TIGA PULUH
Halo, gimana kabar hari ini? Hari Jumat nggak ada update karena aku perlu istirahat libur panjang. Semoga cerita Manal dan Ava bisa memunculkan senyum di wajahmu. Dan hatimu. Hahaha. Please, tinggalkan komentar dan kasih aku bintang ya. Terima kasih sudah sabar mengikuti cerita ini.
Love, Vihara(IG/Karyakarsa/TikTok ikavihara, WhatsApp 0831 5586 1228)
***
"Siapa yang tahu? Tapi itu nggak perlu kamu pikirkan. Karena kamu sudah nggak ada hubungan apa-apa dengannya sekarang. Kamu nggak datang ke kondangan Citra hari ini?"
"Nggak ada barengannya. Tana datang sama gebetannya."
"Kamu tahu itu artinya apa? Kalau semua temanmu sudah sibuk dengan pasangannya, artinya kamu sudah harus punya pasangan." Manal menyeringai lebar.
"Haha! Aku sudah punya pasangan pura-pura."
"Astaga, kalian berdua!" Ibu Manal muncul lagi di ruang tengah. "Baru kali ini Mama lihat orang pacaran main game bola. Manal, kamu nggak ambilkan minum atau apa buat Ava? Diajak makan sana."
"Kayaknya benar selalu ada jodoh untuk setiap orang." Nella, yang kini berdiri di samping ibunya, berkomentar. "Bahkan buat orang seperti Manal yang payah. Yang nggak ngerti harus ngapain saat kencan."
"Oh, Nella, aku bawa almond cheese stick sama cheesecake." Ava menunjuk bawaannya di meja rendah di samping sofa .
Nella langsung bergabung dengan Manal adan begitu mendengar nama oleh-oleh yang dibawa Ava.
"Sepertinya di kulkas ada jus jeruk." Manal mem-pause game-nya dan berjalan ke dapur.
"Kamu memang terbaik, Va." Nella menggigit kuenya. "Kakak ipar yang kuinginkan ya yang seperti ini. Yang suka bawa oleh-oleh favoritku. Aku memberi restu."
"Mama juga." Ibu Manal menimpali.
***
Ini kali kedua Ava ikut makan malam di rumah Manal. Suasananya tetap hangat seperti dulu. Makan malam adalah kegiatan krusial untuk membangun keharmonisan keluarga. Hubungan antaranggota keluarga dipererat pada waktu seperti ini. Kedekatan Nella dan Manal dengan ayahnya adalah bukti. Nella sedang menceritakan rencana studi lanjutannya, meski tidak berniat menunda untuk segera memberi Gian sepupu. Dokter Hafidz memberikan saran kepada Nella dan Julian. Mengenai bagaimana menyelaraskan hidup mereka nanti.
Keluarga Ava juga selalu makan malam bersama. Bedanya makan malam keluarga Ava dengan keluarga Manal, kepala keluarga hadir di sini. Ada sosok seorang ayah di meja makan. Yang sekarang sedang menegur Manal karena kesalahan sederhana; memegang ponsel saat mereka semua sedang berkumpul.
"Peraturan kita masih sama, Manal. Tidak boleh membawa handphone ke meja makan." Dokter Hafidz memperingatkan.
"Urusan pekerjaan, Pa. Penting." Manal beralasan.
"Itulah kenapa zaman sekarang orang mudah stres. Lalu mudah sakit. Mereka tidak memberi waktu istirahat untuk otaknya. Mereka mengizinkan penyebab stres dengan bebas mengakses otak selama dua puluh empat jam, tujuh hari seminggu. Lewat handphone. Kalau pemakaiannya tepat, memang handphone membawa manfaat. Tapi kalau berlebihan...."
"Sudah kumatikan, Pa." Manal berdiri untuk meletakkan ponsel di atas kulkas.
"Siapa lagi yang kamu hubungi, Manal?" Ibunya menimpali. "Pacar juga di sini."
"Astaga. Sudah kubuang HP-ku," jawab Manal. "Jangan bikin Ava curiga dong. Aku cuma bicara sama Fasa. Kamu nggak cemburu kan, Ava?"
"Cemburulah." Nella yang menjawab. "Masa dia kalah saing sama Fasa."
"Sudah, sudah. Mari makan." Ibu Manal mengambil posisi di samping suaminya.
