TIGA

Ava menyentuh komputernya. No emotions. No real pain. Just the logic of the machine. Benda ini tidak akan bisa menelepon Ava tiba-tiba dan mengatakan tidak bisa melanjutkan hubungan. Kalau kata Tana, Ava terlalu serius dalam menjalankan peran sebagai software engineer. Mana ada manusia normal yang menggerutu setiap hari Jumat tiba, hanya karena harus menghabiskan dua hari berikutnya tanpa perlu pergi ke kantor? Tidak ada orang waras yang setiap hari datang paling pagi ke kantor—office boy saja baru mulai menyapu lantai—dan langsung bekerja. Sementara pegawai lain mungkin baru selesai mandi.

Berbeda dengan laki-laki—terutama jenis yang sama dengan ayah Ava dan Harlan—komputer tidak akan pernah mengkhianati dan tidak akan pernah meninggalkan Ava. Juga selalu ada kapan pun Ava membutuhkan. Selalu siap memenuhi sebagian besar kebutuhan Ava. Setiap kali Ava ingin tertawa, ada banyak pilihan, mulai dari stand up comedy sampai video Sponge Bob Square Pants yang bisa dia saksikan hanya dengan duduk di depan komputer. Ingin melampiaskan kekesalan? Ava bisa menembaki monster di sana. Belanja, mendengarkan musik, membaca buku, mengetahui gosip terkini, apa saja. Mesin ini melakukan semua yang diinginkan Ava. Bagusnya, tidak seperti ayah Ava, komputer tidak bisa berteriak dan tidak bisa marah. Dan tidak seperti Harlan, komputer tidak punya orangtua yang tidak menyukai Ava.

Satu hal yang tidak diketahui Tana, atau siapa pun, Ava lebih suka menyendiri di meja kerjanya di kantor dan menghadapi komputer pada pagi buta, daripada harus melihat ibunya berpura-pura semangat dan ceria demi tidak membuat anak-anaknya khawatir. Oleh karena itu Ava jarang sekali mau ikut sarapan di rumah. Biasanya Ava menahan lapar sampai jam makan siang tiba. Ava ingin tertawa. Dengan kebiasaan buruk seperti itu, bagaimana bisa setiap pagi Ava selalu mengingatkan Harlan untuk selalu sarapan? Seperti orang bodoh saja. Mulau hari ini dan seterusnya, Ava tidak akan mengulangi kebodohan yang sama.

***

Ava memandangi steak salmonnya dengan tidak berselera. Setiap pagi, Linda—ibu tiri Ava—selalu menyiapkan bekal untuk Ava, setiap kali Ava menolah sarapan di rumah. Harapan Linda, Ava memakan bekal tersebut sebelum mulai bekerja. Tetapi karena Ava seringkali tidak punya nafsu makan di pagi hari, jadi Ava baru membuka kotak bekalnya pada jam makan siang.

Saat Ava masuk ke dapur tadi pagi, Linda tersenyum lebar seperti biasa. Wanita yang melahirkan dua adik Ava itu terlalu baik—atau bodoh menurut pandangan Ava—karena tetap bertahan di dalam pernikahan meskipun disakiti sedemikian rupa oleh suaminya. Keputusan Linda membuat Ava heran, dan bertanya-tanya, apa Linda itu tidak pernah patah hati melihat suaminya dengan begitu leluasa berganti-ganti pasangan selingkuh? Tidakkah Linda merana setelah begitu sering mendapat perlakuan buruk dari suaminya?

"Nanti makan malam di rumah atau di luar?" Tadi Linda bertanya sambil tetap tersenyum hangat. Bayangkan, Linda masih bisa memasang wajah ceria setelah tadi malam dimaki-maki suaminya. Kalau Ava ada di posisinya, Ava sudah membawa anak-anaknya minggat.

Ava akan merasa lebih baik jika pagi tadi Linda mengantar Ava ke pintu dengan mata memerah dan bengkak bekas menangis. Dengan begitu setidaknya Ava punya alasan yang kuat untuk kembali memaksa Linda supaya menyudahi saja pernikahan tidak berguna itu. Sepasang mata ibu tiri Ava tidak pernah ikut tersenyum. Tetapi itu sudah cukup untuk mengelabui Adeline yang masih kecil dan, mungkin juga, Arvin. Apa tidak melelahkan hidup dalam kepura-puraan seperti itu? Karena Linda selalu menutupi perasaannya, Ava jadi tidak tahu seberapa besar rasa kecewa yang sebenarnya terpendam di dalam diri wanita itu.

