Pertama Kali
Aku menguap lebar saat menunggu dengan bosan kereta api yang akan aku tumpangi. Ah, masih setengah jam lagi kereta itu akan datang. Semalam di Jogjakarta rasanyanya sudah cukup bagiku untuk mendapatkan banyak cerita yang kiranya belum pernah aku dengar. Ditemani sepotong roti yang aku beli di stand Roti Boy dan segelas es teh manis, aku mengamati keadaan sekitarku.
Stasiun. Salah satu tempat dimana adanya pertemuan dan perpisahan. Aku duduk bukan pada kursi tunggu penumpang, sudah terlalu penuh disana. Jadi, aku memutuskan untuk duduk pada buk kosong yang juga digunakan pedagang asongan stasiun Tugu menjual koran. Terdengar bunyi bel khas stasiun dimana menandakan kereta akan datang. Sancaka berhenti pada jalur 2. Beberapa penumpang nampak bersiap di jalur tunggu dan beberapa penumpang lain sudah turun dan berjalan melewatiku menuju pintu keluar yang terletak di sisi kiriku.
Terlalu asyik menikmati suasana stasiun, tidak terasa setengah jam pun berlalu. Dan aku sudah menunggu pada jalur tunggu. Banyak sekali penumpang hari ini. Perasaan ngeri sedikit menelusup saat aku harus berdesak-desakkan dengan penumpang lain demi bisa masuk ke dalam kereta Prambanan Express ini. Pada akhirnya aku harus puas bediri di dekat pintu dan aku yakin akan jatuh tersungkur ke luar saat pintu ini terbuka. Aku mengalihkan pandanganku ke dalam kereta. Penuh, sesak, dan... tidak ada ruang untuk bergerak.
Aku sedikit mengeryit saat mencium aroma-aroma tidak sedap. Semua aroma parfume bercampur keringat membuatku sedikit mual. Alih-alih menghilangkan rasa mualku, aku melihat pemandangan dari kaca pintu yang sudah buram. Sial! Lagi-lagi kereta ini membuatku mengumpat berulang kali. Kereta berhenti tepat di atas jembatan yang jika kita melihat ke bawah bukan sungai melainkan jalanan Kota Jogja yang ramai. Sekelebat pikiran dan skenario buruk pun tiba-tiba muncul di otakku. Seandainya seperti ini, dan seandainya seperti itu.
Untung saja, tidak mencapai 5 menit, kereta kembali berjalan melintasi Kota Jogja menuju Solo. Mengabaikan kesesakkan yang ada di kereta, aku menikmati pemandangan yang tersuguh. Hamparan sawah, ladang, sesekali tersenyum melihat segerombolan anak kecil bermain. Melintasi perumahan, perkantoran dan beberapa gedung tinggi.
Suara rem berdecit menyadarkanku kereta sudah mencapai stasiun Purwosari, sebentar lagi aku sampai. Pintu terbuka membuatku buru-buru mencari pegangan agar tidak terjatuh. Sial, lagi-lagi! Tidak tahu apa mereka jika aku akan jatuh?
Sebuah tangan menyelamatkanku. Aku melihat tangan berkulit cokelat itu menahan tanganku agar tidak jatuh, sedikit keatas aku melihat baju kemejanya yang digulung hingga siku. Sedikit keatas lagi aku bisa melihat dua kancing kemejanya terbuka, karena panas. Dan keatas lagi, aku bisa melihat wajahnya yang tengah tersenyum manis kepadaku.
Untuk pertama kalinya aku terdiam melihat pria itu.
***
p.s. ditulis sepulang perjalanan dan bermalam di Jogja tiga tahun lalu, saat hati sedang terkurung dengan satu nama . Saat harus menunggu kereta yang tak kunjung datang, dan saat sekelebat skenario nakal menari-nari di kepala.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top