Seperangkat Dusta 21
Tawa Romi makin keras, sambil menggeleng dia berucap, "Jadi dia juga mengatakan kalau istrimu ada bersamaku? Hebat sekali dia!"
"Om! Cukup! Aku sedang tidak ingin berbicara atau berdebat apa pun lagi. Katakan, di mana Om sembunyikan Senja!"
Romi bertepuk tangan dia kali. Dari dalam muncul tiga orang salah satunya menyeret Leo. Rekan Byan itu tampak berdarah di sudut bibir dan hidungnya. Melihat pemandangan tak menyenangkan itu, Byan mendekat dan segera menarik rekannya perlahan.
"Om tidak sungkan-sungkan untuk menghabisi siapa saja yang berani memasuki daerah kekuasaan Om! Termasuk temanmu itu dan tentu saja kamu!"
"Byan, aku rasa Senja ada di sini, tapi aku nggak tahu di mana tepatnya," bisik Leo.
Sejenak Byan menoleh ke rekannya, kemudian berteriak memanggil nama Senja dan merangsek masuk meski dihalangi. Pria berkemeja putih itu terus memanggil nama sang istri dengan suara keras sambil memasuki setiap ruangan dan menggedor kamar-kamar yang terkunci.
"Senja! Kamu di mana? Senja! Ini aku, beri aku petunjuk di mana kamu, Sayang!" Langkah Byan berhenti karena kedua tangan dan kakinya di tahan oleh anak buah Romi.
"Kamu pikir kamu bisa menemukan Senja di sini?" Romi muncul dari belakang seraya mengepulkan asap rokoknya. "Bawa mereka ke ruangan bawah tanah!"
Byan tentu saja tidak tinggal diam saat mendengar titah Romi, dengan sekuat tenaga pria pemegang sabuk hitam taekwondo itu mengeluarkan segenap kemampuannya untuk melawan, pun demikian dengan Leo.
Di tengah-tengah perkelahian sengit itu terdengar suara sirine polisi yang sudah pasti menyebabkan kepanikan Romi dan anggotanya. Mereka lantas lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
"Leo, ruang bawah tanah! Cari ruang bawah tanah. Aku rasa Senja ada di sana!" Byan berusaha memisahkan diri dari kepanikan anggota Romi. "Kamu lapor polisi?" tanya Byan.
"Aku merekam semuanya tanpa mereka tahu, dan mengirimkan ke Om Sentot!" papar Leo sembari mencari ruang bawah tanah yang dimaksud Romi.
Suara tembakan bersahutan, karena Romi berusaha membela diri. Di saat Byan dan Leo mencari ruang bawah tanah, tiba-tiba Romi muncul di depan mereka dengan menodongkan pistol tepat mengarah ke Byan.
"Mau ke mana kalian?" Mata Romi nyalang memindai suami Senja itu.
"Om keterlaluan! Om sembunyikan di mana Senja?"
Romi tak menjawab, karena dari arah lain, seorang anggota polisi telah mengarahkan senjata padanya. Pria paruh baya itu seakan gelap mata, secepat kilat peluru muntah dari pistolnya, tetapi secepat kilat pula Leo mendorong Byan hingga dialah yang terkena tembakan dari Romi.
"Leo!" Suara yang sangat dikenal Byan tiba-tiba muncul dengan tangan terikat dari salah satu kamar yang terletak tak jauh dari tempat keributan.
Polisi segera meringkus Romi setelah pria itu terkena timah panas, kemudian membawanya pergi.
"Senja!" seru Byan. Matanya menyiratkan kerinduan sekaligus rasa lega.
Seperti tidak peduli dengan perasaan Byan, Senja menatap suaminya.
"Tunggu apa lagi? Cepat telepon ambulans!"
Byan mengangguk sementara Leo meringis memegang lengannya yang berdarah.
**
Adhitama memeluk putrinya erat sembari mengusap pipi Senja yang basah. Mereka baru saja keluar dari kantor polisi untuk memberikan keterangan. Sementara Byan masih di dalam dan masih diinterogasi.
"Papa khawatir banget kamu kenapa-kenapa," tuturnya.
"Senja nggak apa-apa, Pa, cuma ...."
"Cuma apa?"
"Senja masih shock dan takut banget waktu denger suara tembakan."
Adhitama mengangguk paham, dia mengusap puncak kepala putri kesayangannya itu. Tak lama muncul Sony.
"Kita pulang sekarang?" tanyanya tersenyum lebar setelah memeluk adiknya.
"Senja?" Adhitama menoleh seolah meminta persetujuan.
"Senja ikut pulang, Pa, tapi mampir ke rumah sakit, ya."
Mengernyit Sony bertanya, "Ke rumah sakit?"
"Iya, Senja ingin tahu kondisi Leo."
"Oke, ayo!"
Mengangguk, Senja menoleh ke belakang. Hati kecilnya ingin menunggu Byan, tetapi dirinya teringat bagaimana pria itu pernah sedemikian rupa membenci keluarganya membuat Senja hanya menarik bibir singkat kalau melangkah mengekor papa dan sang kakak.