Kalau dulu, saat Arvin dan Adeline masih kecil, Ava mengerti Linda berusaha terlihat baik-baik saja demi membuat anak-anaknya tenang. Tetapi sekarang rasanya tidak perlu. Ava dan adik-adiknya sudah tahu bagaimana kelakuan ayah mereka di luar dan di dalam rumah. Yang patut dilaporkan ke komnas perlindungan perempuan itu. Pasti mereka bisa membaca kalau ibunya menderita. Percayalah, sudah sering Ava membujuk Linda agar melapor ke unit kekerasan terhadap wanita dan anak di kantor polisi. Namun menurut Linda, selama ayah Ava tidak melakukan kekerasan fisik, tidak akan ada yang bisa dibuktikan. Benar atau tidak, Ava tidak tahu. Sepertinya dia harus mulai mempelajari itu. Siapa tahu berada di dalam penjara, walau hanya satu malam, bisa membuat ayah Ava kapok.

"Hai, Ava."

Jantung Ava berhenti berdetak dan kupu-kupu di perut Ava—yang tadi bersembunyi tidak tahu di mana—menari riang gembira. Hati Ava menghangat dan wajah Ava pasti merona. Susah untuk tidak salah tingkah setiap kali suara ini menyebut namanya. Sebuah suara yang—tanpa dicegah, sejak Ava mulai bekerja di sini—melekat kuat di benak Ava. Low and deep, slight husky voice. Sangat seksi. Laki-laki dengan suara seperti ini lebih cocok bekerja di radio. Tampan atau tidak tampan si pemilik suara, para pendengar akan tetao tergila-gila. Orang tidak perlu melihat rupa pemilik suara, diajak bicara di telepon saja mungkin akan terkenang-kenang selamanya.

Meskipun ada desiran kuat di hati Ava—dan Ava gugup pada menit-menit awal—setiap mendengar suara seksi ini, Ava mengangguk sopan sambil berusaha tersenyum kepada Manal. Project manager yang sekarang duduk di sampingnya. Manal meletakkan kotak bekal berwarna hitam di meja. Laki-laki yang sedang meneguk air minum dari botol berwarna senada dengan kotak bekalnya ini sudah dilabeli 'milik bersama'. Ada kesepakatan tidak tertulis di antara semua pegawai wanita di kantor ini, yang menyatakan bahwa Manal hanya boleh dipandang wajahnya dan dinikmati ketampanannya. Tidak boleh dimiliki. Barang siapa yang berani mendekati Manal, akan dianggap sebagai pengkhianat dan tidak akan selamat selama bekerja di sini.

Apa para pegawai wanita itu tidak tahu setiap siang Manal makan siang di pantry? Jadi hingga hari ini tidak ada satu pun dari mereka yang parkir di sini? Untuk menemani Manal makan dan menawari Manal apakah besok mau dimasakkan makan siang? Atau mungkin ini hiburan dari Tuhan untuk Ava? Di tengah rasa kecewa Ava kepada semua laki-laki di dalam hidupnya, Ava diberi kesempatan berharga untuk 'menguasai' Manal sendirian selama setengah hingga satu jam?

"Sendirian saja?" Manal memecah keheningan.

"Iya." Pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Memangnya Ava akan duduk dengan siapa lagi kalau tidak sendiri? Ava bukan orang yang bisa duduk semeja dengan teman-teman sekantor saat makan siang, sebab Ava enggan mengurusi hidup orang lain. Alias bergosip. Makannya hanya sepuluh menit, membicarakan orang lain hampir satu jam. Begitu kebiasaan pegawai di sini. Di kantor ini yang akrab dengan Ava hanya Tana. Tetapi hari ini Tana sedang tidak masuk, jadi Ava tidak punya teman makan siang.

"Gimana progresnya?"

Manal, Ava dan tim mereka sedang mengerjakan proyek sistem informasi manajemen untuk perusahan periklanan terbesar di negara ini.

"Progres? Normal saja. Akan selesai tepat waktu." Atau lebih cepat, karena Ava sangat rajin bekerja. Demi mengalihkan pikirannya dari kenyataan lain yang lebih menyakitkan.

Tidak ada pertanyaan lagi dari Manal dan Ava mendesah lega. Walaupun Manal bisa menghidupkan kupu-kupu di perut Ava dan Ava berharap Manal tidak cepat beranjak dari sini, tapi Ava sedang tidak berada dalam keadaan ingin beramah-tamah siang ini.

Ava kembali memaksa dirinya berpikir, mencari cara untuk meyakinkan ibunya agar segera berpisah dari ayahnya. Besok atau lusa berpisahnya, kalau bisa. Iya, berpikirnya sambil melirik Manal yang sibuk dengan makanannya dan memandangi jalan raya dari jendela kaca di depan mereka. Sehingga Ava tidak kunjung menemukan solusi solusi.

