Seperangkat Dusta 15
Pagi itu menjadi pagi yang canggung bagi Senja. Dia memilih membawa salad sayurnya untuk sarapan ke halaman samping sembari bermain dengan Boby. Semenjak Byan sejak tadi belum terlihat tanda-tanda hendak berangkat ke kantor.
Sesekali Senja tertawa lepas melihat lucunya Boby berlarian mengejar mainannya. Getar ponsel di meja mengalihkan perhatiannya.
[Nanti sore kamu harus datang ke rumahku!] Pesan dari Sasa membuat bibir Senja tertarik membentuk pisang.
[Untuk?]
[Vito ulang tahun! Masa lupa? Mentang-mentang sekarang ada yang lebih diprioritaskan ya?]
[Jam berapa?]
[Jam tiga! Aku mau kamu jadi MC-nya! Pokoknya harus!]
[Kenapa mendadak gini, Sa?]
[Pestanya juga dadakan, Senja. Mertuaku itu yang pengin ngerayain ulang tahun cucunya, ayolah, please.]
[Aku izin Mas Byan dulu ya.]
[Kalah nggak diizinkan, biar aku telepon deh!] Sasa memaksa.
[Jangan, Sa. Biar aku yang bilang, doain aja dia izinin.]
[Oke, tapi aku berharap banget kamu bisa datang. Lagian kamu nggak kangen apa sama Vito?]
Senja tak membalas, Vito anak Sasa, dia memang dekat dengan Senja . Anak laki-laki yang kini berusia tiga tahun itu kerap diajaknya ke mal untuk bermain jika libur kerja. dia lalu menatap Boby yang sudah lelah bermain. Kucing gembul itu tengah santai di dekat rumahnya.
"Boby, kamu diem aja di sana ya. Jangan ikut! Nanti kena semprot lagi sama Tuan Muda, oke?"
Seolah mengerti, Boby memejamkan matanya. Melihat itu Senja tersenyum.
"Kamu memang kucing paling manis sedunia, Boby!"
Matahari sudah tinggi, Senja melirik jam dinding kemudian mendongak ke lantai atas. Sepi, tak ada terlihat dan terdengar pergerakan apa pun dari sana.
"Jam sembilan, seharusnya Mas Byan sudah ke kantor."
Ragu dia menaiki anak tangga sambil berharap tak terjadi sesuatu padamu Byan. Menarik napas dalam-dalam Senja kini sudah berada di depan pintu kamar suaminya.
"Mas Byan? Mas Byan nggak ke kantor?" panggilnya sembari mengetuk pintu.
Senyap, tak ada sahutan dari dalam. Senja mengulang memanggil suaminya, tetapi masih sama, tak ada sahutan dari dalam.
"Ya Tuhan, Mas Byan? Mas Byan?" Kali ini suaranya semakin keras dan terdengar cemas.
Tangannya mencoba memutar kenop pintu yang ternyata tak dikunci. Mata Senja menyipit melihat sang suami masih bergelung selimut. Dia lalu memberanikan diri menyentuh dahi Byan yang ternyata panas.
"Demam," gumamnya.
Terlintas di kepala untuk membuatkan sarapan, tetapi teringat bagaimana Byan menolak apa pun yang dia sediakan membuat Senja menggeleng. Namun, sisi hatinya yang lain tidak tega melihat pria yang dicintainya itu tak berdaya.
"Mas Byan? Aku buatkan sarapan, ya? Mas mau makan apa?" Pelan dia menyentuh lengan sang suami. "Mas Byan demam, aku buatin minuman hangat sama sarapan, ya?" tuturnya mengulang, tapi tetap tak ada reaksi dari pria itu.
Senja menarik napas perlahan lalu berjalan mundur dan secepat kilat keluar dari kamar. Dia tahu Byan sudah bangun dan mendengar pertanyaannya, tetapi dia pun paham jika pria itu tak ingin terkesan lemah meski sebenarnya memang sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan.
Meski pengetahuan memasaknya masih belum selihai Mbok Sri, dia ingat bagaimana perempuan paruh baya itu memasakkan sup ayam saat dirinya demam. Senja tampak sigap memotong sayuran dan menyiapkan bumbu. Tak lupa dia mencuci bersih jahe guna diminum suaminya nanti.
Sementara menunggu semuanya matang, dia mencari sesuatu yang bisa meredakan demam di kotak obat.
Berharap tak mendapat penolakan, dia kembali ke kamar Byan. Pria itu masih sama seperti tadi, bergelung selimut. Setelah meletakkan nampan berisi makanan dan minuman hangat, dia menyentuh pelan tubuh suaminya.
