Sepuluh

Teman, ada giveaway berhadiah novel terbaruku, The Dance of Love, di Instagram ikavihara. Siapa tahu kamu mau coba ikutan :-) Bagus novelnya hehehe.

Dan kalau ke toko buku, offline maupun online, tengok-tengok buku ikavihara ya.

Tinggalkan komentar untukku ya, aku suka baca komentar-komentar dan membalasinya :-)

Love, Vihara(IG/TikTok/FB/karyakarsa ikavihara, WhatsApp 083155861228)

***

"Tidur ke kamar sana, Sayang." Ava, yang duduk di lantai dengan punggung menyandar di kaki Linda, menyentuh pipi adiknya yang sedang berbaring di sofa dengan paha Linda sebagai bantalnya. Film yang mereka tonton bersama sudah menampilkan credit title.

"Mau tidur sama Mbak Ava." Addie menjawab dengan suara mengantuknya.

"Jumat malam aja tidur sama Mbak. Kalau sekarang nggak asyik, kita nggak bisa ngapa-ngapain. Karena besok Mbak harus bangun pagi-pagi, harus kerja."

"Addie ke kamar sekarang, Sayang. Biar cepat tidur dan besok nggak kesiangan." Linda membantu Adeline duduk. "Kalau ketiduran di sini nanti nggak ada yang menggendong ke kamar. Mama nggak kuat, sudah tua."

Addie terkikik sebelum berjalan ke kamar. "Mama nggak tua."

"Jadi, kamu ada cerita apa, Ava? Sudah lama kita nggak ngobrol berdua seperti ini." Linda memutar film lain. Hanya untuk mengusir kesunyian di rumah-sangat-besar-yang-harganya-paling-tidak-lima-milyar milik ayah Ava ini.

"Harlan punya pacar baru, Ma."

"Hmm ... Gimana kalau kamu juga cari pacar baru?"

Membicarakan pacar, tanpa bisa dicegah, pikiran Ava bergerak ke arah Manal. Yang meminta Ava untuk menjadi pacarnya—pacar pura-pura—selama sehari. Bisa-bisanya dengan wajah serius Manal mengatakan tidak keberatan kalau Ava mau menjadi pacar Manal. Pacar yang sesungguhnya.

"Aku nggak tertarik buat cari pacar, Ma. Sudah capek patah hati gara-gara laki-laki." Ava mengambil satu bantal sofa dan memeluknya. "Papa nggak pulang malam ini?"

"Ava, bukan berarti karena Papa dan Harlan menyakitimu ... Papa menyakiti kita ... lalu semua laki-laki di dunia ini sama berengseknya dengan mereka. Itu tidak adil bagi laki-laki lain yang punya niat baik untuk menjalin hubungan dengamu. Masa karena perbuatan yang tidak mereka lakukan, mereka harus menanggung akibatnya juga?" Kata selingkuh menjadi kata terlarang di rumah ini dan Linda mengganti dengan kata 'menyakiti'. "Mereka berhak mendapatkan kesempatan untuk membuktikan kepadamu bahwa mereka berbeda."

"Mungkin suatu hari nanti, Ma, kalau aku sudah siap." Ava menjawab tanpa semangat.

"Jangan menutup hati rapat-rapat, Sayang."

"Kalau Mama nggak menikah sama Papa, Mama pasti bahagia sekarang." Sampai hari ini Ava belum menemukan cara baru untuk meyakinkan ibunya agar mau bercerai. Ava tidak tahu apakah permohonannya beberapa hari lalu dipertimbangkan oleh Linda.

"Kalau Mama nggak menikah sama Papa, Mama nggak akan pernah ketemu kamu, nggak akan mejadi ibumu." Linda membelai rambut Ava. "Mama nggak akan pernah menyesali keputusan Mama."

"Dulu aku benci Mama." Ava mengingat masa kecilnya. Pada saat Ava dikenalkan kepada Linda, Ava marah karena tidak terima ayahnya menikah lagi setelah ibu kandung Ava meninggal dunia.

