Seperangkat Dusta 20


Leo menarik tangan Byan yang berdarah karena berkali-kali meninju tembok. Sepulang dari rumah Adhitama, Byan terlihat sangat kacau sehingga Leo-lah yang mengambil alih menyetir meski dirinya masih belum sepenuh bisa mengatasi trauma.

"Mau sampai hancur pun tanganmu, tidak bisa dengan cepat menemukan Senja, jadi saranku berhenti melukai dirimu sendiri. Sekarang kamu harus bisa menemukan istrimu lebih dahulu." Leo mengajak Byan duduk.

"Apa kamu memiliki pikiran yang sama denganku, Leo?"

"Soal?"

"Senja."

"Iya, dan aku lebih yakin setelah mendengar penjelasan dari Sony juga mertuamu. Aku merasa Om Romi ada di balik hilangnya Senja." Leo menatap rekannya lekat.

"Jadi apa yang harus aku lakukan? Apa aku ke rumah Om Romi sekarang?"

Leo tersenyum tipis, sambil menggeleng dia berkata, "Kamu kamu sedang cemas selalu begitu. Nggak bisa berpikir jernih."

"Aku nggak pernah secemas ini, Leo! Aku harus ke rumah Romi sekarang!" Bergegas dia bangkit, tetapi Leo menghalangi langkahnya.

"Kamu jangan gegabah, lagipula ini masih prasangka, bukan?"

Byan mencoba menghindari Leo yang berdiri di depannya. Ketakutan dan kekhawatirannya semakin memuncak saat sadar jika dirinya telah salah menduga. Byan merasa dirinya terlalu bodoh karena percaya begitu saja dengan ucapan Romi tanpa mencari tahu hal yang sebenarnya. 

"Aku harus bertemu Om Romi, Leo. Mungkin aku bisa menemukan jawaban di mana Senja berada."

"Aku ikut, aku khawatir kamu marah dan lepas kendali."

Dia membiarkan Leo kembali ikut. Biar bagaimanapun Byan tahu dirinya memang butuh teman untuk menghadapi Romi dan tentu saja anak buahnya.

**

Romi tersenyum melihat Senja. Meski terlihat pucat,  perempuan itu mencoba kuat. Disekap oleh Romi membuat dirinya tahu banyak seperti apa masa lalu pria paruh baya itu dan bagaimana hubungannya dengan sang papa.

Senja bukan perempuan lemah yang hanya menangis dalam keterpurukan, tetapi disandera oleh Romi adalah kesempatan baginya untuk tahu lebih dalam alasan Byan mengapa melimpahkan dendamnya.

"Ayolah! Kamu harus makan, apa makanan yang disediakan kurang lezat? Atau tidak memenuhi seleramu, Monica?" Seringai muncul di bibir Romi. "Kamu sudah tidak aku ikat seperti kemarin-kemarin karena sikapmu yang manis, tapi kenapa kamu makan hanya sedikit? Heum?" Pria berkemeja abu-abu itu mendekat.

"Aku bukan Monica, Aku Senja! Sudah kukatakan berkali-kali aku Senja!" bentaknya sembari membuat jarak. "Jangan mendekat!"

Tawa Romi meledak. Sembari mengusap rokoknya dia terus mendesak Senja hingga ke tembok.

"Monica! Kamu persis Monica," bisiknya dengan tangan mencoba mengusap pipi Senja.

"Stop!" Kembali dia membentak. "Menjauh dariku atau aku teriak!"

Tawa Romi kembali membahana. "Teriak? Teriak saja! Kamu lupa kamu ada di mana? Tidak ada seorang pun yang tahu tempat ini bahkan Byan sekali pun!"

Senja membasahi tenggorokannya. Dalam ketakutan dia masih sempat berpikir betapa bodohnya sang suami yang dengan mudah dikelabui oleh Romi. 

"Bicara soal Byan, dia anak yang baik, bahkan sangat baik!" Romi terkekeh geli. "Baik, tetapi bodoh!" imbuhnya. "Kamu berdua akan jadi tambang emas buatku dan ... Adhitama tentu saja!"

"Berapa yang Om minta?" tantangnya mengesampingkan dadanya yang mulai sesak karena asap rokok. "Kenapa Om nggak langsung bicara ke Papa?"

Alis Romi terangkat. "Bicara ke papamu? Bicara ke pria yang telah mengambil seluruh hidupku? Kamu mau dia langsung tak bernyawa?"

Kembali Senja membasahi tenggorokannya. Sedemikian benci Romi ke sang Papa. Akan tetapi, tentu saja dia tidak begitu saja percaya cerita itu, karena selama ini papanya tidak pernah menceritakan apa pun tentang masa lalunya."

"Adhitama mengambil Monica dariku, dia menghancurkan bisnis yang kubangun susah payah bersama ayah Byan hingga kami jatuh miskin! Lalu ... dia meninggalkan dan mencampakkan kami seperti sampah! Dasar manusia licik!"