Ava duduk berdampingan dengan Manal, berseberangan dengan Nella yang duduk di sebelah Julian. Mereka mengelilingi meja oval besar yang penuh makanan, buah, dan puding. Liur Ava hampir menetes saat mengisi piringnya dengan nasi putih, bandeng presto, dan tumis kangkung-jamur. Ditambah sambal terasi. Pengalaman dulu-dulu, data Ava merampok bekal Manal, sambal terasi buatan ibu Manal selalu pedas level gila.
Plak!
Refleks Ava memukul tangan Manal. Manal mengaduh, lalu mengibaskan tangannya, hingga sikunya menyenggol gelas. Air putih tumpah dan menggenangi meja makan.
"Kenapa sih? Aku salah apa?" keluh Manal.
Sepertinya pukulan Ava mengagetkan semua orang. Karena kini semua mata menatap ke arah mereka.
Takut-takut Ava menundukkan kepala dan menggumam, "Sorry, aku...."
Tangan Ava gemetar saat mencoba mengambil sendok untuk melanjutkan makan. Air mata mengalir di pipinya. Bagaimana mungkin Ava bisa menggunakan tangan yang sama, yang dipakai untuk memukul Harlan, dulu, dan Manal, tadi, untuk makan? Kata-kata yang pernah diucapkan Harlan tiba-tiba bergema di kepala Ava. Bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ava sama kasarnya dengan sang ayah. Sama-sama suka menyakiti. Apa yang dipikirkan keluarga Manal sekarang? Mungkin mereka khawatir jika sampai Ava menikah dengan Manal, lantas mereka memiliki anak, Ava akan mendisiplinkan mereka dengan kekerasan. Tidak. Tidak. Ini alasan utama Ava tidak ingin menikah.
Ya Tuhan. Ava terisak perlahan. Datang ke sini adalah sebuah kesalahan. Keluarga yang harmonis dan penuh cinta bukanlah tempat yang tepat untuk Ava. Ava tak pantas berada di dalamnya. Seandainya saja—
"Ava." Manal menyentuh lengan Ava. "Ikut aku sebentar."
Manal membantu Ava berdiri dan mengajak Ava meninggalkan ruang makan. Keluarga Manal menatap mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Namun Manal tidak akan bicara di sini. Mereka berdua memerlukan privasi. Hanya ada satu tempat yang menyediakan itu. Kamar Manal. Di belakang Manal, Ava berjalan lunglai.
"Kamu kenapa, Ava? Kenapa kamu tiba-tina menangis?" tanya Manal setelah mendudukkan Ava di tepi tempat tidur dan menutup pintu kamar.
"Maafkan aku. Aku kasar sama kamu tadi. Aku ... aku memukulmu ... di depan keluargamu. Aku menyakitimu...." Ava tidak berani menatap mata Manal. "Aku pernah mukul Harlan ... karena dia menghinaku ... lalu dia bilang aku sama saja dengan Papa. Kasar. Abussive...." Suara Ava bergetar. "Dia benar ... sepertinya aku memang seperti itu."
"Kamu nggak sama dengan ayahmu, Ava." Manal menarik kursi dan duduk di depan Ava. "Kamu memukul tanganku karena kamu ingin mencegah aku mengambil sambal. Setelah kamu tahu aku mencret beberapa hari lalu. Itu wajar. Aku malah berterima kasih karena kamu perhatian padaku. Orangtuaku dan Nella saja diam."
"Tapi kamu kesakitan tadi...."
"Itu bukan kesakitan. Tapi aku kaget dan ada sambal yang ada di sendok muncrat ke sini. Ke kaus kesayanganku." Manal menunjukkan bagian depan kaus putihnya.
"Kalau cuma ingin mengingatkanmu, aku cukup pakai kata-kata saja. Cukup menegur. Aku nggak perlu sampai memukulmu ... dengan sekeras itu...."
"Dengarkan aku, Ava. Kamu nggak kasar dan kamu nggak sama dengan ayahmu. Pukulanmu tadi nggak keras. Nggak ada bekas apa-apa kan? Apa kamu menepis tanganku karena kesal padaku, karena marah, atau tanpa alasan yang jelas? Tidak, kan? Itu demi kebaikanku. Kalau kamu yang sedang sakit perut dan tetap ngeyel ingin makan sambal, aku mungkin juga akan melakukan hal yang sama. Jadi, jangan dipikirkan. Okay?"
