Seperangkat Dusta 11
"British Shorthair? Wow!" Leo tampak kagum saat Senja menggendong anabul berwarna abu.
"Kamu tahu?"
"Sedikit." Dia memberi isyarat dengan jempol dan telunjuk yang hampir saling menempel.
Senja tersenyum. "Biasanya cuma orang pecinta kucing yang tahu jenis-jenisnya."
Leo mengedikkan bahu lalu mulai bercerita jika dirinya memiliki beberapa kucing di rumahnya.
"Salah satunya jenis British Shorthair ini," papar Leo sembari mengemas makanan Boby ke dalam wadah yang sudah disediakan.
"Papa kamu ke mana?" Leo menatap Senja saat dipersilakan duduk di ruang tamu.
"Papa ke luar kota pagi tadi."
"Papa kamu masih sangat energik, ya."
"Aku bersyukur untuk itu."
Leo mengangguk lalu meneguk minuman yang disuguhkan assisten rumah tangga Adhitama.
"Habis dari sini, mau ke mana?"
"Pulang," jawab Senja singkat sembari memeluk kucingnya.
"Nggak mau mampir pet shop?"
"Nggak, semuanya udah ada. Kita langsung pulang aja."
Leo kembali mengangguk. Beberapa kali dia mencuri pandang mengamati Senja. Menurutnya, perempuan berhidung mancung, berkulit putih, alis hitam yang menaungi kedua matanya terlihat rapi dan hitam, sebenarnya sangat cantik dan terlalu bodoh jika Byan merencanakan hal yang buruk padanya.
Akan tetapi, Byan tetap Byan. Sosok keras kepala dan sangat kaku dengan keinginannya. Meski dia tahu pribadi sebenarnya rekannya itu.
"Kamu mungkin yang mau membeli sesuatu di pet shop?" Pertanyaan Senja menyadarkan lamunannya.
"Nggak, kok."
"Oke kalau gitu. Let's go!" Perempuan yang mengenakan t-shirt hijau botol itu tertawa kecil sembari memberi isyarat agar dia segera menuju mobil.
**
"Halo, Bos?"
"Kamu masih bareng Senja?"
"Iya, ini sedang dalam perjalanan pulang."
"Oke, setelah sampai di rumah, kamu segera ke kantor!"
"Baik!"
Leo mematikan bluetooth -nya, lalu sedikit menaikkan kecepatan mobil.
"Ditunggu bos kamu?"
Dia tersenyum lebar kemudian mengangguk.
"Kamu kenal Mas Byan sudah lama?" Senja mencoba mencari tahu.
"Sudah, sudah cukup lama." Leo menjawab tanpa menoleh.
"Oh ya? Apa itu artinya kamu tahu aku jauh sebelum akhirnya menikah dengan Mas Byan?"
Pria yang mengenakan kacamata hitam itu mengangguk.
"Tapi aku nggak pernah lihat kamu."
"Itu karena bos melarang saya."
"Melarang?"
Tertawa kecil, Leo menoleh sejenak.
"Kenapa emang?"
"Mungkin dia cemburu." Leo berusaha memecah kebekuan suasana.
Tawa Senja pecah mendengar penuturan asisten suaminya itu.
"Jadi sebenarnya dia itu pemarah, ya?"
Mengedikkan bahu, Leo menggeleng.
"Kenapa bertanya begitu? Bukannya eum ... maaf saya harus panggil siapa, nih? Mbak Senja, Bu bos, atau ...."
"Senja. Senja aja, biar lebih akrab."
Leo mengangguk. "Kenapa tanya ke saya? Bukannya kalian pacaran lumayan lama? Masa' nggak tahu seperti apa bos?"
Senja menautkan kedua alisnya.
"Karena kamu bilang kenal Mas Byan sudah lama, pasti ada sisi lain yang aku nggak ketahui, dan kamu tahu," terangnya sambil sebentar menoleh ke belakang melihat Boby yang ternyata sudah tidur di tas khususnya.
"Bos itu orang baik, dia punya jiwa sosial yang cukup tinggi dan banyak karyawan yang terbantu olehnya."
Ucapan Leo membuatnya tertarik. Karena hal yang dikatakan itu belum pernah dia ketahui. Sejauh ini dia hanya tahu Byan seorang pekerja keras dan tentu saja seorang yang memiliki dendam masa lalu keluarganya yang belum usai.
"Oh ya? Aku nggak tahu soal itu."
Pria di balik kemudi itu tampak terkejut.
"Kupikir kamu tahu. Maaf, tolong jangan kamu tanyakan soal ini ke bos, aku khawatir dia memang sengaja menyembunyikannya."
