Arah Pembicaraan
Terkadang aku heran sendiri, dalam sebuah obrolan yang santai; yang mulanya hanya membahas—istilahnya bagaimana burung bisa terbang, bisa berlanjut ke pembicaraan lain, seperti betapa menyedihkannya politik di Indonesia, lalu berlanjut ke kehidupan anak pejabat, membahas barang-barang mahal dengan harga yang tidak masuk akal dan terkadang berakhir pada obrolan yang sebenarnya tidak begitu penting. Lucu sekali bukan?
Pun setelah obrolan hangat itu berakhir, beberapa menit kemudian aku akan bertanya pada diriku senidri, 'kok, bisa ngomongin itu sih, tadi?"
Sama halnya yang aku rasakan beberapa menit lalu dan kini tengah memikirkan arah pembicaraan aku dengannya. Tadinya kami heboh sekali membahas pergaulan anak muda jaman sekarang, kemudian berlanjut pada mendata siapa saja sahabat-sahabat kami yang sudah menikah. Hingga akhirnya aku terbahak sendiri saat mengingat kejadian aku terjatuh ketika naik pelaminan untuk memberikan selamat kepada teman SMA ku yang menikah beberapa minggu lalu.
"Kalau kita kapan?"
"Eh?" aku berhenti tertawa ketika mendengar pertanyaannya. "Apanya?"
"Kita kapan naik pelaminan?" tanyanya gemas.
Aku tergagap. Dan segera meneguk espresso yang tinggal setengah gelas, berkahir pada aku yang tersedak dan terbatuk-batuk.
"Aduh, kamu tuh, ditanyain gitu aja udah batuk-batuk. Gimana aku ajakin nikah besok?" dia tertawa puas sembari menepuk-nepuk punggungku pelan dan lembut. "Apa aku coba aja ya? Kalau besok kita menikah gimana, nona Syafira Adishree Gilli? Dan menyandang gelar Bhadrika di nama belakangmu?"
Aku tidak pernah tahu dengan arah pembicaraan, yang tidak pernah memberi tanda jika akan berbelok ataupun harus tetap lurus. Apa karena arah pembicaraan belum memiliki GPS?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top