Seperangkat Dusta 18
Satu pekan sudah Senja menghilang. Selama itu juga tidak ada tanda apa pun yang bisa membantu menunjukkan keberadaan istri Byantara.
Perempuan berparas cantik itu seakan ditelan bumi. Hal itu tentu saja membuat Byan semakin panik dan cemas. Ada banyak hal yang memicu kekhawatirannya. Selain dia sudah barang tentu akan berhadapan dengan mertuanya, dia juga sudah pasti akan bertemu dengan Sony.
Hal terbesar yang dia rasakan sekarang meski tetap tak mau mengaku adalah ternyata dia merasa sangat takut kehilangan sang istri. Ada satu ruangan di hatinya yang merasa kosong saat harus pulang ke rumah, bahkan saat di kantor pun pikirannya tidak bisa tenang.
"Melamun?" Seseorang muncul membuka pintu sambil tersenyum dan merapikan jasnya.
"Om Romi, silakan duduk, Om!"
Pria paruh baya yang sebagian kepalanya tak lagi ditumbuhi rambut itu menghenyakkan tubuhnya di kursi tepat di depan meja Byan.
"Kamu tampak gelisah, ada apa?"
Menggeleng cepat, Byan menyugar rambutnya. "Nggak apa-apa, Om. Om kapan datang?"
Dia menatap Romi yang memang beberapa hari ini sedang berada di luar pulau.
"Kemarin malam."
"Gimana progres proyek di sana, Om?"
"Good! Berjalan baik, meski awal pembangunan ada sedikit kendala masalah izin, tapi sekarang sudah hampir enam puluh sampai tujuh puluh persen pembangunannya."
Suami Senja itu mengangguk paham.
Romi mengajukan proposal ke Byan untuk membangun klub di sebuah kota di luar pulau. Klub yang ditujukan untuk para eksekutif muda itu di-klaim merupakan klub terbesar, termewah dan terlengkap di kota tersebut.
"Om sudah mengajukan dana lagi kemarin, tapi Nuke bilang kamu sedang tidak mau diganggu, bahkan sudah sampai satu pekan ini. Ada apa?" Matanya menelisik tajam.
"Nggak, Om. Nggak ada apa-apa."
Romi menyeringai kalau menampakkan giginya yang sedikit menghitam karena rokok. Sambil menggeleng dia berkata, "Kalau kamu pikir kamu bisa berbohong padaku, kamu salah, Byan! Om tahu kamu sedang punya masalah. Katakan! Ada apa?"
Byan kembali menyugar rambutnya, tetapi kali ini kasar.
"Senja hilang, Om!" Terdengar nada putus asa dari kalimatnya.
"Hilang?"
Mengangguk pelan, dia menceritakan kronologi yang menimpa istrinya. Romi menyipitkan mata menyimak sambil menggerakkan kakinya.
"Adhitama bagaimana? Apa dia tahu?"
"Nggak, Om. Sengaja aku nggak kabari keluarganya. Apalagi papa mertuaku, aku khawatir kesehatannya terganggu kalau tahu apa yang terjadi pada putri kesayangannya."
Tawa Romi meledak. Sambil bertepuk tangan dia berseloroh, "Sudah Om duga, kamu tidak sekuat yang Om kira. Kamu akhirnya jatuh cinta pada istrimu, 'kan, Byan?"
Byan mengunci mulut membiarkan Romi mengeluarkan isi kepalanya. Percuma dilawan, karena ujungnya sudah pasti dia akan kalah. Sebenarnya mendekati dan menikahi Senja awalnya adalah ide dari Romi. Meski dia ragu saat pertama, tetapi, pesona Senja berhasil membuatnya menerima ide itu.
Senja bukan perempuan kebanyakan yang menyukai nongkrong di kafe atau semacamnya. Senja memiliki intelegensi yang mampu membuat dirinya menjadi salah satu dari mahasiswi teladan dengan prestasi gemilang. Senja tidak pernah memanfaatkan kepopuleran atau kecantikannya untuk cari perhatian dan memikat lawan jenis.
Hal itulah yang membuat diam-diam Byan kagum, dan menolak kedekatan dengan mahasiswi mana pun ketika itu. Hingga akhirnya mereka lulus dan masing-masing bekerja.
"Kenapa diam?" Romi masih terkekeh. "Ck! Ayolah, akui saja, Byan. Kamu sejak awal sudah Om kasi masukan, bukan? Om sudah bilang kalau ide ini mungkin agak sulit, tapi kamu tidak perlu mengotori tanganmu untuk menghancurkan Adhitama. Akan tetapi, akhirnya Om merasa kamu mulai lupa dengan niat semula. Kamu jatuh cinta pada anak yang orang tuanya telah menghancurkan papamu dan keluargamu, betul, 'kan?" Panjang lebar Romi mencecar Byan.
