Sebelas

Jangan diketawain ya Manalnya. Hihihi tapi kasih semangat supaya bisa memenangkan hati Ava. Secepatnya :-)

Kamu masih bisa ikut giveaway di Instagram ikavihara, berhadiah novel terbaruku, The Dance of Love. Mau tahu seperti apa The Dance of Love? Baca di daftar pekerjaan/bacaanku. As always, dukung karyaku dengan meninggalkan tinggalkan komentar untukku ya.

Love, Vihara(IG/TikTok/Twitter/FB ikavihara, WA 083155861228)

***

"Jangan lupa memanggilku begitu di depan mantan pacarmu," lanjut Ava setelah Manal duduk di balik kemudi. "Kita pura-pura pacarana siang ini."

Pura-pura. Manal mengingatkan dirinya sendiri. Ini semua cuma pura-pura.

"Great legs." Manal melirik kaki kanan Ava, yang menyembul dari belahan gaunnya.

"Supermodel 'girlfriend', remember? Model katalog." Ava tertawa pelan dan suaranya mengalun merdu di telinga Manal.

Manal kembali menahan diri untuk tidak menanyakan parfum apa yang dipakai oleh Ava sehingga dia bisa membeli parfum yang sama nanti dan menciuminya. And jerking off. Mobil Manal melaju meninggalkan rumah Ava.

"Terima kasih karena kamu sudah mau membantuku hari ini." Setelah hening selama lima menit, Manal membuka percakapan.

"Semua orang perlu bantuan, Manal. Hampir setiap minggu aku menulis di forum. Meminta bantuan kalau aku kesulitan menulis codes. Juga memberi bantuan kalau ada yang kesulitan dan aku tahu solusinya. Dan karena mengurusi orang-orang yang perlu bantuan, website itu nilai jualnya naik sampai ratusan juta dolar."

"Talk nerdy to me, Sweetheart." It makes me want you even more. Dulu Manal tidak mau mencari pasangan dari dunia yang sama dengannya. Menurut Manal pasti akan membosankan kalau setiap hari membicarakan pemrograman. Tetapi Ava bisa memunculkan sudut pandang baru dari dunia mereka. Sudut pandang yang seksi. Dear God, kenapa Manal tidak berhenti mengaosiasikan segala sesuatu yang melekat pada Ava dengan kata seksi?

Manal mengulurkan tangan untuk melepas parfum mobil yang menempel di AC dan membuangnya ke kursi belakang. Saking kerasnya, parfum tersebut sampai mengenai kaca belakang mobil dan, mungkin, menggelinding ke bagasi.

"Kenapa dibuang?" tanya Ava heran. "Kamu suka banget buang-buangin barang."

"I don't need it. You smell better." Parfum mobil itu hanya akan membuat wangi yang menguar dari tubuh Ava tercemar. Bahkan mengalahkan wanginya Ava. Manal tidak mau itu terjadi. Kalau Manal beruntung, bau itu mungkin bisa bertahan sampai besok di mobil.

"Kukira tadi aku kebanyakan pakainya." Ava kembali tertawa merdu.

***

"Gugup?" Ava mengaitkan tangan kanannya di lengan Manal. Tangan kiri Ava menggengam clutch berwarna putih tulang.

"Sedikit." Bukan karena akan memberi selamat pada Disha. Tetapi karena bisa bersama wanita yang berjalan penuh percaya diri di sampingnya ini.

"All you have to do is smile," kata Ava. Mudah memang memberi nasihat. Seandainya Ava yang ada di posisi Manal, Ava pasti tidak bisa tenang juga.

"True. Smile." Bisa menggandeng Ava selama satu jam sudah bisa menjadi alasan Manal untuk tersenyum sepanjang tahun.

"You look better kalau dibandingkan dengan suaminya." Way better, dalam hati Ava meralat. Ava memperhatikan foto kedua mempelai yang tertangkap matanya setelah Ava mengetikkan nama Manal di laptop—pengganti buku tamu. Manal jauh lebih tampan daripada laki-laki yang dipilih mantan kekasih Manal. Tetapi, mungkin ada sesuatu yang dicari wanita itu, yang hanya ada dalam diri suaminya, dan tidak dimiliki Manal.

"Here we go," bisik Manal di telinga Ava saat mereka mendekati pelaminan untuk mengantri memberi selamat kepada Disha dan suaminya.

Ava semakin merapatkan tubuhnya pada Manal. Sesekali Ava menyandarkan pipinya di lengan Manal. Mereka berdua, di mata semua orang, pasti terlihat seperti dua orang yang sedang jatuh cinta habis-habisan. God! Manal tidak bisa konsentrasi karena wangi yang menyenangkan itu tercium semakin jelas dari balik telinga Ava.

