TUJUH

Bagaimana sama kamu? Apa kamu bawa bekal ke kantor/sekolah/kampus seperti Ava dan Manal? Atau beli? Apa kamu ada ide menu buat di-share sama aku? Aku tipe bawa bekal :-)

Terima kasih kamu sudah mengikuti perjalanan Manal dan Ava.

Tinggalkan komentar dan bintang untukku ya. Juga ceki-ceki daftar karyaku yang lain. Kalau kamu suka cerita ini, mungkin kamu bisa dukung karyaku di toko buku, Gramedia Digital, Google Playbook, apk iPusnas--gratis dan legal, atau Tokped/Shopee ikavihara. Buku terbaruku baru terbit lho, The Dance of Love, tentang principal dancer Indonesia di The Royal Ballet of Denmark yang jatuh cinta pada urbanist asal Copenhagen. Novel ini ber-setting tempat di Copenhagen, Denmark.

Love, vihara (TikTok/IG/FB/karyakarsa ikavihara WhatsApp 083155281228)

***

Jarang sekali orang mau mengaku mereka tengah berselingkuh. Oleh karena itu, biasanya berita perselingkuhan diketahui dari pihak ketiga. Sebab, mau bagaimana lagi, sesorang tentu berusaha menutupi perbuatan tak terpuji seperti itu dengan sangat rapi. Rusak harga diri kalau sampai khalayak tahu mereka ternyata tukang selingkuh. Seseorang yang telanjur mencintai—seperti Manal—saat mendengar desas-desus seperti itu, bisa memilih untuk tidak percaya. Atau mengonfrontasi pasangannya lebih dulu. Pelaku perselingkuhan akan mengelak. Hingga ada bukti-bukti nyata yang dihamparkan di depan mata.

Seandainya saja Manal tidak mendengar pengakuan tersebut langsung dari mulut Disha, mungkin dia juga akan memilih untuk tidak percaya. Dan tetap berprasangka baik kepada Disha. Tetapi kalau Disha sendiri yang menyampaikan dengan bangga? Seseorang yang paling dipercaya Manal, selain keluarganya? Bagaimana Manal bisa berpura-pura perselingkuhan itu tidak terjadi?

Disha meminta maaf kepada Manal karena jatuh cinta pada laki-laki lain padahal masih menjalin hubungan dengan Manal. Setelah mematahkan hati Manal dan menghancurkan salah satu mimpi terbesar Manal, tanpa menunggu tanggapan Manal, Disha tergesa meninggalkan Manal dengan alasan tunangannya sudah menunggu di luar. Seperti Disha tidak tahan bertemu Manal lebih lama. Satu detik pun tidak mau.

Ternyata seperti ini tidak enaknya patah hati. Tidak ada kejadian lain yang bisa menandingi. Manal memejamkan mata, berusaha menghilangkan rasa sakit di dalam dadanya. Manal seperti sedang naik pesawat di atas Gurun Sahara. Kemudian ada pihak yang tega menjatuhkan Manal di sana, di tengah padang pasir yang jauh dari mana-mana. Sepatu yang dia kenakan hilang tak tahu di mana rimbanya. Dan dia terpaksa berjalan telanjang kaki di atas pasir panas yang membuat telapak kaki melepuh.

Ketika kulit sudah terlalu perih dan kita tidak sanggup lagi meneruskan langkah, tidak ada yang bisa dia lakukan selain duduk lemas di balik batu, berlindung dari sengatan sinar matahari yang tanpa ampun menghujam bumi, tidak terbendung oleh apa pun. Di tengah rasa sakit dan takut, dia masih harus berpikir. Apa yang harus dia lakukan selanjutnya? Menunggu seseorang datang untuk menyelamatkannya? Lalu berharap mereka bisa menyembuhkan luka di kaki Manal dan membelikan Manal sepatu baru? Atau Manal sendiri yang harus menyembuhkan luka di telapak kakinya, tidak tahu dengan apa, kemudian mencari jalan menuju ke kota dan membeli sepatu?

Sampai detik ini, seperti itulah Manal menjalani hidup. Bagai seseorang yang tersesat di tengah gurun Sahara. Luka yang diderita Manal tak kunjung sembuh, walaupun waktu telah banyak berlalu. Manal juga belum menemukan sepatu baru untuk berjalan lagi. Tidak ada satu orang pun yang bisa memberitahu Manal di sebelah mana jalan keluar untuk melepaskan diri dari situasi seperti ini. Apa suatu hari nanti, Manal akan mampu menemukan cara untuk menolong dirinya sendiri?