"Om, ini bukan lagi masalah hati atau perasaan, tapi masalah tanggung jawab. Aku nggak mau dibilang orang yang tidak bertanggung jawab. Memang benar, pernikahan kami adalah skenario yang Om buat dan aku setujui, tapi ada janji yang tidak tertulis, Om. Dan janji itu adalah tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menjaganya, karena dia tidak tahu apa-apa, dia hanya penghubung untuk membalaskan sakit hatiku, Om." Byan terlihat meradang meski matanya terlihat keresahan yang mendalam.
Romi kembali menyeringai, kali ini sambil menyalakan rokok.
"Lalu ... kamu sudah mencari ke mana saja?" tanyanya meniupkan asap rokoknya ke atas.
"Om, ruangan ini ber-AC!"
"Om tahu!" Romi tampak santai. "Jadi ke mana saja kamu sudah mencarinya?"
Byan membuang napas kasar. "Ke mana saja yang aku tahu."
"Lalu? Ada petunjuk?" Kembali Romi membuang asapnya ke atas.
"Belum," sahutnya lirih.
"Hubungi papanya! Adhitama pasti akan mengerahkan semua yang dia miliki untuk menemukan anaknya!"
Menatap tajam Romi, Byan menggeleng.
"Nggak, Om. Itu nggak mungkin aku lakukan!"
"Kenapa? Kamu khawatir mertuamu langsung kena serangan jantung?" Tawa Romi kembali pecah. "Ayolah, dia tidak akan mati hanya karena mendengar Senja hilang."
"Om! Aku tahu aku memang sedang membalas dendam atas apa yang dilakukan pria itu, tetapi aku tidak ingin seperti ini caranya!" Suara Byan meninggi.
Tawa Romi mereda, dia membalas tatapan Byan.
"Kamu berani bersuara tinggi saat berbicara denganku, Byan? Apa ini karena perempuan itu? Hei! Kamu lupa apa yang terjadi beberapa tahun lalu? Kamu lupa ayahmu meninggal seketika saat kecelakaan itu? Saat kecelakaan yang disengaja oleh Adhitama? Kamu lupa? Lalu ibumu ... apa yang terjadi pada ibumu? Apa kamu lupa?" sengitnya membiarkan rokoknya hampir habis dimakan bara.
"Om, aku ingat, Om, aku ingat semuanya, tapi Senja itu istriku. Istri yang aku nikahi dan Adhitama sudah memberikan kepercayaan padaku untuk menjaganya. Aku nggak mau semua berantakan karena dia tidak bisa ditemukan. Apalagi Sony, Om. Sony pasti akan menuduhku bahwa ini adalah rencanaku!"
Mengedikkan bahu, Romi beringsut.
"Terserah kamu, Byan! Om sudah kasi sara, kalau kamu tidak mau mengikuti saran Om, itu urusanmu. Om cuma mau kamu segera tandatangani proposal dana yang sudah Om ajukan!" Romi menepuk bahu Byan. "Om cabut dulu! Semoga kamu bisa berpikir jernih setelah ini!"
Byan mengepalkan tangan, kedatangan Romi membuat dirinya semakin resah. Satu pekan berlalu dirinya belum juga bisa menemukan Senja. Jangankan menemukan, titik terang pun Byan belum dapatkan.
"Sial!" Satu pukulan mendarat di meja kerjanya. "Leo, aku harus menemuinya!"
**
Leo masih dalam tahap recovery, meski kakinya tidak cedera parah, tetapi dokter menganjurkan agar rekannya itu beristirahat dulu di rumah dan belum diperbolehkan untuk beraktivitas seperti biasa.
Dengan kecepatan tinggi, akhirnya Byan tiba di kediaman Leo. Leo tinggal sendiri, karena keluarganya berada di luar kota. Sahabat Byan itu masih belum memiliki kekasih, konon dia pernah meminta untuk soal pendamping dia menyerahkan seratus persen kepada orang tuanya.
Siang itu dia sedang di halaman depan memberi makan ikan sambil menikmati musik. Mendengar klakson di luar, gegas dirinya menuju pagar.
"Tumben, ada apa, Bos?" sapanya saat Byan keluar dari mobil dan membuka kacamata.
"Enak banget kamu! Santai begini, sementara aku harus berpikir keras mencari Senja!" sindirnya.
Membuka pagar, Leo tersenyum tipis.
"Kita masuk dulu!" ajaknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top