Seperangkat Dusta 10
Pelan Byan membersihkan luka di kaki Senja, lalu membubuhi obat kemudian membalut dengan perban. Sementara Senja tak henti menatap pria di depannya itu.
"Selesai. Coba turunkan kakimu!"
Senja melalukan perintah Byan pelan-pelan, tampak dia meringis sedikit, tetapi ingat bahwa dia tidak boleh terlihat lemah di depan sang suami.
"Sakit?"
"Nggak. Makasih, Mas. Aku mau cuci piring dulu." Dia beranjak dari duduk dengan menggigit bibir menahan perih dari kakinya
"Nggak usah! Kamu langsung istirahat aja!" cegahnya menahan lengan sang istri.
"Tapi ini ...."
"Aku bilang nggak usah, ya nggak usah! Paham?" Byan kembali pada mode tegas dan dinginnya.
Tak membantah, Senjata mengangguk dan kembali mengucapkan terima kasih.
"Kalau begitu, aku ke kamar."
"Hmm."
Berusaha tidak tertatih, dia melangkah perlahan meninggalkan Byan yang masih memperhatikannya. Luka Senja cukup dalam, maka wajar jika dia kesulitan berjalan. Melihat itu, Byan menarik napas dalam-dalam kemudian bangkit dan dalam hitungan detik tubuh Senja udah berada dalam gendongannya.
"Mas Byan!" serunya terkejut.
Tak peduli dengan permintaan Senja untuk diturunkan, Byan terus melangkah membawanya hingga ke ranjang. Sejenak saling tatap saat hidung mereka bersentuhan. Aroma maskulin sang suami masuk menelusup indra penciumannya, sementara Byan terpaku pada mata bening milik sang istri yang baru saja dia sadari ternyata sangat indah.
Suara telepon genggam Byan menyudahi semuanya. Mereka berdua terlihat canggung dengan peristiwa yang baru saja terjadi.
"Kamu istirahat! Panggil aku kalau butuh sesuatu!"
Senja hanya mengangguk, sementara Byan menerima telepon dan keluar dari kamar.
**
"Ya, Om Romi?"
"Kamu di mana?"
"Di rumah, Om."
"Transfer ke rekening Om lima puluh juta sekarang, Om butuh banget!"
"Tapi, Om, kemarin bukannya sudah terima tiga ratus juta?"
"Ya, itu kemarin, Byan. Sekarang beda lagi. Kenapa? Kamu keberatan? Kamu tahu ini ada proyek baru yang menjanjikan, lagipula bukannya yang segitu sekarang buatmu nggak ada artinya?"
Byan bergeming. Romi sudah dianggap sebagai orang tua baginya semenjak Ayah dan ibunya meninggal. Sejak ditinggal orang tuanya, Romi-lah yang meng-handle segala kebutuhan hidupnya. Dari hal kecil hingga besar. Sahabat papanya itu sangat melindungi.
"Byan? Kamu masih mendengar, 'kan?"
"Iya, Om."
"Oke, Om tunggu. Segera, ya?"
"Baik, Om."
Obrolan selesai. Byan mengusap wajahnya. Setidaknya dalam satu pekan ini Romi sudah meminta uang tiga kali dalam jumlah yang cukup besar, yang menurutnya untuk membuka bisnis baru di luar pulau.
[Cepat, Byan! Om harus transaksi segera!]
Pesan masuk dari Romi membuat dia menarik napas dalam-dalam kemudian memerintahkan Leo untuk mengurus permintaan pria itu.
**
Byan menuruni anak tangga, aroma cokelat dan butter menusuk hidungnya. Setelah tiga puluh menit berolahraga di rooftop rumahnya, dia bermaksud hendak mengambil minuman di lemari es. Saat berada di anak tangga terakhir, dia melihat Senja sedang beraktifitas di dapur. Lagi-lagi aroma butter menari di penciumannya.
"Pagi."
"Pagi, Mas."
"Kakimu nggak apa-apa?"
"Nggak, Mas. Udah mendingan."
"Hmm. Syukurlah."
Byan membuka pintu kulkas, dia menahan keinginan untuk bertanya tentang apa yang dimasak oke sang istri. Namun, dari aroma dan oven yang menyala dia tahu ini perpaduan aroma butter dan cokelat.
"Hari ini jadi ambil Boby?" Byan meneguk susu tanpa lemak yang baru saja keluar dari kulkas.
Senja mengangguk tanpa menoleh.
"Jam berapa?"
"Leo bisanya jam berapa? Aku ikut aja."
Mata Byan menyipit.
"Leo itu asistenku, dan kamu istriku, jadi kamu yang berhak menentukan waktunya, bukan Leo! Sejak kapan atasan menunggu kesiapan bawahan?"
Senja menoleh kemudian tersenyum. "Dia asistenmu, bukan asistenku, jadi aku nggak berhak memerintah dia sesukaku."
Meletakkan kotak susu kembali ke kulkas, Byan berkata, "Sudah kubilang tadi kalau kamu istriku, kamu juga punya hak untuk memerintah Leo."
Senja tersenyum, kemudian membuka oven. Kue kering cokelat kesukaan Byan keluar dari alat pemanggang kue itu. Aromanya semakin menggoda bagi Byan. Sementara Senja berpura-pura tidak tahu jika sang suami tengah menatap hasil kue buatannya.
"Kamu ...."
"Mau coba?" tawarnya setelah menggigit satu kukis yang masih panas.
"Eum, kamu bikin?"
"Iya, emang Mas pikir aku sedang apa sekarang?" balasnya santai.
"Aku boleh coba?"