Smart. Good looking. Caring. Loving. Well paid job. Best pick for a life partner. Laki-laki seperti Manal pantas menjadi salah satu kandidat pasangan hidup terbaik bagi seorang wanita. Begitu Manal sering berpikir dengan percaya diri. Atau sekarang selera wanita sudah berubah? Software engineer tidak laku lagi dan semua orang mengantri untuk menjadi istri pejabat? Atau anaknya pejabat?

Ditinggalkan, dicampakkan, atau apa pun istilahnya, memang sesuatu yang mau tidak mau harus dilalui banyak orang pada satu titik dalam hidupnya. Ketika itu terjadi, mereka tidak punya pilihan selain menghormati keputusan seseorang yang meninggalkan mereka. Kalau memang mereka sudah tidak cinta mau diapakan lagi? Kalau mereka sudah tidak ingin bersama, mau bagaimana lagi? Tetapi ketika diselingkuhi? Manal dipaksa percaya ada yang salah pada dirinya. Ada yang kurang. Disha menyukainya, ingin bersamanya, tapi sayangnya Manal dinilai tidak cukup baik sehingga Disha mencari pelengkap pada diri laki-laki lain. Yang kemudian, setelah dipertimbangkan, ternyata lebih sempurna daripada Manal.

"Manal, tumben kotak makannya sudah dicuci?" Pertanyaan ibunya membuat Manal mengalihkan pandangan dari Gian, keponakannya, yang sejak tadi mencoba mengangkat Eeve, kucing gendut milik adik Manal. Lamunan Manal terhenti.

"Oh, dicuci teman," jawab Manal dari tempat duduknya, di sofa di depan TV.

Ava selalu mencuci kotak bekal Manal setelah menandaskan isinya. Memang Ava rajin sekali. Beda dengan Manal yang sering lupa mengeluarkan kotak bekal kotor dari dalam tasnya sampai tiga hari. Membuat ibunya mengomel tiada henti.

"Teman wanita ya?" Ibunya tersenyum penuh harap menatap Manal.

"Memangnya yang rajin bersih-bersih cewek saja? Cowok nggak?" Manal menyalakan TV, demi menghindari pertanyaan selanjutnya dari ibunya, yang tidak suka Manal duduk melamun di depan TV mati.

"Mama tidak yakin Fasa atau teman laki-laki mau dititipi mencuci kotak bekalmu."

"Siapa pun yang makan bekalnya, ya harus mencuci."

"Fasa yang makan bekalmu? Besok kalau dia ke sini, Mama akan tanya apa...."

"Bukan Fasa, Ma. Temanku yang lain yang makan." Manal tidak ingin ibunya bergosip dengan Fasa, yang tinggal lima rumah dari sini. Belakangan Fasa mulai mencurigai Manal dan Ava sengaja janjian setiap siang di pantry, hanya karena Manal pernah sekali menolak ajakan Fasa untuk keluar makan siang. Sejak bertemu Ava di pantry, Manal tidak ingin makan di tempat lain. Acara makan siang Manal dan Ava tidak boleh terganggu oleh apa pun. Atau siapa pun. Karena itulah satu-satunya waktu di mana Manal merasa sangat bahagia. Bisa duduk dan mengobrol dengan wanita paling cantik di gedung mereka, tentu tidak ada laki-laki yang bisa merasa sedih.

"Hmmm ... Mama tetap merasa temanmu ini wanita. Kalau dia makan bekalmu, kamu makan apa? Kamu tidak akan mau berkorban seperti itu kalau tidak...."

"Mama." Potong Manal. Just leave me alone, Manal menambahkan dengan tatapan matanya. Selalu saja ibunya tertarik dengan urusan Manal, terutama kalau urusan tersebut menyangkut seseorang yang mungkin berpotensi menjadi calon istri.

"Kenapa?" Manal menoleh ke arah Banan—kakaknya—yang baru saja tiba dan mengerang kesakitan. Bersyukur Banan menyelamatkan Manal dari interogasi ibunya.

Banan duduk di samping Manal sambil mengangkat Gian ke sofa. Kakak laki-laki Manal tinggal di Australia dan sedang liburan di sini.

"Sakit gigi," jawabnya sebelum memanggil istrinya, "Honey, ambilin pain killer lagi!"

"Papa, wanta pway!" Gian berteriak sambil turun dari pangkuan ayahnya.

"Main sama Om Manal dulu, Champ. Gigi Papa sakit," kata Banan.

"Pway ball?" tawar Manal kepada Gian. Setelah menatap kasihan pada kakaknya, Manal membawa Gian ke pangkuannya.