"Orangtuamu ... keluargamu ... mereka pasti mengira aku kasar, bar-bar dan—
"Ssshhh...." Manal meletakkan telunjuk di depan bibir Ava. "Mereka nggak akan berpikir apa-apa."
"Tapi mereka melihatku menangis...."
"Semua orang pernah menangis. Itu bukan masalah."
Karena Ava tidak juga menjawab, Manal mengajak Ava berdiri. "Kamu mau membasuh wajah dulu? Kalau kamu nggak ingin melanjutkan makan, aku akan mengantarmu pulang."
"Aku nggak enak sama ibumu kalau pulang sebelum makan. Ibumu sudah susah-payah masak untuk kita."
Manal mengangguk, lalu mengantarkan Ava hingga ke depan kamar mandi. Lima menit kemudian, Ava keluar dan mereka berjalan kembali ke ruang makan.
"Kalian nggak papa?" tanya Nella begitu Ava duduk lagi di kursinya.
"Ava nggak papa. Aku yang kenapa-napa." Manal menggenggam dan meremas pelan tangan Ava lalu tersenyum. "Maafkan aku sudah bikin kamu kesal hari ini. Kamu sudah mengingatkan aku buat nggak makan sambal dulu tapi aku nggak tahan. Jangan menangis lagi. Kamu nggak perlu cemburu. Yang tadi siang meneleponku itu bukan siapa-siapa. Itu cuma Fasa, kamu bisa cek. Aku nggak menyembunyikan apa-apa darimu."
Ava menggigit bibirnya. Air matanya hampir keluar. Lagi-lagi Manal mengarang cerita untuk melindungi Ava di depan keluarganya.
"Kapan kamu akan menikah kalau kamu bikin pacarmu kesal terus seperti itu. Hobimu itu mengacaukan hubungan ya?" Nella mencela kakaknya.
"Mengacaukan bagaimana? Aku serius dengan Ava. Ini kejadian langka, ya. Aku mengajak wanita yang kusukai ke sini secepat ini. Kami belum lama pacaran."
"Mengajak?" dengus Nella. "Yang mengajak bukan kamu. Dulu, kalau kamu lupa, Ava datang ke sini untuk pertama kali, karena Mama. Yang kedua, hari ini, karena aku. Apa yang sudah kamu lakukan? Nggak ada. Kalau bukan karena kami, kamu nggak akan dapat apa-apa. Jadi jangan bikin usaha kami sia-sia!"
Sisa makan malam dihiasi dengan saling melempar ejekan antara Manal dan Nella. Sering mereka berhasil membuat semua orang tetawa. Sesekali Manal meraih tangan Ava dan tersenyum menenangkan.
"Semua akan baik-baik saja, Ava," bisik Manal di telinga Ava.
***
"Thank you." Ava menyerahkan helm kepada Manal. Motor Manal sudah berhenti sempurna di halaman rumah Ava. "Lama-lama aku jadi suka naik motor."
Selama ini Ava tidak pernah memberi perhatian khusus kepada pengendara motor. Bagi Ava, mereka tidak lebih dari orang yang berpapasan dengannya di jalan. Tetapi setelah beberapa kali memperhatikan Manal mengancingkan jaket, wajah tampan Manal menghilang di balik helm, dan kedua kaki Manal yang seksi mengapit Sheila, serta beberapa kali Ava menikmati punggung Manal, pandangan Ava kini berubah. Motor ini bagian dari diri Manal, identitas Manal, dan Ava akan berusaha untuk menghargainya.
"Aku sudah pernah bilang kamu akan menyukainya." Great job, Sheila. Manal memuji motornya dalam hati.
"Maafkan aku untuk yang tadi...." Ava mengulang permintaan maaf karena masih merasa tidak enak sudah memukul Manal.
"Ava." Manal menyentuh pipi Ava dan melarikan jemarinya dengan pelan di sana. "Jangan dipikirkan, oke? Aku senang karena kamu perhatian kepadaku. Malah Nella, adikku yang dokter itu, nggak ingat kalau dia kemarin menyuruhku puasa sambal dulu sementara. Seminggu katanya."
"Itu ... Memukul orang bukan kebiasaanku."
"Aku tahu, Ava. Apa besok kamu mau bareng aku berangkat ke kantor?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top