"Kenapa, Va?" Manal menoleh dan menangkap basah Ava sedang menatapnya.

Ava menggeleng sambil mengumpat dalam hati. Tanpa bisa dicegah, kedua bola mata Ava terus bergerak ke arah Manal, ingin mengamati wajah Manal. Karena ketampanan Manal tidak biasa. Wajah dan posturnya jantan sekali. Dengan dada yang bidang, bahu lebar, dan pinggang yang menyempit, Manal seperti seorang model majalah yang salah mendatangi tempat kerja. Semestinya pergi ke studio foto. Atau seharusnya Manal adalah aktor yang sedang melakukan syuting di kantor ini. Bukan menjadi project manager di sini.

Laki-laki yang memiliki tinggi badan seperti Manal—di atas rata-rata laki-laki Indonesia—di kantor ini bisa dihitung dengan jari. Berat badannya proporsional. Ava jadi bertanya-tanya, berapa banyak waktu yang dihabiskan Manal untuk berolahraga. Pantas ke mana saja Manal melangkah, orang tidak bisa mengabaikan. Sebab Manal selalu kelihatan. Dan enak dipandang, jadi orang susah berpaling. Langkah kaki Manal selalu penuh keyakinan. Demikian juga suaranya, lebih-lebih saat membicarakan pekerjaan. Segala sesuatu dalam diri Manal benar-benar mencuri perhatian.

Sebelum berangkat bekerja, Ava yakin, Manal sudah berusaha keras mencukur habis rambut-rambut yang tumbuh di sepanjang rahangnya. Tetapi tetap saja, rambut-rambut itu keras kepala dan meninggalkan jejak-jejak gelap di sana. Keberadaan jejak itu semakin mempertegas struktur wajah Manal. Baru juga pukul dua belas siang, rambut-rambut di wajah Manal sudah datang kembali dan mengintip dari balik kulit. Semua wanita pasti ingin melarikan jemari atau telapak tangannya di sana.

Ava mendesah dalam hati. Tidak heran kalau semua wanita di kantor ini mengidolakan Manal. He is a prime example of masculinity. Satu tatapan dari seorang Manal cukup untuk membuat sepuluh orang wanita merasa feminin dan bersyukur atas kodratnya. Karena mereka terlahir sebagai wanita, maka mereka punya kesempatan untuk mendapatkan hati Manal.

"Ada sesuatu ... di sini?" Manal menyentuh pipinya sendiri.

"Nggak ada, aku ngelamun aja kok. Sorry." Ada yang salah dengan diri Ava hari ini. Pada saat seharusnya Ava memikirkan perkara yang lebih penting—keluarga—kepala Ava malah ingin merekam sosok atasannya. Supaya bisa memimpikan Manal dengan baik saat tidur malam nanti.

Tanpa semangat Ava mengunyah makan siangnya. Ava berusaha keras mengembalikan pikiran pada masalah di rumah dan tidak memedulikan Manal. Bukan Ava membenci Linda, ibu sambungnya. Malah Ava sangat mencintainya. Karena itu Ava tidak tahan melihat ibunya menderita. Setelah semua hal yang sudah dilakukan oleh ibunya selama ini untuknya, Ava ingin membalas segala jasanya. Meskipun belum tahu apa yang harus dilakukan, secara konkrit, Ava ingin membantu ibunya mengakhiri pernikahan. Dan membebaskan ibu Ava dari penderitaan.

"Ava," panggil Manal.

Kening Ava berkerut. Tidak bisa memercayai apa yang baru saja didengarnya. Saat menyebut nama Ava barusan, suara Manal terdengar lebih lembut dan sarat perhatian. Sangat berbeda dari sebelumnya.

Mata Ava membelalak. Apa Ava tersenyum tadi saat membayangkan dirinya membelai wajah Manal? "Kapan aku tersenyum?"

Manal tertawa kecil. "Tadi, beberapa menit yang lalu. And I like it."

###

Teman, sambil menunggu cerita ini update hari Selasa nanti, kamu bisa cek-cek dulu tulisan-tulisanku yang lain di Wattpad. Siapa tahu ada yang kamu sukai. Jangan lupa tinggalkan komentar dan bintang untuk cerita Ava ya. Thank you so much sudah membaca.

Love, Ika Vihara(IG/TikTok/Karyakarsa ikavihara. WhatsApp 083155861228) Dapatkan karya ikavihara di toko buku, Gramedia Digital, Google Playbook, apk iPusnas--gratis dan legal, Tokopedia/Shopee ikavihara)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top