"Kamu tenang aja. Aku nggak akan bertanya apa pun padanya."
Mobil terus meluncur.
"Leo."
"Ya?"
"Kamu kenal Romi?"
Terlihat dahi Leo berkerut ketika mendengar nama itu.
"Romi?"
"Iya, Romi."
"Nggak, saya nggak kenal. Kenapa tiba-tiba kamu tanya begitu?"
Menarik napas dalam-dalam, Senja menggeleng.
"Nggak apa-apa, aku cuma penasaran aja. Karena beberapa waktu lalu, aku dengar Mas Byan sedang menerima telepon dari seseorang yang dipanggilnya Romi."
"Mungkin rekan bisnisnya." Leo berpura-pura.
"Mungkin, tapi setelah menerima telepon dari orang yang dia panggil Romi ... Mas Byan jadi jengkel gitu."
***
Paras Byan terlihat tegang. Laporan dari sekretarisnya tentang Romi membuatnya kesal. Orang yang sudah dianggap sebagai pengganti ayahnya itu ternyata gagal membangun kerja sama dengan perusahaan di luar kota. Padahal sudah cukup banyak uang yang dikeluarkan perusahaan untuk pria paruh baya itu.
"Sabar, Byan. Kerugian yang kamu tanggung hanya sepersekian dari hartamu," ujar Leo yang baru saja mendengar cerita bos-nya.
"Sepersekian? Iya, mungkin memang hanya sepersekian, tapi itu bisa menghancurkan kredibilitas perusahaan ini, Leo," tuturnya meradang.
"Aku nggak mau citraku di mata Adhitama buruk."
Leo tersenyum. "Adhitama tentu tetap mendukungmu, karena kamu mantu kesayangannya."
Byan melirik rekannya. "Sok tahu!"
Leo terbahak.
"Tentu saja, mana ada coba mertua yang bulat-bulat menyerahkan perusahaannya langsung ke menantu yang notabene baru saja menikahi putrinya? Kamu seharusnya paham itu. Lagipula nggak ada salahnya menggali lebih dalam kebenaran cerita yang selama ini kami yakini, Bro!"
"Kamu kenapa, Leo?" Byan menelisik penuh tanya.
"Kenapa apanya?"
"Cuma beberapa jam bersama Senja, pola pikirmu mendadak berubah."
Mengusap tengkuknya, Leo menggeleng.
"Sori, Byan, aku cuma ingin kamu punya keluarga yang bahagia seperti yang kamu pernah ungkap ke aku. Kupikir, nggak ada salahnya kembali membuka satu per satu masa lalu dan bukan hanya dari Om Romi."
Mendengar itu, Byan menyeringai.
"Kamu nggak perlu repot jadi konsultan rumah tanggaku. Tugasmu hanya mengikuti apa yang aku perintahkan, bukan menjadi mediator atau apalah itu."
Leo menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk.
"Oke, sori."
"Jadi tadi Senja minta diantar ke mana setelah dari rumahnya?"
"Nggak ada. Dia minta langsung pulang."
Byan mengangguk.
"Eum, Byan."
"Ya?"
"Apa kamu pernah ngenalin Om Romi ke Senja?"
Dengan dahi berkerut, Byan menggeleng. "Kenapa emang?"
"Nggak apa-apa. Kupikir Senja tahu soal beliau karena selama ini Om Romi, kan ...."
"Belum waktunya. Nanti pasti ada waktu di mana Adhitama dan Senja tahu tentang Om Romi," paparnya dengan suara berat.
**
Memeluk Boby sembari menikmati alunan musik dan secangkir lemon hangat adalah kebahagiaan yang sederhana yang selama ini tak dia dapat. Senja bersyukur akhirnya Byan mengizinkan kucing kesayangannya ikut tinggal di rumah ini.
Deru mobil terdengar, gagas Senja bangkit dan menggendong Boby untuk diletakkan ke rumahnya.
"Kamu harus jadi kucing yang manis, oke? You must sleep now. Have a sweet dream, Boby!"
Sedikit berlari dia menuju pintu depan, tetapi rupanya Senja kalah cepat, karena Byan sudah lebih dahulu membukanya.
"Hai," sapanya riang.
"Tumben." Byan melangkah melewatinya. "Kamu terlihat happy."
Dengan bibir tertarik lebar, Senja melangkah mengekor suaminya.
"Aku mau bilang terima kasih, akhirnya Boby bisa ada di sini."
"Biasa aja, nggak usah berlebihan!" Byan tanpa menoleh melanjutkan langkah meniti anak tangga menuju kamarnya. Meninggalkan Senja yang hanya bisa menghela napas panjang.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top