Seperangkat Dusta 19


"Nggak ada saksi mata, nggak ada satu pun petunjuk di tempat itu." Leo menyudahi ceritanya yang terus diulang saat Byan meminta kronologi kejadian yang menyebabkan hilangnya sang istri.

"Aku mau ke tempat itu lagi, siapa tahu ada sedikit petunjuk." Byan bangkit dari duduk.

"Aku ikut!" Leo mengikuti bos sekaligus rekannya.

"Kamu yakin? Kakimu? Aku nggak mau direpotkan sama kakimu." Byan menelisik rekannya.

"Nggak, kakiku sudah jauh lebih baik, kok!"

"Oke! Ayo, aku yang nyetir!"

Baik Byan atau Leo, mereka sama-sama diam. Di paras masing-masing tampak kegundahan. Mata Leo beralih ke Byan ketika ponsel rekannya itu bergetar.

"Telepon."

"Aku tahu."

"Kenapa nggak diangkat?"

"Biarkan!"

Tak lagi bertanya, Leo mengangguk. Akan tetapi, telepon genggam Byan kembali bergetar.

"Byan."

"Itu panggilan dari mertuaku."

Alis Leo saling bertaut.

"Kenapa nggak diangkat?"

"Apa kamu punya jawaban jika dia bertanya soal Senja?" Byan melirik tajam. "Aku yakin Adhitama setidaknya dalam satu pekan ini menelepon putrinya. Dan kupikir sama sepertiku, telepon Senja tidak bisa dihubungi."

Leo menoleh sebentar kemudian mengusap wajah. Kini dia sama paniknya dengan Byan bahkan lebih. Karena dialah yang terakhir bersama Senja.

"Kita lapor polisi saja gimana, Byan?"

"Tanpa kamu perintah, aku sudah lakukan itu."

"Itu artinya, kamu bisa menjelaskan apa yang terjadi ke Pak Adhitama, 'kan?" Leo menelisik bos sekaligus rekannya.

"Lalu membiarkan aku dicap sebagai suami yang tak bertanggung jawab, begitu?" sahutnya sengit.

"Byan, tidak ada yang akan memberikan cap seperti yang kamu bilang. Ayolah! Senja sudah satu pekan menghilang dan kamu butuh orang-orang dari mertuamu untuk mencari Senja."

Byan tampaknya masih diselimuti keegoisan. Dia masih berusaha menjaga imagenya agar tetap dihargai meski dia tahu tak ada gunanya untuk saat ini.

"Aku nanti yang akan menjelaskan ke mertuamu apa yang sebenarnya terjadi. Aku akan berusaha melindungimu agar kamu tidak dipersalahkan atas kejadian ini." Leo mencoba meyakinkan.

Byan bergeming. Ponsel kembali bergetar, kali ini dia menepikan mobilnya.

"Halo, Papa."

"Byan, segera ke rumah sekarang! Papa dan aku butuh penjelasanmu!" Suara Sony terdengar tegas.

Pria berkemeja hitam itu melirik Leo yang juga  tengah menatapnya.

"Baik, Bang!"

Obrolan berakhir, tapi suami Senja tak seperti biasa. Dia tampak sangat cemas.

"Sony?" tebak Leo.

Tak ada jawaban dari Byan, tetapi kecepatan mobil meningkat dan melesat menuju kediaman mertuanya.

**

Satu pukulan dari tangan Sony mendarat di pipi Byan yang menyebabkan bibirnya berdarah.

"Kamu apakah adikku, Byan? Kamu apakan Senja!" bentaknya dengan mata berkilat dan tangan kirinya mencengkeram kerah kemeja Byan.

"Bang, tenang, Bang, aku juga sedang mencari dan aku belum ...."

Belum sempat Byan menyelesaikan penjelasannya, kembali kakak laki-laki Senja itu mendaratkan pukulannya.

"Sony berhenti!" Adhitama keluar dari kamar. Pria paruh baya itu terlihat pucat sembari memegang dadanya.

"Papa," seru Sony cemas. Dengan kasar dia mendorong Byan kasar dan menghampiri sang papa.

Sementara Leo tak bisa berbuat apa-apa karena Byan memberi isyarat agar dirinya diam.

"Duduk!" titah Adhitama sambil meringis seperti menahan sakit.

Menarik napas dalam-dalam, mereka berdua duduk. Byan menunduk menghindari tatapan tajam dari Sony.

"Ceritakan apa yang terjadi, Byan? Kenapa kami justru tahu kabar ini dari orang lain dan bukan dari kamu?" tanya mertuanya masih dengan tangan memegang dada.

"Maaf, Pa, tapi Byan ...."

"Pa, pria yang Papa anggap anak papa ini sebenarnya bermuka dua!" Sony memotong ucapan Byan sembari menatapnya dengan tatapan sinis. "Selama ini Sony sudah curiga, tapi Senja terlalu mencintainya, dan Papa ... Papa terlalu percaya padanya."

Byan mengeratkan rahangnya meski masih dalam posisi tunduk. 

"Maksud kamu, Sony?" Adhitama menyipitkan matanya.

"Papa tahu siapa orang di belakang menantu Papa ini?"

Sony menyeringai menatap Byan yang tak berkutik.

"Siapa? Kenapa kami berpikir kalau Byan bermuka dua?" Adhitama kembali bertanya.

"Romi. Papa pasti tahu siapa Romi, dan Sony yakin Papa tidak akan pernah lupa!"

Menarik napas dalam-dalam, Sony melanjutkan ceritanya hingga selesai.

