Seperangkat Dusta 22
Leo menahan tawa melihat Byan yang terlihat resah. Sejak datang menjenguk, berkali-kali Byan menyugar rambutnya. Matanya tampak letih.
"Kamu tenang aja, Bos, lenganku cuma keserempet peluru, dan akan segera pulih."
"Ck! Bukan kamu yang bikin aku resah, apalagi setelah melihat kamu baik-baik saja!" gerutunya. "Kamu tahu? Sekarang aku harus berhadapan dengan Senja dan tentu saja mertua dan kakak iparku."
Tawa Leo pecah, sambil memegang lengannya yang masih terasa sakit, dia mengangguk paham.
"Kamu pikir ini lucu, Leo? Aku bahkan tadi di kantor polisi nggak sempat bertemu dan berbicara dengan Senja. Dia pergi begitu saja bersama papa dan abangnya!" ungkapnya kecewa. "Aku tahu aku salah, tapi apa aku tidak berhak diberi ruang untuk mengucapkan maaf dan mengutarakan penyesalanku?"
Leo menarik napas dalam-dalam. Dia tahu apa yang dirasakan Byan. Dia juga paham seperti apa sebenarnya yang sedang berkecamuk di hati rekannya itu. Jika ada yang disalahkan tentu semua ini adalah kesalahan Romi, tetapi Byan juga bersalah karena begitu percaya apanya diucapkan pria itu meski dirinya berusaha untuk mengingatkan.
"Kamu harus hadapi, Bro! Selain itu kamu juga harus siap kehilangan." Leo menatap rekannya.
"Kehilangan?" Byan mengernyit. "Kehilangan apa maksudmu?"
Mendekat ke brankar, dia kembali mengulangi pertanyaan.
"Tadi mereka ke sini."
"Mereka?"
"Senja, papanya juga Sony."
Ekspresi Byan berubah tegang.
"Mereka bicara apa? Kenapa Senja tidak mengabari aku kalau ...."
Leo menyorongkan ponselnya. "Senja meninggalkan ponselnya tadi. Ponselnya habis baterai, dan kupikir dia tadi terburu-buru karena mertuamu harus beristirahat."
"Apa yang bakal kamu lakukan pada hubunganmu dengan Senja?" tanya Leo serius. "Apa kamu akan melepaskannya karena terbukti dia dan keluarganya sama sekali tidak memiliki andil atas kesulitan hidup yang kamu alami? Atau kamu akan mempertahankan meski kamu tidak memiliki rasa apa pun pada Senja?"
Byan menghirup udara dalam-dalam. Pertanyaan Leo membuat dadanya terasa sesak. Penyesalan memang selalu berada di akhir sebuah cerita, tetapi tentu saja ada banyak pelajaran yang bisa diambil darinya meski mungkin kita kehilangan kesempatan dari apa yang menyebabkan rasa sesal itu muncul.
"Mereka bicara apa padamu? Karena tidak biasanya kamu bicara seperti ini." Dia menatap Leo.
"Kamu tidak ingat apa yang pernah dikatakan Sony padamu saat kita berada di rumah mertuamu?"
Mengangguk-angguk, Byan berkata, "Aku ingat. Sangat ingat, dan itu yang kukhawatirkan, Leo."
"Kenapa?"
"Kamu khawatir berpisah dengan Senja atau soal perusahaan?"
Byan mengangkat wajahnya. "Kamu pikir aku laki-laki matre apa? Pertanyaanmu menambah rasa hinaku!"
Leo meringis. Dia tidak bermaksud untuk itu, dia tahu betul siapa Byan dan aset yang dia miliki. Pria itu sangat cerdas dalam berbisnis sehingga banyak anak perusahaan yang dia miliki tanpa sepengetahuan Romi. Jadi jika perusahaan yang Adhitama beri harus kembali padanya, itu tidak membuat Byan jatuh miskin.
"Aku pikir kamu harus berusaha keras kali ini. Berusaha keras untuk meyakinkan pada mertuamu, Sony dan tentu saja pada Senja, bahwa kamu benar-benar bisa menjaga dan melindunginya seperti yang seharusnya."