"Mas Byan, makan dulu, yuk, terus Mas minum obat biar cepat sehat lagi."
Sengaja Senja duduk di tepi ranjang Byan dan memaksa pria itu untuk membetulkan posisinya.
"Mas, dengar! Aku nggak peduli Mas mau nolak atau marah sekali pun, tapi sama sepertimu, aku nggak mau Mas sakit! Please, sekali ini nurut sama aku. Aku janji setelah Mas sembuh, aku nggak akan maksa Mas untuk makan masakanku!"
Byan bergeming, tetapi dia mencoba bangkit perlahan dan bersandar, sembari memegang kepalanya Byan mengucapkan terima kasih.
"Nggak perlu berterima kasih, lagian hal seperti ini pasti akan dilakukan siapa pun untuk meringankan rasa tidak enak di badan." Senja membalas apa yang pernah dikatakan Byan padanya.
Senja tersenyum samar melihat ekspresi Byan yang tersenyum kecut.
"Aku suapin. Mas diam aja!"
Pria yang mengenakan piyama hitam itu tampak menurut. Dia bahkan seolah menikmati momen yang baru terjadi itu. Matanya yang semula menatap lurus, kini berubah menelisik paras istrinya. Hal tersebut tentu saja membuat Senja salah tingkah meski mati-matian dirinya berusaha bersikap wajar.
Berulang kali Senja mengibaskan rambutnya yang mengganggu membuat garis bibir Byan melengkung samar. Dia mengubah sedikit posisinya lebih dekat dengan Senja lalu dengan cepat menyelipkan rambut sang istri ke belakang telinga.
Lagi-lagi Byan melakukan hal yang tidak pernah diduga Senja sebelumnya. Pria itu bisa dengan cepat mengubah sikap kapan pun dia mau, dan hal tersebut menjadikan perasaan Senja naik turun di buatnya.
Perlakuan sang suami barusan tentu membuatnya seperti diangkat tinggi-tinggi dan jika sudah seperti itu, dirinya harus bersiap-siap dijatuhkan lagi. Akan tetapi, pada saat-saat seperti ini sebenarnya Senja sangat menikmati.
Sentuhan dan perhatian Byan saat mereka masih pacaran kembali muncul dan itu menjadikan dirinya tak bisa meraba seperti apa rasa yang ada di hati suaminya.
"Kenapa pipimu merah? Yang demam aku, 'kan? Tapi kenapa pipimu yang merah?" tanyanya menatap lekat seperti ingin mendapatkan jawaban atas apa yang terjadi pada pipi istrinya.
Menunduk , Senja tahu Byan sedang menggodanya, tetapi dia tidak tahu bagaimana caranya menyembunyikan ekspresi tegang dan malu di depan Byan.
"Aku berharap Mas nggak kecewa sama masakanku, dan setelah ini Mas bisa kembali sehat," tuturnya mengalihkan pembicaraan setelah menyelesaikan suapan terakhir untuk sang suami.
Byan menerima segelas air putih dari tangan Senja dan meneguknya.
"Sekarang ini, obatnya diminum!" titah sang istri menyorongkan satu tablet demam padanya.
"Kamu yakin ini obatnya?"
"Mas khawatir aku memberi racun?" Dia balik bertanya. "Diminum, setelah itu Mas harus istirahat!"
"Handphoneku, aku bisa minta tolong?"
"Apa?"
"Dua handphoneku lowbat, tolong di-charge." Suara Byan terdengar berat.
Senja mengangguk lantas melakukan titah sang suami.
"Sudah."
"Tolong hubungi Leo, bilang semua meeting hari ini dia aja yang handle!"
"Tapi aku nggak punya nomor telepon Leo."
"Ck! Kamu bisa hidupkan ponselku, dan kirim pesan ke Leo!"
"Nggak apa-apa?" tanyanya sembari membasahi tenggorokan.
"Kenapa emang?"
"Bukannya Mas pernah bilang kalau segala sesuatu yang Mas punya hanya Mas yang berhak menggunakan?"
Mendengar penuturan istrinya, Byan tampak bersalah.
"Oke, setidaknya untuk saat ini, aku meminta kamu melakukan apa yang diperintahkan!"
Mengangguk cepat, dia mengambil salah satu ponsel suaminya. Setelah menekan tombol on sekejap telepon genggam itu menyala dan saat itu pula Senja terperangah menatap wallpaper di ponsel sang suami.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top