"Itu bukan benci, Sayang. Kamu masih anak-anak dan tidak mengerti bagaimana cara menerima orang baru dalam hidupmu. Apalagi kamu sangat menyayangi ibumu dan masih berduka karena kehilangan seorang ibu."

Kesabaran dan pengertian Linda akhirnya bisa meluluhkan hati Ava dan membuat Ava mencintai ibu barunya. "Benar Mama nggak menyesal menikah sama Papa?"

"Tidak menyesal. Bagaimana mungkin Mama menyesal kalau dari pernikahan itu Mama bisa memiliki Ava, Arvin, dan Addie dalam hidup Mama? Meskipun Papa tidak mencintai Mama, Mama sudah merasa cukup, sangat cukup, dengan cinta kalian."

"Aku nggak akan jadi apa-apa kalau bukan Mama yang jadi ibuku."

"Apa kamu tahu, Ava? Umumnya seorang wanita menjadi ibu setelah melahirkan anak pertamanya. Tapi Mama menjadi ibu meskipun belum melahirkan anak. Mama masih ingat sekali waktu pertama kali kamu memanggil Mama 'Mama', bukan lagi Tante Linda. Dada Mama rasanya mau meledak karena sangat bahagia. Kamu manis sekali saat itu, Mama nggak pernah tahu bahwa ... Mama akan bisa mencintai seorang anak yang nggak pernah Mama lahirkan. Menjadi ibumu itu ... jauh lebih mendebarkan daripada menikah dengan papamu. Sampai sekarang pun, hati Mama hangat rasanya setiap Ava memanggil Mama."

"Mama lebay deh, tiap hari kan aku memanggil Mama."

"Nanti kamu akan tahu bagaimana saat ada yang memanggilmu Mama."

"Aku nggak ingin menikah, Mama." Ava mengulangi keinginannya, yang pernah dia lontarkan saat menimpali pertengkaran orangtuanya dulu.

"Kamu harus memutuskan sendiri apa yang terbaik untukmu, Ava. Menikah atau nggak menikah, kamulah yang membuat keputusan." Linda tetap membelai rambut Ava. "Kamu harus paham, bukan pernikahan yang bisa membuat kita bahagia. Tapi diri kita sendiri. Bagaimana kita memandang hidup, menyikapi masalah, mensyukuri apa yang kita punya, dan sebagainya, itu berpengaruh pada tingkat kebahagiaan kita.

"Ada nasihat yang mengatakan kebahagiaan semakin berlipat-lipat besarnya kalau kita membaginya. Tujuan seseorang menikah seyogyanya adalah untuk menggandakan kebahagiaan yang sudah lebih dulu dia miliki. Dengan membaginya bersama suami dan anak-anaknya. Kalau hidup sendiri saja tidak bahagia, apa yang akan digandakan? Iya, kan?"

Ava menarik napas panjang. Nasihat ibunya sungguh masuk akal. Sangat sejalan dengan keputusan Ava untuk tidak menikah. Tidak akan pernah menikah. Apa yang akan digandakan kalau Ava tidak punya modal kebahagiaan? Tidak punya sama sekali.

"HP-mu bunyi Ava." Linda mengambil ponsel Ava yang terselip di lipatan sofa. Tadi Addie meminjam dan memainkannya sebentar. "Siapa Manal?"

"Bukan siapa-siapa, Ma." Ava menolak panggilan Manal.

"Ingat pesan Mama tadi Ava. Jangan menutup hati rapat-rapat. Kalau kamu percaya dia adalah laki-laki yang baik, berilah dia kesempatan."

***

Jika sebelum ini Manal berpikir datang ke resepsi pernikahan mantan pacar bersama Ava akan meningkatkan rasa percaya diri, sekarang Manal harus meralat pikirannya. Manal tidak merasa percaya diri sama sekali. Melainkan gugup. Sangat gugup. Seumur hidup, seingat Manal, belum pernah Manal segugup ini. Wawancara kerjanya yang pertama, delapan tahun lalu, tidak sampai membuat Manal sulit bernapas. Menyatakan cinta kepada Disha tidak membuat kaki Manal lemas seperti spageti yang kelamaan dimasak. Dunia Manal tidak akan pernah sama lagi mulai detik ini. Tepat pada saat Ava berjalan ke arahnya.

