Seperangkat Dusta 17


Berbekal petunjuk arah dari Senja saat dia hendak pergi sore tadi, akhirnya Byan tiba di kediaman Sasa. Suasana rumah Sasa sudah sepi, meski begitu balon warna-warni masih bergelantungan, pun demikian dengan segala pernak pernik super hero Spiderman masih menempel di mana-mana.

Byan mencoba menghubungi Leo kembali, tetapi hasilnya sama saja, nihil. Demikian juga dengan handphone Senja. Pria itu kini tampak putus asa, karena mobilnya yang dikendarai Leo tak tampak di kediaman Sasa.

Tak ingin banyak berspekulasi, dia mengetuk pagar yang dengan segera terdengar oleh empunya rumah. 

"Pak Byan?" Sasa tergopoh-gopoh menghampiri. "Malam, Pak, mari silakan masuk." Wajah Sasa terlihat heran. 

"Malam, nggak, terima kasih, saya hanya mau tanya, apa Senja masih di dalam?" Terlihat paras cemas pada pria itu.

"Senja?" Sasa mengulang dan dengan cepat menggeleng. "Senja sudah pulang begitu acara selesai, Pak. Bahkan dia menolak membawa bingkisan dari kami." 

"What? Senja sudah pulang?"

"Iya, Pak. Ada apa, ya?" Kali ini Sasa mengernyit.

Rahang Byan mengeras, sembari memijit pelipisnya dia menggeleng.

"Apa dia pulang bersama Leo? Eum, maksud saya asisten saya?"

Sasa mengangguk. "Asisten Bapak menunggu Senja di mobil, karena menolak untuk masuk."

"Ke mana mereka?" 

"Senja belum sampai rumah, Pak?" Suara Sasa bergetar. Matanya mulai mengembun terlebih saat Byan menggeleng dan mengatakan jika telepon genggam keduanya tidak bisa dihubungi.

"Ya Tuhan, ke mana mereka?" gumam Byan sembari mengusap wajahnya.

Tak lama ponsel Byan bergetar. Seketika parasnya menegang. 

"Aku ke sana! Kamu jangan ke mana-mana!"

Pria itu bergegas menutup obrolan.

"Maaf, Sasa sudah merepotkan. Makasih infonya, salam buat suami dan anakmu." 

"Eh, Pak Byan! Bapak mau ke mana? Senja ada di mana? Dia baik-baik saja, 'kan?" Sasa sedikit berteriak karena Byan melangkah cepat.

Suami Senja itu hanya menoleh lalu segera masuk mobil. Namun, Senja tak ingin kehilangan informasi soal rekannya. Secepat kilat ibu beranak satu itu keluar pagar dan menghalangi mobil Byan.

Suami Senja itu membuka kaca jendela mobil dan melongok keluar.

"Tunggu, Pak! Maaf, saya ingin tahu kondisi Senja. Di mana dia dan bagaimana keadaannya. Tolong, ini juga bagian dari tanggung jawab saya, karena Senja ke sini atas undangan dari sa ...."

"Senja hilang!" 

Kalimat singkat Byan sontak membuat seluruh persendian Sasa melemah. Dadanya berdebar hebat, keringat dingin keluar, dan bibir seakan keluar.

"Hi ... lang? lirihnya dengan mata berkaca-kaca. "Senja hilang maksudnya, Pak?" Suara Sasa bergetar.

"Tolong, saya nggak bisa menjelaskan karena saya harus bertemu Leo. Permisi!"

Sasa perlahan minggir, tanpa suara dia membiarkan mobil Byan melesat meninggalkan kediamannya. Sementara suami Sasa yang baru keluar setelah menidurkan Vito menatap heran pada istrinya.

"Kenapa, Sayang?"

Tubuh Sasa melemah, dia bahkan belum sempat menjelaskan karena tiba-tiba dirinya lunglai terpejam tanpa daya tepat di pelukan sang suami.

**

Leo terlihat babak belur, beberapa bagian tubuhnya luka lebam, dia pun tampak sulit menggerakkan kakinya.

Byan mengepalkan tangannya mendengar cerita Leo. Menurut penuturannya, rem mobil tiba-tiba tidak berfungsi meski dia sudah berupaya sekuat tenaga untuk mengendalikan laju kendaraan tetap kesulitan hingga akhirnya dia memutuskan untuk mencari jalan sepi untuk meminimalisir kemungkinan buruk terjadi. 

Akan tetapi hal itu sama saja, karena akhirnya dia menabrak pohon yang menyebabkan dirinya pingsan.

"Lalu ke mana Senja? Ke mana dia, Leo!" bentak Byan meradang. 

"Aku nggak tahu, Byan. Aku siuman dia sudah tidak ada. Aku sudah coba panggil-panggil dia, tapi nggak ada sahutan, dan ... bagaimana aku bisa mencari sementara aku gak bisa menggerakkan kaki?"

