Kampus Kemarau
https://youtu.be/6-isNhakl1E
Jimi berjalan gontai di lorong kampusnya. Sesekali dia mengibas-ngibaskan kerah bajunya berharap mendapat sedikit kesegaran. Rasanya dia ingin segera masuk ke dalam kelas, tapi langkahnya terasa sangat berat mengingat letak kelas filsafat berada di gedung seberang di lantai 4.
Jimi memicingkan matanya menatap Bathara Surya yang dengan angkuhnya bertengger di atas langit. Hampir 1 bulan tanah merindukan air hujan, bahkan tarian hujan sudah di lakukan penduduk di beberapa daerah.
"Jimi!!"
Jimi melihat Riki berlari ke arahnya.
"Hari ini kuliah kosong!" Ucap Riki dengan napas terengah-engah. "Dosen killer itu sedang menunggu kelahiran anaknya yang nomor tujuh!"
"Ha? Nomor tujuh?" Jimi menganga tidak percaya. "Aku kira istrinya sedang hamil anak nomor dua."
"Anak yang nomor 1 hingga 5 kembar. Kabarnya yang ini juga kembar dua. Jadi dia menunggu kelahiran anak nomor 6 dan 7."
Pupus sudah harapan Jimi bisa menikmati kelas ber-AC yang menjadi primadona di musim panas.
Keduanya kemudian berjalan ke kantin yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri sembari dengan serunya membicarakan dosen filsafat mereka yang terbilang killer dan unik dengan banyak anak.
"Prof. Yuda itu masih berpegang pada pepatah kuno. Banyak anak banyak rejeki." Riki bertutur.
"Pesan apa? Biar aku pesankan." Jimi mengambil dompet yang tadi dia masukkan ke dalam tasnya.
"Jika Bu Meti nggak marah aku pesen sebongkah es batu, pesankan satu bongkah untukku!"
Jimi tergelak dan meninggalkan Riki memesan minuman dingin dan segar.
Keadaan kantin riuh dengan mahasiswa yang kelaparan di jam makan siang. Berteriak melomba memesan makanan. Riki bisa membayangkan betapa liarnya mahasiswa yang sedang kelaparan dan dihimpit oleh kuliah, atau ujian selanjutnya.
Jimi kembali dengan 2 gelas es teh dan 2 porsi sup buah.
"Bu Meti tidak mengijinkan kamu memesan bongkah es?"
"Mau aku dijadikan daging soto."
Riki tergelak dan langsung menyantap es buah dengab gegap gempita.
"Aku jadi malas pulang." Keluh Jimi. "Angin memang sepoi-sepoi tapi panasnya bukan main! Debunya juga bikin lubang hidungku ini gatal."
"Hujan masih malu-malu rupanya. Kamu tahu musim panas seperti ini bau ketiak kemana-mana."
Keduanya tertawa bersamaan. Jimi lalu kembali melihat Bathara Surya diantara rimbunnya pohon.
"Jika saja dengan satu sentuhan tangan aku bisa menggeser awan dan menutup matahari. Seperti memindah halaman di smartphone."
"Jika kamu berani melawan kekuatan sang Kuasa." Ledek Riki dan disambut umpatan Jimi.
***
p.s. cerita ini terinspirasi dari lagu WSTCC yang judulnya Kampus Kemarau. Ditulis dua tahun lalu tanggal 23 Maret 2014 jam 1 siang sepulang kuliah dengan keringat bercucuran.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top