"Sony tidak yakin dia mencintai Senja seperti yang Papa duga, karena Sony tahu selicik apa Romi," pungkasnya masih menatap tajam pada Byan.

Mendengar penuturan Sony, tampak paras Adhitama meradang. Pria paruh baya itu perlahan menarik napasnya.

"Apa benar apa yang dikatakan Sony, Byan? Apa benar kamu tidak mencintai Senja? Apa benar kamu hanya menjadikan putriku alat pelampiasan sakit hatimu yang tidak beralasan itu?" cecarnya.

Leo yang berada di samping Byan tak bisa berbuat banyak. Pria berpenampilan klimis itu hanya diam dan sesekali menoleh ke rekannya.

Pelan, tapi pasti Byan mengangkat wajahnya mencoba menatap sang mertua.

"Iya, Pa, tapi ...." Seolah tak memberi ruang Byan untuk menjelaskan, satu tamparan Sony mendarat cepat di pipinya. 

"Sony, tenang! Duduk kembali!" Suara Adhitama meninggi. "Kamu tidak ingin Papa sakit, 'kan?" imbuhnya. 

Mengepalkan tangan, Sony kembali duduk. 

"Lanjutkan apa yang ingin kamu katakan, Byan!"

"Tapi Byan tidak menginginkan hal ini terjadi, Byan sama sekali tidak tahu di mana Senja sekarang dan hal ini sama sekali tidak pernah Byan duga."

"Byan juga kehilangan Senja, Pa." Kali ini terdengar kesedihan yang mendalam dari nada suaranya.

"Bohong! Bohong kamu, Byan! Kamu sama liciknya dengan Romi!"  bentak Sony. "Andai kamu tahu siapa sesungguhnya Romi dan siapa sesungguhnya papaku! Aku yakin kamu akan menunduk selamanya di hadapan kami terlebih dihadapan Senja!" 

"Sony, tahan emosimu." Adhitama kembali mencoba menenangkan putranya. 

"Tapi, Pa, cecunguk ini harus tahu kalau sesungguhnya yang menyebabkan keluarganya hancur adalah Romi, dan yang menyebabkan Papa hampir ditahan polisi adalah Romi, dan Romi juga yang menyebabkan Mama bunuh diri!" 

Byan tertegun mendengar ucapan Sony. Bagaimana mungkin cerita yang dia dengar itu berbeda dengan yangdia terima selama ini dari Romi. 

Sony terlihat tidak bisa membendung amarah. Matanya berkilat dengan tangan masih mengepal. "Ingat, Byan! Hari ini aku sudah menyebar orang-orangku dan orang-orang Papa untuk mencari adikku. Dan kalau sampai terjadi sesuatu padanya, aku tidak akan pernah memaafkanmu. Aku tidak peduli bahkan jika aku dipenjara sekali pun!"

"Dan kalau pun adikku ditemukan tanpa kurang satu apa pun, aku tidak akan pernah mengizinkan dia kembali padamu! Pada pria pecundang dan tidak tahu diri sepertimu! Catat itu!" 

Suasana sepi sejenak.

"Papa, maaf apa benar apa yang Byan dengar barusan? Apa benar kalau ...."

"Sekarang ceritakan, apa yang kamu dengar dari Romi. Apa yang sudah dia ceritakan padamu?" Adhitama menarik napas perlahan.

Byan menatap Sony yang masih dipenuhi kemarahan.

"Ceritakan saja!" titahnya.

Dengan hati-hati Byan mengungkapkan semua yang dia ketahui tentang keluarga Adhitama yang tentu saja bersumber dari keterangan Romi.

"Dan kamu percaya begitu saja?" Pertanyaan Adhitama membuat mulutnya terkunci. "Kenapa kamu tidak bertanya pada Papa? Dan kenapa kamu membawa Senja pada masalah yang dia tidak tahu menahu? Apa salah Senja?"

Mendapat cecar pertanyaan seperti itu, dada Byan terasa diremas. Ada perasaan bercampur aduk di dalamnya. Hatinya merasa sudah sangat bersalah, tetapi otaknya masih tetap berada pada ucapan Romi.

"Kamu mau tahu cerita sebenarnya, Byan?" 

"Kalau Papa tidak keberatan, Byan ingin mendengarnya, karena ... kehilangan orang tua adalah pukulan yang sangat menyakitkan bagi Byan, Pa."

Adhitama mengangguk. Dengan suara tegas dan jelas, pria berkaus putih itu mulai bercerita. Adhitama menceritakan awal mula mereka bertiga yang saling bersahabat. Mereka itu adalah Adhitama, Romi, dan tentu saja ayah dari Byan. 

"Perusahaan yang kami bangun melesat melewati perusahaan yang sudah lebih dahulu maju, hingga akhirnya kami sepakat membagi rata tiga keuntungan dengan dibebaskannya masing-masing dari kita untuk berpisah dan masing-masing membuat perusahaan sendiri."

Byan menyimak tanpa berkedip. Adhitama lantas kembali melanjutkan ceritanya. Hingga akhirnya salah satu dari perusahaan mereka merugi dan hampir bangkrut.

"Kebetulan perusahaan yang Papa pegang adalah perusahaan yang paling aman dan jauh dari kata pailit, jadi Papa lah yang mensupport Romi dan ayahmu."

Cerita kembali berlanjut sampai akhirnya Byan menyadari jika ternyata dirinya benar-benar telah berada pada prasangka dan memercayai seorang pecundang yang sesungguhnya.








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top