Seperangkat Dusta 16
Senja melihat fotonya saat mengenakan baju pengantin menjadi wallpaper di ponsel Byan. Tentu saja hal itu sama sekali jauh dari apa yang dia sangka. Meski terkejut, dia mencoba bersikap wajar dan biasa.
"Kenapa? Kok malah bengong?"
"Nggak." Senja menggeleng cepat.
"Wallpaper? Kamu speechless?" tebaknya. "Biasa aja, nggak ada salahnya, 'kan aku pasang foto istri di ponsel? Ya daripada foto perempuan lain." Byan menaik turunkan kedua alisnya.
Tersenyum tipis, Senja mengangguk.
"Kalau kamu keberatan, kamu bisa ganti sendiri."
"Nggak, nggak! Aku nggak keberatan, eum ... bahkan kalau Mas bosan sama foto itu aku bisa kirim foto yang lain." Senja mencoba berkelakar.
"Udah buruan kirim pesan ke Leo!"
Dia mengangguk. Setelah mengetikkan seperti yang perintah sang suami, dia kembali meletakkan benda itu ke tempat semula.
"Sudah, Mas."
"Hmm." Byan mengangguk. Pria itu kembali menarik selimut dan memejamkan mata.
"Mas."
"Ya?"
"Sore nanti Sasa memintaku untuk datang ke ulang tahun Vito anaknya. Dia minta supaya aku jadi host di acara tersebut." Senja bertutur pelan.
Byan diam, dia menarik napas dalam-dalam.
"Apa itu penting?"
"Mas tahu sedekat apa aku dengan Vito, 'kan?"
Byan mengangguk. "Tapi dia bukan siapa-siapamu. Dia bukan anakmu, bukan keponakanmu, jadi kurasa kamu nggak ada di sana pun tidak masalah."
Senja menarik napas dalam-dalam.
"Tapi Sasa, Mas. Mas juga tahu siapa Sasa, dia bilang dia akan bicara dengan Mas kalau ternyata Mas tidak mengizinkan."
Sejenak kamar Byan itu senyap. Senja cemas menunggu jawaban suaminya, sementara Byan memutar otak agar Senja tidak pergi sendirian.
"Oke, biar nanti Leo yang antar kamu!"
"Leo?" tanyanya heran.
"Iya, kenapa? Kamu mau berangkat sendiri?"
"Nggak, Mas. Apa nggak merepotkan Leo, kalau memang aku nggak boleh pergi sendiri, aku bisa minta Sasa untuk menjemput."
Pria yang masih terlihat letih itu menggeleng.
"Apa yang ada di benak Sasa kalau kamu minta dia jemput? Lagian apa dia nggak sibuk mempersiapkan pesta anaknya?"
"Tapi, 'kan ...."
"Jangan membantah!"
Senja mengatupkan bibir sembari mengangguk.
"Mas nggak apa-apa aku tinggal sendiri? Mungkin jam tujuh malam baru pulang."
"Kamu pikir aku anak kecil?" Byan melirik tajam.
"Aku tahu Mas bukan anak kecil, tapi Mas, 'kan sedang sakit."
Byan tak menjawab. Dia kembali memejamkan mata.
"Aku usahakan setelah acara selesai langsung pulang, Mas. Mungkin jam lima atau jam enam."
"Hmm."
Senja menarik kedua sudut bibirnya.
"Kalau begitu, aku ke kamar, ya, Mas. Mas butuh apa lagi? Mungkin bisa kuambilkan."
"Nggak ada!"
Perempuan yang mengenakan baju rumahan berwarna mereka sebatas lutut itu mengangguk lalu mengayun langkah meninggalkan kamar suaminya setelah perlahan menutup pintu.
**
Tepat pukul tiga sore Leo tiba di kediaman Byan. Setelah makan siang tadi, Byan terlihat lebih sehat dari sebelumnya. Sehingga sore ini dia bisa duduk di sofa sembari membaca laporan yang masuk ke email-nya.
"Nanti kamu tunggu dia sampai selesai."
"Siap, Bos!"
"Eum, tadi Om Romi ke kantor."
"Iya, tadi sudah telepon." Byan tak menoleh. "Dia minta uang lagi, kan?"
Mengangguk Leo tersenyum datar. Orang kepercayaan Byan itu mengambil kesimpulan semenjak bosnya diberi kepercayaan untuk mengelola perusahaan Adhitama, dia merasa Romi semakin menjadi-jadi untuk meminta sejumlah uang pada Byan. Selalu ada saja alasan yang membuat Byan percaya dan akhirnya mengeluarkan sejumlah uang yang diminta.
"Maaf, Byan, tapi apa nggak seharusnya Om Romi itu dibatasi aja?" tanya Leo hati-hati karena dia tahu seperti apa kedudukan Romi di hati Byan.
"Maksud kamu?"
Pria yang memakai kaus berwarna hijau tua itu mencoba menjelaskan dan mengutarakan kekhawatirannya.
"Karena sedikit banyak akan berdampak pada perusahaan, Byan. Lagipula sampai saat ini tidak ada satu pun lobi-lobi yang dilakukan Om Romi bisa goal. Semuanya gagal dan bahkan mungkin kita tertipu."
Byan bergeming, dia masih menatap laptop di depannya.