"Jadi kita makan malam di mana? Untuk merayakan kembalinya Senja, Pa?" tanya Sony dengan paras gembira. "Sony sudah telepon Mayla, dia sudah dalam perjalanan ke rumah."
Adhitama menepuk bahu putrinya.
"Kamu tanya ke Senja, dia mau makan malam apa dan di mana. Karena sepertinya dia terlihat lebih kurus."
"Apa pria itu tidak memberimu makan?" Sony menatap Senja sebelum mereka semua masuk mobil.
"Om Romi hampir setiap hari memberiku steak daging dengan tingkat kematangan sedang seperti kesukaan Mama." Mata Senja terlihat sedih saat mengatakan hal itu.
Menarik napas dalam-dalam, Sony segera memberi isyarat agar Senja masuk setelah sang papa terlebih dahulu sudah berada di mobil.
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Senja dicecar banyak pertanyaan Sony. Hingga Adhitama menyela.
"Adikmu sudah cukup lelah ditanya polisi tadi
Sekarang biarkan dia istirahat sejenak."
"Tapi, Pa, ada hal penting yang harus Senja tahu, 'kan?" Dia menoleh ke Adhitama yang duduk di sampingnya.
"Apa, Bang?" tanya Senja yang berada di kursi belakang.
"Soal kamu dan pernikahanmu," jawab sang kakak dari balik kemudi.
Senja menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan seolah tahu apa yang akan dikatakan oleh Sony.
"Kami nggak yakin dan nggak rela kamu dijadikan alat oleh Byan. Ya meskipun mungkin sekarang Byan sudah tahu cerita sesungguhnya, tapi kami rasa untuk apa kamu meneruskan hubungan jika tidak ada dasar yang kuat," bebernya panjang lebar.
"Maksud Abang?"
Sony mengurangi kecepatan karena jalanan mulai macet.
"Senja, Papa ingin kamu bahagia. Papa juga abangmu ingin kamu memiliki seseorang yang benar-benar mencintaimu karena kamu dan semua yang ada padamu. Bukan karena kamu anak siapa dan adik siapa. Bukan karena masa lalumu seperti apa dan bukan karena masa depanmu akan bagaimana." Adhitama angkat bicara.
Sejenak suasana di dalam mobil senyap. Meski Senja tahu ujungnya akan seperti ini dan dia pun sudah menyiapkan 'amunisi' untuk itu, tetapi rupanya hal tersebut tidak semudah yang dia bayangkan. Terlebih tadi saat tanpa sengaja dirinya mendapati jika kedua mata Byan tidak berpaling darinya.
Tidak dipungkiri oleh Senja jika hatinya memang benar-benar telah terpasung pada jiwa dan raga Byan. Semestanya memang ada pada pria yang memiliki mata tajam dengan bulu-bulu halus di dagunya. Hatinya memang sudah terkunci untuk pria yang memiliki senyum misterius, tetapi benar-benar membuat dirinya memiliki rasa rindu.
"Kalian harus berpisah! Karena Abang sudah mengatakan hal itu padanya."
Ucapan Sony membuat mata Senja membelinya.
"Maksud Abang? Mengatakan apa?"
"Abang nggak rela jika kalian kembali bersama." Sony menambah kecepatan setelah terlepas dari kemacetan.
"Jauh sebelumya Abang sudah curiga akan begini jadinya, tapi karena Abang lihat kamu begitu mencintai Byan, Abang berusaha untuk berpikir positif, tapi sayangnya kekhawatiran itu terjadi, dan maaf kalau akhirnya Abang memintamu untuk berhenti mencintai pria pengecut itu!"
Senja mengatupkan bibir. Kedua tangannya saling bertaut. Cincin pernikahannya masih melingkar indah. Cincin platinum yang dia dan Byan pesan khusus waktu itu. Cincin berdesain hati separuh bertuliskan nama Byan itu menjadi saksi indahnya impian Senja kala itu.
"Kenapa harus separuh?" tanya Senja saat mereka berdiskusi tentang cincin.
"Karena separuhnya lagi ada padamu." Byan tertawa kecil sembari mencubit gemas hidung mancung Senja.
"Kenapa juga kamu memilih cincin platinum bukan emas?"
"Karena beberapa faktor, di antaranya platinum merupakan logam mulia yang langka, tidak berubah bentuk maupun warna. Aku berharap kita akan seperti itu. Karena kamu tahu, 'kan? Lembaga pernikahan sekarang seperti tidak ada harganya. Perceraian begitu mudah dilakukan, pun demikian pula dengan pernikahan, tapi ... mereka hanya memikirkan tentang bahagia, padahal menikah itu bukan hanya bicara tentang menerima bahagia, tetapi bagaimana bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam kesempitan," jelasnya panjang lebar dan itu sangat cukup untuk Senja menjadi begitu yakin.
"Aku nggak nyangka kamu memilih cincin dengan memikirkan hal sejauh itu. Sejak kapan kamu punya pandangan seperti itu?"
"Sejak kenal kamu."
Senja tak sanggup menahan tawa. Dia dan Byan terbahak membuat beberapa pengunjung di kafe langganan mereka mengalihkan perhatian kepada mereka berdua.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top