"Tidak! Papaku bukan orang seperti itu! Kamu pembohongan, Om!" Senja berusaha berteriak sekuat tenaga, tetapi sia-sia karena dua orang anak buah Romi masuk ke ruangan itu dan menariknya kasar.

"Kamu tidak boleh begitu, Monica." Romi terkekeh. "Meski aku suka kalau kamu sedang marah, tetapi aku lebih suka kalau kamu bersikap manis." Dia lalu memberi isyarat agar kedua anak buahnya menjauh.

"Oke, sepertinya aku harus menelepon seseorang. Kamu makan yang banyak! Karena kalau kamu sakit, kamu sendiri yang rugi!"

**

Mengabaikan orang-orang Romi, Byan menerobosnya masuk. Matanya nyalang menatap setiap sudut rumah pria yang sudah dia anggap orang tua itu.

"Mana Romi!" hardiknya pada salah satu anak Romi.

"Bos Romi sedang tidak di sini, Mas!"

"Oh, kalau dia tidak di sini, kenapa kalian menghalangi aku masuk tadi?" selidiknya.

Byan menyeringai. "Atau kalian sedang menyembunyikan sesuatu?" Dia menarik kasar kerah baju pria yang memiliki tinggi sebatas lengannya. "Katakan! Di mana Romi!"

"Maaf, Mas, saya nggak tahu."

"Kamu bohong!" Hampir saja pria itu terkena tinju dari Byan, jika tidak dicegah Leo.

"Sabar, Byan. Dia bilang tidak tahu, 'kan?"

"Nggak! Aku yakin dia tahu, hanya memang Romi memerintahkan untuk tidak mengatakan apa-apa."

Byan mengayun langkah mengikuti kata hatinya. Rumah Romi memang sangat besar. Ada banyak anak buah dan pelayan di tempat itu dan tentu saja banyak ruangan yang bahkan sampai detik ini Byan belum pernah menyusuri satu persatu ruangan di rumah Romi. 

"Romi, keluar! Keluar kamu!" teriaknya saat dia orang bertato dan berperawakan garang menghadangnya dan Leo.

Tanpa diduga oleh rekannya, Byan melakukan perlawanan hingga terjadi duel antara anak buah Romi dan Byan. Melihat Byan diserang, Leo tak tinggal diam. Beruntung dirinya sudah bisa dikatakan pulih sehingga bisa membantu Byan yang terdesak.

"Berhenti!" Suara Romi muncul dari lantai atas. Matanya menyipit melihat Byan dan Leo tengah menatapnya penuh amarah.

Dengan kepalanya, Romi mengisyaratkan agar anak buahnya meninggalkan tempat itu. Bibirnya menyeringai kemudian mengisap rokoknya dalam-dalam. Dengan langkah santai dia menuruni anak tangga.

"Ada apa denganmu, Byan? Kenapa semarah itu? Apa salah anak buatku?" tanyanya setelah duduk di sofa besar berwarna hitam yang terletak di ruang tengah. "Duduk!" Romi mempersilakan keduanya.

Tangan Byan mengepal matanya berkilat amarah, dia menolak untuk duduk seperti titah Romi.

"Katakan, Om, kenapa Om berbohong padaku? Kenapa Om tega mengarang cerita hingga aku begitu membenci mertuaku? Kenapa!"

Mata Romi membeliak lalu tertawa mengejek.

"Kamu dapat cerita dari Adhitama? Dan kamu langsung percaya?"

Kembali menyeringai, Romi menggeleng cepat.

"Kamu lupa siapa aku? Berapa lama kamu aku hidupi dan biayai? Dan sekarang dengan mudahnya kamu memercayai orang yang kamu panggil papa itu?"

"Om, jawab saja kenapa Om tega membuat cerita bohong? Kenapa!"

Romi terkekeh bahkan semakin keras. "Tega? Tentu saja! Kenapa tidak? Aku tega karena baik ayahmu dan Adhitama sama busuknya! Dan kamu? Kamu rupanya tidak mengerti caranya berterima kasih?" 

"Berterima kasih? Berterima kasih untuk apa? Untuk kuliahku yang Om biayai? Untuk hidup sehari-hariku yang Om bilang Om cover?" Byan membalas sengit. Sementara Leo tak terlihat di sampingnya lagi. "Om bohong, 'kan? Uang yang sedianya untukku dan ibu waktu itu Om ambil alih, Om ambil semua yang jadi hakku dan ibuku, 'kan?" Amarahnya meledak.

Romi semakin terbahak. "Lalu apa lagi cerita Adhitama padamu? Apa dia juga cerita jika istrinya bunuh diri karena tak tahan hidup dengannya?"

Byan menggeleng. "Itu bukan urusanku, Om! Urusanku sekarang mencari Senja. Katakan! Di mana istriku!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top