"Belakangan ini aku merasa Senja tidak membutuhkanku. Dia berubah."
Leo menarik bibirnya. "Meski aku bukan konsultan perkawinan, tetapi aku tahu tidak pedulinya Senja itu karena dia merasa kepeduliannya sia-sia."
"Tapi dia peduli padamu, Leo!"
Senyum Leo melebar. "Kamu cemburu karena Senja peduli padaku?"
Tatapan Byan berkilat tajam mendengar penuturan rekannya.
"Tenang, Bro." Pria yang duduk di brankar itu tertawa kecil.
"Byan, berhenti terus memojokkan Senja Meskipun kamu tidak mencintainya. Kamu tidak akan pernah menemukan perempuan setulus dia. Kamu tahu kenapa dia begitu menyayangi Boby?"
Byan teringat kucing kesayangan Senja.
"Boby? Dia belum makan sejak kemarin! Aku pulang dulu, Leo! Kamu kalau sudah boleh pulang kabari, ya. Semua urusan administrasi hubungi aja Nuke!"
"Eh, bentar, Byan! Aku belum selesai bicara!"
"Bicara apa lagi? Boby belum makan dan ... aku bisa lebih sial lagi nanti kalau sampai terjadi sesuatu pada kucing itu!"
"Sial?" Leo heran. "Setahuku kamu bukan penyuka kucing, 'kan?"
Byan diam sejenak. "Memang, tapi itu dulu. Sekarang aku tahu kenapa Senja sangat mencintai Boby dan ... kupikir aku juga jatuh cinta padanya."
"Pada Boby?" Pertanyaan Leo terdengar meledek.
"Kamu yakin mencintai Boby atau pemiliknya?"
Tak menjawab, Byan gegas keluar dari ruangan tempat Leo dirawat. Sementara Leo menatap punggung rekannya itu sembari tertawa kecil.
"Selamat berjuang, Byan!" gumamnya lalu kembali berebah.
**
Senja menurut saja saat Sony menganjurkan agar dirinya tinggal untuk sementara waktu di villa mereka.
"Lebih cepat kamu berangkat lebih baik. Untuk urusan Byan biar Abang yang ngurus. Kamu terima beres!"
"Terima beres maksudnya?"
"Abang sudah menyiapkan pengacara untuk mengurus perceraian, kamu tinggal tanda tangan saja dan tidak perlu hadir di persidangan!"
Mayla menatap adik iparnya. Selama ini dia tahu seperti apa perasaan Senja terhadap Byan, tetapi dia juga ikut merasa sakit saat adik iparnya dijadikan alat untuk membalaskan dendam.
"Mas Sony, apa nggak sebaiknya mereka kita beri kesempatan dan ruang untuk bertemu dan saling bicara?" usul Mayla.
Sony menelisik adiknya. "Apa kamu butuh berbicara dengan dia? Apa dia masih penting bagimu?"
"Ada hal lain yang harus aku urus, Bang. Bukan soal perasaan, tapi aku harus ke rumah kami untuk mengambil Boby."
Sony menghela napas lega. "Cuma itu?"
Senja mengangguk.
"Dan ... ponselku."
"Ponsel?"
"Iya, ponselku ketinggalan di rumah sakit tempat Leo dirawat."
"Kalau soal ponsel, biar nanti Abang yang ambil, dan soal kucing biar Mbok Sri atau si Udin yang urus!"
Seperti yang diduga Senja sebelumnya, Sony tidak mungkin membuat celah baginya untuk bisa bertemu Byan. Meski sebenarnya dia juga enggan, tetapi biar bagaimanapun dirinya masih istri Byantara Dewandaru.
"Tapi, Mas, Senja itu masih istri Byan. Mereka masih berstatus suami istri. Kamu nggak bisa egois gitu, dong." Mayla mencoba memahami apa yang sedang berkecamuk di hati Senja.
Sejak kenal dengan Byan, Senja sering bercerita tentang pria itu hingga akhirnya mereka dekat dan memutuskan untuk menikah. Dari kisah yang diceritakan, Mayla bisa memahami sedalam apa perasaan Senja untuk Byan.