Setiap hari, saat di kantor, Ava cantik. Lebih cantik daripada semua wanita yang pernah dilihat Manal. Tetapi hari ini, kata cantik tidak bisa mewakili penampilan Ava. Ava lebih dari itu, dengan make up sederhana yang malah mempertegas ke-Ava-annya. Mohon dimaafkan kemampuan Manal untuk menemukan kosa kata yang tepat untuk menggambarkan Ava. Otaknya sulit bekerja saat melihat rambut panjang Ava dibiarkan tergerai ke depan menutupi dada kanan. Leher kiri Ava, yang tidak tertutup apa pun, terlihat sangat jenjang. Tulang bahu dan selangkanya yang seksi tidak terhalang apa pun.

Ava mengenakan gaun tanpa lengan dengan perpaduan dua warna. Gaun tersebut membalut tubuh Ava dengan sangat sempurna. Dark navy blue di bagian atas sampai pinggang. Bagian bawah berwarna broken white, mengembang di pinggang lalu lurus ke bawah sampai mata kaki. Belahan di sisi kanan gaun, tinggi sampai paha bagian atas, menampilkan kaki Ava yang jenjang, ramping, kuat, dan memesona setiap kali melangkah.

Manal tidak bisa mengalihkan pandangan. He is definitely a leg man. Bagian tubuh wanita yang sangat bisa menarik perhatian Manal selalu kaki. Dan sepasang kaki Ava bagai sebuah karya seni mahaindah yang pernah ada di muka bumi. Yang sukses membuat Manal kehabisan kata untuk mengungkapkan kekagumannya. Kaki yang dibungkus sepatu setinggi paling tidak sepuluh sentimeter itu—membuat mata Ava hampir sejajar dengan mata Manal—itu benar-benar menguji kewarasan Manal. Bagaimana Manal akan bisa mengucapkan selamat pada Disha, kalau Manal tidak bisa menarik matanya menjauh dari sepasang kaki Ava?

Pelan-pelan, Manal menaikkan pandangan. Breast are fine. Ukuran dada wanita bukan masalah bagi Manal. Itu sesuatu yang bisa diubah pada zaman sekarang. Tetapi kalau kaki? Apa sudah bisa dipanjangkan dan dipendekkan sesuai keinginan? Manal tidak tahu. Satu hal yang pasti, Tuhan tidak menganugerahkan kaki yang indah kepada semua wanita di dunia. Hanya kepada orang-orang pilihan seperti Ava.

"Hei." Ava melepaskan sebuah senyuman menggoda, yang membuat Manal semakin kehilangan kewarasan.

Selama di kantor, Manal kesusahan membuat Ava menampilkan sisi dirinya yang tidak serius. Di luar kantor? Well, kalau tahu Ava berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini, Manal sudah mencari alasan untuk menemuinya sejak dulu.

"Nggak susah, kan, nemu rumahku?" tanya Ava.

"You are georgeous, Ava." Manal membuka pintu mobil dan membantu Ava masuk. Sejenak Manal berhenti karena wangi yang menguar dari tubuh Ava menerpa hidungnya dan menghilangkan akal sehatnya. Apa mereka berdua harus mendatangi resepsi pernikahan orang lain? Kenapa tidak pernikahan Manal dengan Ava?

"Sayang," kata Ava.

Jantung Manal berhenti berdetak dan Manal hampir terduduk di tanah. Sayang. Ava memanggilnya Sayang. Sambil berjalan menuju pintu kanan, Manal tersenyum sendiri. Mau habis patah hati atau tidak, Manal siap disayang Ava. Siap menjadi sayangnya Ava.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top