Seperangkat Dusta 2
Satu jam sudah Senja mematung di dalam kamar. Kamar yang luas dan nyaman itu lebih terasa bak penjara baginya. Seharusnya malam ini dia bisa menghabiskan malam dengan Byan seperti layaknya pengantin baru, tetapi kenyataannya dia bahkan tidak tahu kenapa suaminya memperlakukan seperti ini.
"Buka pintunya, Senja!" Suara bariton terdengar dari luar disertai ketukan.
Gegas Senja menghapus air matanya dan melangkah menuju pintu. Byan mengenakan kaus polo shirt putih dengan celana cargo-nya berwarna cokelat.
Melihat mata sembab Senja, Byan hanya menyeringai tanpa ingin tahu kenapa.
"Aku nggak mau papa dan abangmu curiga kalau nanti melihat kamu kurus! Pasti mereka berpikir aku nggak ngasi kamu makan!"
"Kamu sejak tadi belum ganti baju? Di lemari ada baju apa pun yang kamu mau! Dan semuanya baru! Cepat ganti pakaianmu!"
Senja menatap Byan. Tampak genangan di mata indahnya.
"Tolong jawab, kamu kenapa, Byan? Apa mau kamu?" Air matanya menetes. "Aku salah apa? Kamu nggak pernah bersikap seperti ini ke aku. Kamu kenapa?"
"Kamu dengar apa yang aku perintahkan tadi? Ganti pakaianmu, dan segera ke dapur!"
Senja menajamkan matanya mendengar titah Byan.
"Aku? Aku ke dapur?"
"Iya! Kenapa? Nggak bisa masak? Atau kamu keberatan memasakkan aku?"
Perempuan berhidung mancung itu memejamkan matanya sejenak sembari mencoba menenangkan diri. Memasak mungkin dia bisa, meski tidak mahir, tetapi yang terjadi benar-benar di luar apa yang biasa dibayangkan setiap perempuan di hari pertama menikah.
"Aku yakin kamu akan jadi pengantin perempuan yang paling bahagia, Senja!" Ucapan Sasa terngiang sesaat setelah dia mengenakan gaun rancangan rekannya itu. "Eh! Jangan lupa, kamu harus sematkan kata mas di depan nama suamimu!"
"Cepat! Aku tunggu di ruang makan!" suara Byan menyadarkannya.
"Tunggu!"
"Kenapa?"
"Aku bukan perempuan yang mahir memasak, 'kan aku sudah pernah cerita soal ini. Kalau masakanku nggak enak gimana?"
"Kamu bukan perempuan yang baru keluar dari peradaban kuno, 'kan? Ada banyak resep di internet yang kamu bisa coba!"
Tak menunggu respon dari istrinya, Byan melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.
"Iya, aku lupa nggak manggil Byan dengan sebutan Mas Byan. Oke, thanks sarannya, Sa!" gumamnya sambil menutup pintu kamar.
**
Mengenakan baju sebatas lutut berwarna ungu tanpa lengan, Senja terlihat sangat menarik, terlebih ketika dia mengenakan celemek dan membiarkan rambutnya tergerai. Siapa pun pasti sepakat jika Senja benar-benar perempuan yang sangat memikat.
"Mas Byan aku cuma bisa masak telur goreng untuk malam ini, apa kamu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir.
Mendengar Senja memanggilnya dengan kata mas, sejenak Byan menoleh.
"Kamu masak apa yang kamu mau dan bisa!" sahutnya kembali menatap gadget.
Terlihat paras lega Senja. Perlahan akhirnya telur dadar dan acar timun sudah selesai dibuat. Berkali-kali dia tersenyum ketika melihat sang suami masih duduk di kursi meja makan.
Senja berharap mereka akan berbincang panjang selepas makan malam, sehingga dia tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Byan suaminya.
"Sudah selesai?"
"Sudah, Mas. Aku ambilkan nasinya."
"Nggak usah! Kamu aja yang makan!" cegahnya lalu bangkit dari duduk.
"Kok nggak usah? Kenapa? Kamu bilang kalau aku boleh masak apa aja. Atau kamu nggak suka?"
"Nggak! Betul, aku bilang kamu masak apa aja terserah, karena aku nggak akan pernah memakannya! Kamu makan sendiri, habiskan sesukamu!"
"Kamu mau ke mana, Mas?"
"Keluar! Ada urusan dan sepertinya aku pulang malam. Kamu kunci aja rumah, aku bawa duplikatnya!"
Lagi-lagi Senja tak dapat berkata-kata. Dia berdiri mematung di depan piring kosong yang sedianya untuk Byan. Pipinya kembali basah oleh air mata. Terlebih setelah mendengar deru mobil menjauh.
"Kamu yakin kalau Byan itu serius dan mencintaimu?" Suara Sony muncul di memorinya.
"Yakin, Bang! Byan itu pria yang berbeda! Dia memiliki wawasan luas, tapi nggak banyak gaya. Nggak tebar pesona! Pokoknya tipe Senja banget!"
"Abang tenang aja deh! Kata Papa, kalau Senja sudah yakin, Papa juga yakin, jadi ... Abang nggak usah khawatir. Okey!"