"Biarkan, Leo. Mungkin karena memang belum rezeki saja sehingga lobi-lobinya gagal. Bukannya kita juga pernah bahkan sering beberapa proyek nggak deal? Betul, 'kan?" jelasnya tanpa menoleh. "Selama aku masih memberi, itu artinya perusahaan masih aman, dan kamu tidak perlu khawatir!"
"Bukannya kamu juga yang bilang begitu? Kenapa sekarang jadi berubah?"
"Iya, tapi makin lama kupikir ...."
"Sudahlah! Nanti kita bicarakan lagi soal ini."
Mendengar ucapan Byan, Leo hanya bisa mengangguk kemudian melihat jam tangan. Sejenak dia mengedarkan pandangan.
"Tunggu lima belas sampai bisa puluh menit lagi. Biasa, perempuan mana bisa cepat. You know lah!" Byan seolah tahu apa yang dipikirkan Leo.
"Sudah mulai terbiasa dengan kebiasaannya?" Leo menatap Byan dengan tawa kecil.
"Well, tapi ... kamu benar soal hidupku mulai terurus sejak ada dia." Mimik wajah Byan berubah serius. Dia bersandar setelah meregangkan tubuhnya.
"Kamu merasa lebih nyaman, bukan?"
Mengedikkan bahu, Byan menyugar rambutnya.
"Kamu nggak akan pernah lagi menertawakan dasiku yang nggak pernah matching," sahutnya kali ini sembari tertawa geli.
"Dan kamu menyukainya?"
"Iya, tentu saja!"
"Menyukai Senja?"
Pertanyaan Leo membuatnya bergeming. Tentu saja! Siapa pun pasti akan bisa dengan mudah menyukai perempuan cantik dan ramah itu, tetapi bukannya dia pernah berkata hal yang sebaliknya di depan Leo?
"Aku suka caranya memperlakukan aku, itu saja!" kelitnya.
Tak lama pintu kamar Senja terbuka. Kedua pria yang duduk di sofa sontak bersamaan menoleh ke arah yang sama. Memakai terusan berwarna merah muda dengan aksen pita abu-abu di pinggang dan tas tangan putih, Senja terlihat sangat memesona. Rambut hitamnya dihias bando mutiara dan riasan flawles sukses membuat tatapan Byan seolah enggan beralih.
Matanya menyipit saat melihat sang suami yang tak berkedip, sementara Leo menahan tawa.
"Mas Byan? Mas?"
"Eh, iya? Sudah siap? Eum, maksudku Leo sudah nungguin dari tadi," sahutnya gugup.
"Iya, sudah siap. Aku pergi dulu, Mas." Senja lalu mencium punggung tangan suaminya.
"Take care!"
"Segera antar dia pulang setelah acara selesai!" bisiknya pada Leo sesaat sebelum pria itu mengekor langkah Senja.
**
Sepeninggal Senja, Byan kembali ke ruang tengah. Akan tetapi, sejenak kemudian Byan bangkit menuju dapur. Membuka kulkas, dia melihat ada salad sayuran kesukaan sang istri. Selain itu tampak pula aneka buah yang sudah dipotong dan diletakkan dalam satu wadah.
"Mas harus banyak makan buah juga sayuran. Aku selalu sedia di kulkas, kalau Mas mau Mas bisa tinggal makan, tapi kalau Mas khawatir aku membubuhkan racun, Mas bisa bikin sendiri atau ... beli buah sendiri!" ucapan Senja lagi tadi terngiang saat istrinya itu memberikan obat.
Senyumnya terbit mengingat penuturan sang istri. Tanpa banyak berpikir, dia segera membawa salad sayur dan wadah berisi buah ke ruang tengah.
Sambil menikmati makanan, dia kembali meneruskan pekerjaannya, tetapi tampaknya Byan hanya bisa bertahan sebentar saja. Karena pria itu terlihat gelisah. Sesekali dia menatap pintu kamar Senja.
"Sial! Kenapa aku jadi kepikiran?" umpatnya. Samar terdengar suara Boby. Dia lalu bangkit menuju halaman samping tempat peliharaan istrinya berada.
Kucing abu-abu itu seperti tahu jika orang yang tak menyukainya mendekat dia tidak bereaksi, Boby hanya duduk membalas tatapan Byan.
"Hai, Boby!" sapanya sembari berjongkok. "Ayolah! Jangan menatapku seperti itu, aku nggak marah lagi, kok!"
Boby diam saat Byan mengusap kepalanya.
"Ternyata nggak buruk ada kamu, jadi aku merasa nggak kesepian. Pantas istriku sangat sayang," ungkapnya dengan bibir melebar.
Jika biasanya rumah ini ada saja terdengar celoteh Senja pada Boby, tetapi kali ini dia merasa sangat sepi.
**
"Sial! Ke mana mereka?" Byan gegas memakai jaketnya dan menyambar kunci mobil. Pria itu tampak panik.
Berkali-kali dia menghubungi Senja tak ada jawaban, pun demikian dengan Leo. Mereka berdua seperti hilang ditelan bumi.
Setelah mengunci pagar, secepat kilat mobil putih yang dikendarainya melesat menuju rumah Sasa, tempat Senja menghadiri pesta.
🍉🍉
Dobel update done ya.
Semoga suka.
Terima kasih 💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top