"Suami? Laki-laki seperti Byan itu tidak pantas dikatakan sebagai suami, May! Dia hanya menjadikan adikku alat dan itu sangat menyakitkan bagiku!"
"Dia juga tidak mencintai Senja, jadi untuk apa lagi? Apa lagi yang membuat Senja bertahan," imbuhnya menatap lembut pada sang adik.
"Kita belum tanya ke Senja seperti apa yang dia inginkan, Mas Sony. Suara Senja juga butuh didengar, Mas." Mayla terlihat emosional karena dirinya menempatkan diri sebagai sesama perempuan. "Kita tanya apa yang diinginkan Senja. Kalau dia ingin pisah, kita bantu, tapi kalau dia ingin tetap bersama Byan, dan itu bahagianya, apa mas rela memutus perasaan itu?"
Sony tampak berpikir. Kemudian dia kembali menatap Senja.
"Senja, Abang sudah salah dengan membiarkan kamu menikah dengan Byan, sekarang Abang mau kamu bahagia dengan meninggalkan pria pecundang itu! Apa pun alasannya, kamu harus mengakhiri hubungan tidak sehat ini!"
"Abang mau kamu menurut apa yang Abang katakan. Berhenti berhubungan dengan Byan mulai saat ini!"
Senja mengatupkan bibirnya, membantah Sony sama artinya dengan melukai pria kedua setelah sang papa yang paling mencintainya. Sony adalah temannya saat Adhitama harus bepergian ke luar negeri atau ke luar kota saat itu. Sony adalah kakak yang begitu melindungi dan mengkhawatirkan dirinya di mana pun berada. Bahkan Sony memilih menemaninya ketika sakit daripada menghadiri pesta ulang tahun Mayla kala itu.
Jika sekarang Sony merasakan sakit hati, itu adalah hal wajar karena dalam kesepian, mereka berdua selalu bersama, bahkan saat Senja dibully karena sang mama bunuh diri, Sony adalah orang yang paling berani menghadapi apa pun asal Senja kembali merasa nyaman.
"Maaf, Mbak Senja, di luar ada Mas Byan." Mbok Sri muncul di tengah-tengah mereka.
Mendengar nama sang suami, ada debar di dada Senja. Dia khawatir Sony akan menghajar pria itu.
"Biar aku yang temui! Kamu masuk kamar!" titahnya menatap tajam. "Mayla, temani Senja!"
Istri Sony itu menatap sendu pada adik iparnya. Air menggenang terlihat di mata Senja. Perempuan yang biasanya terlihat kuat itu akhirnya tak bisa menyembunyikan kegundahannya.
"Tapi, Mas, bagaimana kalau kita biarkan Senja bertemu suaminya, tapi kita temani," usul Mayla.
"Nggak. Biar aku saja." Sony bangkit dari duduknya. "Suruh dia masuk, Mbok!"
"Senja!" Suara Byan terdengar. Pria itu sudah berada di dekat guci yang terletak antara ruang tamu dan ruang keluarga.
Sorot matanya sendu dengan Boby dalam gendongannya. Melihat Boby, mata Senja berbinar, refleks dia menghampiri demikian pula dengan Boby. Kucing gembul itu berlari ke dalam pelukannya.
"Boby, i miss you so much!"
Bibir Byan tertarik melihat bahagianya sang istri bertemu kucingnya.
"Makasih, Mas, kamu sudah merawat Boby dengan baik."
Senja menatap Byan yang menurutnya selama dia kenal baru kali ini pria itu terlihat sangat berantakan. Pipinya sedikit tirus dengan mata lelah. Kilas peristiwa saat di rumah Romi kembali muncul. Ada rasa iba kala dia mengabaikan panggilan Byan, karena dia justru mengkhawatirkan Leo.
"Kamu kurusan." Air mata Senja luruh saat mengatakan hal itu.
"Kamu juga," tutur Byan masih dengan senyum. Ingin rasanya dia mengusap satu titik air mata yang jatuh di pipi sang istri, tetapi dirinya merasa sangat berdosa dan malu bahkan untuk menyentuh Senja. Dirinya belum siap untuk sebuah penolakan karena perlakuannya kepada sang istri selama ini.
**
Mau tambah part lagi nggak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top