istrinya lalu membenamkan kepala Senja di dadanya. Akan tetapi, Senja berusaha melepaskan pelukan suaminya.

"Please, biarkan seperti ini sebentar. Biarkan aku memelukmu yang seharusnya aku lakukan kemarin-kemarin. Please, izinkan aku memelukmu, Sayang."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top