"No. Bed time." Irina, istri Banan, mengambil Gian dari pangkuan Manal.

"No bed!No swepy! No!" Teriak Gian tidak terima, lalu meronta-ronta minta turun.

"Sayang, aku butuh painkiller lagi," keluh Banan kepada istrinya.

"Itu sudah yang paling ampuh." Irina menjawab. "Sabar. Nanti aku akan mengurusmu setelah menidurkan Gian." Kemudian Irina menyentuh pipi kanan Banan. "Sambil menunggu, cobalah untuk menikmati rasa sakitnya. Kalau kamu bisa menikmatinya, nyerinya nggak akan terasa. Besok kita ke dokter gigi."

Saran Irina membuat Manal tersenyum pahit. Karena seseorang tidak bisa menghilangkan patah hati, bagaimana kalau mencoba untuk menikmati rasa sakitnya?

***

Aku keterima

Ava tersenyum lebar membaca pesan dari Arvin. Sejak tadi malam Arvin gelisah sekali menunggu pengumuman diterima atau tidaknya dia di perguruan tinggi pilihannya. Tidak terasa waktu sudah banyak berlalu, sekarang Arvin sudah dewasa. Sudah akan meninggalkan rumah untuk hidup jauh dari keluarga.

Ava menyayangi Arvin sejak Arvin masih berada di dalam kandungan. Setiap malam, Ava, yang berusia sepuluh tahun saat itu, selalu meletakkan telapak tangannya di atas perut Linda. Lalu Ava bertanya kepada Linda apa yang sedang dilakukan bayi di dalam sana atau apa bayi tidak kesepian sendirian di dalam sana. Jawaban dari Linda tentu saja hanya gurauan dan mereka berdua tertawa bersama. Saat Arvin lahir, Ava bahagia karena mendapat hadiah boneka hidup. Yang bisa menangis betulan saat lapar atau ngompol. Kegiatan favorit Ava adalah mendorong kereta bayi Arvin bersama ayah mereka pagi. Ayah mereka yang masih waras tentu saja. Seandainya saja sekarang semua tetap sama seperti hari itu. Pasti Linda, Ava dan adik-adik Ava akan lebih bahagia. Jauh lebih bahagia.

"Oh, hai." Ava tersenyum dan menghentikan gerbong pikirannya saat Manal masuk ke pantry. Tidak pernah satu hari pun mereka melewatkan acara makan bersama ini.

"Kok belum mulai makan? Oh, kamu nungguin aku, ya?" Manal tersenyum menggoda.

"Tadi melamun sedikit tapi ... keterusan." Ava berkelit. Padahal Ava memang menunggu Manal. Untuk makan siang bersama. Ini salah satu highlight dalam tiap-tiap hari. Setiap pukul dua belas siang, Ava bergegas ke pantry dan mengambil tempat di sana. Duduk menghadap jendela. Menanti Manal datang untuk duduk di sampingnya.

"Kenapa kamu jadi sering melamun di kantor?" Manal mengambil tempat di sisi kanan Ava. "Ada kesulitan untuk project kita? Atau ada masalah lain?"

"Nggak ada. Aku memikirkan urusan lain. Urusan di rumah."

"Tukar makanan lagi nggak hari ini?" Manal membuka kotak bekalnya lalu menggeser kotak itu ke hadapan Ava.

"Ini beneran nggak papa kalau ditukar? Punyaku nggak sepadan lho." Ava memandang bungkusan daun pisang di depannya. Baunya sudah tercium walau bungkus daun pisangnya belum dibuka. Sangat menggugah selera. Apa Manal tidak sayang memberikan makan siangnya yang aromanya sangat lezat ini kepada Ava?

"Kamu coba dulu. Itu nasi bakar paling mantap. Masakan jagoan ibuku." Manal membantu Ava melepas lidi di ujung daun pisang. "Dijamin kamu akan ketagihan."

Ava tidak memerlukan penjalasan lebih jauh. Cepat-cepat Ava memotong nasi lonjong tersebut. Agar liurnya tidak menetes, Ava haru menutup bibirnya rapat-rapat. Nasi bakar isi ayam, ikan teri, daung singkong, dan kelapa parut. Dilengkapi sambal dan rempeyek kacang juga. Masih ditambah dengan telur balado.

Sedangkan bekal Ava hari ini hanya ayam goreng terasi ditemani sambal dari kecap dicampur cabe. Tentu saja Linda yang menyiapkan.

"Kenapa ya, nggak pernah ada yang makan di sini? Selain kita." Manal berdiri untuk mengisi botol minumnya. Pantry selalu saja sepi saat jam makan siang.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top