Mereka berdua masih di lokasi kejadian. Lokasi yang memang sepi itu hanya diterangi oleh lampu temaram hingga jarak pandang pun sangat terbatas.

"Sial! Ke mana dia?" Byan membuang napas kasar lalu menatap Leo yang kesakitan.

"Aku bantu kamu. Kita ke rumah sakit sekarang!"

Ternyata membantu Leo keluar dari mobil tidak semudah yang dibayangkan Byan. Berulang kali mencoba tetap saja dia kesulitan. Merasa tak sanggup, akhirnya Byan menelepon rumah sakit.

**

Ketegangan terlihat jelas pada paras Byan. Sejak tadi dia mondar-mandir di kamar tempat Leo di rawat. 

"Seharusnya kamu tahu di mana Senja, Leo!" sesalnya.

"Maaf, Byan, aku pingsan dan ...."

"Iya, aku tahu, tapi sekarang gimana? Aku harus cari ke mana? Apa kata mertuaku jika dia tahu anaknya menghilang? Apa kata Sony dan apa yang akan dia lakukan?"

Byan mengepalkan tangannya, tampak rahangnya mengeras dengan mata berkilat.

"Leo, dokter bilang tadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan, hanya memang kakimu harus diberi treatment supaya lekas pulih. Untuk sementara kamu di rawat di sini. Kamu bisa telepon mamamu untuk sekadar memberi tahu supaya tidak khawatir."

"Thanks, Byan." Leo bernapas lega.

"Tapi hilangnya Senja adalah tanggung jawabmu juga, dan kamu tahu apa yang harus dilakukan, 'kan?"

Mengembuskan napas perlahan, Leo mengangguk. Tentu saja Byan tidak serta-merta memaafkan begitu saja, karena Leo tahu Byan akan menuntut siapa saja yang menurutnya menjadi penyebab terhambatnya suatu urusan. Terlebih jika hal tersebut berhubungan dengan orang yang penting baginya.

Penting? Apa itu artinya Senja sangat penting baginya? Bukankah Byan sudah memiliki separuh hasil dari rencananya?

"Eum, Byan."

"Ya?"

"Bagaimana kalau Senja tidak ditemukan?"

Dahinya berkerut menatap Leo.

"Maksud kamu?" Mata Byan menajam menelisik rekannya. "Kenapa kamu bicara begitu? Apa itu artinya kamu bahagia Senja hilang?"

Leo menggeleng.

"Bukankah itu yang kamu mau, Byan? Apa tidak lebih baik dia menghilang saja daripada ada, tapi tidak dianggap olehmu?"

"Bukankah kamu tidak mencintainya?"

Seakan terbakar oleh penuturan Leo, Byan merangsek dan mencengkeram kuat kerah baju rekannya.

"Jaga ucapanmu, Leo! Meski benar apa yang kamu katakan, tapi aku punya rasa kemanusiaan! Jadi jaga kata-katamu!" Matanya nyalang menusuk menatap Leo. "Atau jangan-jangan ... kamu berada di balik kecelakaan ini?" Byan melepas kasar kerah baju Leo sehingga rekannya itu terdorong.

"Nggak, Byan! Buat apa aku mencelakai diri sendiri?" kilahnya. "Aku hanya heran, kamu cemas karena Senja menghilang, sementara saat dia ada kamu ...."

"Berhenti menghakimiku! Sekarang aku butuh ingatanmu untuk melacak keberadaan istriku." Byan menatap dinding kamar Leo. Ada kegelisahan tergambar di sana. Meski ikut cemas, tetapi rekannya itu menangkap jika Byan sebenarnya memiliki rasa untuk Senja.

"Lalu ... apa Pak Adhitama tahu soal ini?" tanya Leo hati-hati.

Menarik napas dalam-dalam, Byan menggeleng. Jika boleh jujur dia khawatir jika hal ini sampai ke telinga mertuanya. Meski sebenarnya apa yang dikatakan Leo itu adalah tujuannya, yaitu ingin membuat Adhitama menderita, tetapi tak urung dirinya benar-benar merasa cemas atas apa yang terjadi pada Senja. 

Sementara dia tahu riwayat kesehatan Adhitama, hal tersebut semakin membuat rasa khawatirnya membesar. Belum lagi jika sampai terdengar oleh Sony. Dia tahu, abang Senja itu tidak akan membiarkannya hidup jika sampai adiknya benar-benar tidak diketemukan.

🍉

Beri satu kata untuk Byan😁
Misalnya, "Kapoook." Gt, ha-ha 😆

Mau aku kasi dobel update gak nih?

Nunggu viewernya meyakinkan dulu baru aku up lagi😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top