"Ambil aja!" Senja mendorong loyang ke arah sang suami. Sengaja dia tak langsung mengambilkan, karena Senja ingat ucapan Byan untuk tidak mau dilayani.
Byan mengambil satu kue kering cokelat dan menggigitnya perlahan.
"Mas nggak usah khawatir, aku nggak memasukkan racun atau apa pun ke situ," sindirnya melihat sang suami ragu.
"Ini ... ini seperti kue yang aku makan kemarin."
"Hu umh."
"Kemarin itu ... Sasa yang bawakan?"
"Nggak. Sasa bawain roti cokelat pisang," terangnya masih mengunyah kukis cokelat.
"Jadi kemarin itu kukis buatanmu?"
"Menurut Mas Byan?"
Byan menatap istrinya, lalu menyuapkan kue ke mulutnya lagi.
"Kenapa kamu nggak bilang kemarin kalau itu buatanmu?"
"Apa itu penting? Bukannya Mas nggak mau makan apa pun yang aku buat?"
Kalimat Senja membuatnya tertampar. Dia seperti menjilat ludahnya sendiri. Sementara Senja kembali memasukkan kue ke dalam oven, tanpa merasa telah bersalah dengan ucapannya.
"Sudah pinter membalikkan kata-kata ya, sekarang."
"Pinter? Bukannya Mas tahu kalau aku pinter?" tangkisnya, tetapi kali ini Senja meringis karena kakinya terasa ngilu.
"Sakit?" tanya Byan terlihat panik.
Senja tak menjawab, dia membungkuk, tapi gegas Byan menahannya.
"Sini aku bantu!" Senja sedikit bergidik karena berdekatan dengan sang suami yang hanya mengenakan kaus singlet gym yang menampakkan otot bisepnya.
"Nggak usah, Mas. Mas nggak ke kantor? Mas bilang ada meeting pagi ini, 'kan?"
"Aku ke kantor kalau sudah yakin kamu baik-baik saja!"
Kejadian semalam terulang, Byan menggendong Senja, tetapi kali ini ke ruang tengah.
"Aku nggak tahu kapan kue yang kamu oven itu matang. Kamu bilang kapan harus dikeluarkan!" ujarnya datar.
"Kamu bisa mengganti perban sendiri?" Dia menatap kaki Senja yang sudah berganti perban.
"Bisa, Mas. Subuh tadi kuganti."
"Good!" Byan kemudian melihat jam dinding.
"Mas kalau mau ke kantor, nggak apa-apa, Mas pergi aja. Aku nggak apa-apa."
"Tetap mau ambil Boby?" Dia menatap Senja.
"Iya, Mas, tapi kakiku ...."
"Biar nanti Leo yang urus. Kamu tinggal duduk biar dia yang melaksanakan!"
Tampak Byan mengetikkan sesuatu di ponselnya.
"Jam 9 Leo ke sini, kamu bisa siap-siap sendiri?"
"Maksudnya?"
"Kamu bisa jalan ke kamar dan berganti pakaian sendiri?" Dia menatap Senja datar.
"Bisa! Bisa, aku bisa. Makasih, Mas."
"Nggak perlu berterima kasih. Itu bukan sesuatu yang luar biasa," balasnya. "Aku mau siap-siap."
Oven berdenting pertanda kue sudah matang.
"Sudah matang." Senja menatap suaminya.
"Oke. Aku keluarkan."
"Eum, Mas Byan."
"Ya?" Dia membalikkan badan.
"Kalau Mas mau bawa ke kantor, ada satu toples di dekat oven. Mas bisa bawa." Dia berkata ragu.
Tak menyahut Byan hanya mengangguk melangkah ke dapur.
**
Leo, pria klimis tanpa kumis dan cambang itu membungkuk sopan saat Senja tertatih keluar dari rumah.
"Maaf, boleh saya bantu?" Dia memberikan lengan sebagai isyarat agar Senja berpegangan pada lengannya.
Meski awalnya Senja keberatan, tetapi akhirnya dia mengangguk dan berpegangan pada lengan Leo.
"Makasih."
"It's okey! Hati-hati!"
Perlahan keduanya berjalan hingga sampai ke mobil.
"Silakan."
Mengangguk, Senja masuk dan memasang seatbelt. Tak lama kemudian, Leo pun masuk dan duduk di belakang kemudi.
"Kamu sudah tahu alamat rumahku?"
"Belum, tapi bos sudah kasi alamat lengkapnya."
Kedua sudut bibir Senja tertarik.
"Sudah siap?" Asisten Byan itu menoleh.
"Sudah."
Mengangguk, Leo perlahan mengemudikan kendaraan roda empat itu menuju kediaman Senja.
"Ada berapa kucing yang mau diambil?" Leo mencoba membuka pembicaraan.
"Satu, cuma satu."
"Sudah lama pelihara kucing?"
"Nggak juga, tapi sekitar lima tahun lalu."
"Cat lovers?"
Senja tertawa kecil, menurutnya Leo cukup friendly bahkan sangat friendly dibanding suaminya.
"Cat lovers ... mungkin, tapi mungkin di step terbawah," jawabnya sembari merapikan poni.
Leo mengangguk. Pria yang sudah lama kenal dekat dengan Byan itu menyesali sikap rekannya yang dia nilai semena-mena dengan Senja. Karena menurut Leo, Senja tidak pantas untuk diberi hukuman untuk tidak dicintai. Terlebih perempuan di sampingnya itu terlalu baik dan tentu saja terlalu cantik untuk tidak dianggap.
☘️☘️
Nah loh ... sepertinya Leo simpatik nih sama Senja.
Apa yang terjadi kekira yaa ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top