Kilasan obrolan saat itu dia benar-benar yakin, bahkan dengan penuh percaya diri, dia meminta agar Sony tidak lagi mencemaskannya.
Menatap kosong pada hidangan di meja, Senja mengusap pipi. Bahunya bergetar menahan isak dan luka yang baru saja ditorehkan Byan.
Dia tak pernah menyangka jika pria yang selalu bersikap manis itu berubah 180 derajat. Bahkan siapa pun tak akan percaya jika mengetahui perubahan sikap Byan padanya.
'Aku nggak tahu salah aku apa, sehingga Mas Byan bersikap seperti itu padaku. Aku bahkan tidak diberi ruang untuk sekadar bertanya kenapa.' Batin Senja.
Perempuan berkulit putih itu telah kehilangan selera makan meski sejak sore perutnya belum terisi. Setelah menutup hidangan di meja depan tudung saji, dia kembali ke kamar dengan mata yang masih berair.
**
Hangat mentari menembus mauk lewat celah ventilasi. Senja yang baru terlelap setelah Subuh mengerjapkan mata perlahan. Sejenak dia mengumpulkan kesadaran. Matanya membulat saat sadar jika semalam Byan tidak pulang.
Gegas Senja bangkit dari rebah, mencepol rambutnya asal lalu keluar kamar. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. Terlihat paras Senja resah, dia mengayun langkah ke ruang tengah. Bibirnya sedikit melebar dan menghela napas lega saat melihat Byan terlelap di sofa dan masih mengenakan pakaian semalam.
Perlahan Senja mendekat. Pria beraroma maskulin itu benar-benar sudah menyita seluruh semestanya. Meski kini dia harus menghadapi kejutan yang sama sekali tidak pernah terlintas sebelumnya. Namun, hal itu sama sekali tidak melunturkan perasaan yang dia miliki untuk Byan. Yang dia tahu, Byan juga mencintainya.
Senja sedikit mundur saat pria itu menggeliat. Seakan teringat sesuatu, Senja kembali ke kamar dan membawakan selimut untuk suaminya.
"Kopi! Sepertinya secangkir kopi hangat bisa menghilangkan penatnya." Senja menggumam dan bergerak menuju dapur.
Byan benar, segala perlengkapan dapur dan bahan makanan sudah tersedia lengkap.
"Pagi-pagi Byan biasanya jus buah, kopi, atau susu ya?" gumamnya ragu sambil membuka pintu kulkas.
"Bikin sandwich aja, plus jeruk lemon hangat. Sepertinya dia akan suka."
Penuh semangat, Senja mengambil segala yang dibutuhkan dari lemari es ke meja dapur. Senyumnya mengembang saat melihat dari tempatnya berdiri, sang suami masih meringkuk di sofa.
Namun, senyum itu pudar saat teringat ucapan Byan bahwa dia tidak akan pernah memakannya. Wajahnya kembali sendu. Lama Senja hanya berdiri di dapur. Pikirannya saling bersahutan antara gengsi harga diri dan kewajiban seorang istri.
Hingga akhirnya dia menggeleng.
'Aku akan tetap menyediakan apa yang menjadi rutinitas Mas Byan. Bahkan jika nanti dia tak menyentuhnya sama sekali.' Dia bermonolog.
**
Pukul delapan, akhirnya Byan terbangun. Senja yang duduk di ruang makan tersenyum mendekat.
"Morning, Mas. Aku udah siapin sarapan, Mas mau kopi, lemon hangat atau ...."
"Aku nggak minta apa pun, 'kan?" Byan menatap istrinya tanpa senyum. "Kamu sarapan aja sendiri. Kalau ada yang kamu mau beli untuk keperluan dapur atau apa pun yang kamu mau, kamu tinggal bilang!"
Byan menyingkirkan selimut dari tubuhnya lalu bangkit melangkah ke tangga.
"Mas Byan!"
"Hmm?"
"Apa aku tidak berhak mendapatkan jawaban dari pertanyaanku kemarin?"
"Soal apa?"
"Kenapa Mas Byan berubah?"
Dia menyeringai lalu menggeleng.
"Akan aku jelaskan kalau aku mau, dan sekarang ... aku masih belum mau. Paham?"
Senja mengatupkan bibirnya kuat-kuat. Mata indahnya kembali berkaca-kaca.
"Mas."
"Apa lagi?"
"Apa aku bersalah?"
"Apa aku pernah bilang kalau kamu bersalah?"
"Kalau begitu, kenapa aku kamu perlakukan seperti ini?"
Byan mengedikkan bahu sambil menyugar rambut dia berkata, "Sudahlah, aku capek! Aku mau tidur!" Dia membalikkan badan.
"Mas Byan, tunggu!" Cepat Senja menangkap lengan kokoh suaminya.
"Senja! Berhenti bertanya hal serupa. Aku akan jelaskan, tapi tidak sekarang!"
**
Selamat hari Jum'at, Readers ...
Berharap yang baik2 untuk kita semua yaa.
Salam hangat 🫰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top