Hari ini Ava seperti sengaja ingin membunuh Manal. Dengan segala keseksiannya.

"Kita pacaran." Saat Ava berbisik, hangat napasnya menyapu telinga Manal.

Ava melepaskan tangannya dari lengan Manal hanya untu bersalaman dengan mantan pacar Manal. Ketika tangannya menganggur lagi, Ava menyelipkan di lengan Manal. Kebaya modern berwarna merah yang dipakai Disha jelas buatan Linda. Ava kenal betul.

Ah, jadi ini proyek besar yang selama ini menyita waktu Linda? Membuat baju untuk mantan pacar Manal? Betapa sempit dunia ini. Pernikahan anak gubernur yang sering dibicarakan Linda, ternyata ada sangkut-pautnya dengan penderitaan Manal.

"Sayang," bisik Ava sambil menyentuh lengan Manal, mengingatkan Manal untuk mengenalkan Ava kepada Disha. I deserve introduction, kemudian Ava memberi kode dengan tatapan mata, karena Manal menatap Ava tidak mengerti.

"Ava, Sayang, kenalkan ini Disha. Kami dulu berteman." Manal berusaha fokus dan mengenalkan Ava kepada Disha. "Disha, ini Ava, calon istriku."

"Berteman seperti apa? Biasa? Dekat?" Ava berbisik, tapi jelas Disha masih bisa mendengar. Supaya tampak seperti wanita yang sedang cemburu, Ava mengubah ekspresi wajahnya.

Nada cemburu dalam suara Ava membuat Manal hampir tertawa. Wnita ini lebih cocok bermain film, bukan menjadi software enginner.

"Kamu tidak perlu cemburu." Manal benar-benar tertawa kali ini. "Aku dan Disha sudah lama putus. Sudah nggak ada apa-apa di antara kami. Semua hanya masa lalu. Iya, kan, Disha? Lagipula kita semua sudah bahagia sekarang."

"Selamat ya, Disha. Untuk pernikahan kalian." Manal mengucapkan dua kalimat itu dengan sangat tenang.

"Terima kasih sudah datang." Jawaban Disha lebih terdengar seperti gerutuan.

Kalau Manal ada di posisi Disha, Manal juga akan sangat kesal. Bagaimana tidak? Semenjak Ava berdiri di pelaminan bersama mereka, suami Disha tidak bisa melepaskan pandangan dari Ava. Sampai Disha harus berkali-kali menyikutnya.

"Ah, ya, terima kasih! Aku baru ingat!" Ava tiba-tiba menjentikkan jarinya dengan gembira. "Aku harus berterima kasih padamu karena meninggalkan laki-laki luar biasa ini ... dan ganteng ... jadi aku bisa memilikinya. Nggak ada laki-laki yang bisa mencintai wanita seperti Manal mencintaiku." Ava mencium pipi Manal, lalu tersenyum menatap Manal penuh penghargaan—dan cinta—sebelum memberikan padangan mencela pada Disha.

"Semoga kami bisa segera menyusul kalian untuk ... menikah," kata Manal. Sebaiknya dia mengikuti permainan Ava. Bermain total dalam sandiwara tiga puluh menit ini. Supaya lebih meyakinkan.

"Aku juga nggak sabar." Ava kembali menempelkan bibirnya sekilas di pipi Manal sebelum perhatiannya tertuju lagi pada Disha. "Kita harus cepat-cepat, setelah ini kita masih ada acara lagi. Selamat ya, Disha." Lalu Ava mengajak Manal turun dari pelaminan.

Sama sekali Manal tidak menyangka kalau Ava akan membantunya sejauh ini. Sampai seperti ini. Manal pikir cukup Ava datang dan berjalan bersamanya. Diam di samping Manal dan mengikuti rencana yang dirancang Manal. Bukan memberi pelajaran kepada Disha seperti itu tadi. Mau tidak mau Manal mengakui, kalau tidak bersama Ava, mungkin Manal tidak akan bisa santai bercanda di depan Disha dan laki-laki yang menghancurkan masa depan Manal dan Disha.

Saat membimbing Ava menuruni tiga anak tangga, Manal bersorak dalam hati. 'Pacarnya' benar-benar luar biasa. Hell! Manal benci harus mengatakan pacar tapi dalam tanda kutip.

"Aku perlu makanan manis," cetus Ava. "Akting menghabiskan energi."

"Bagaimana kamu bisa setenang itu, Ava?" Manal menarik satu kursi untuk Ava.

"Because I know how to handle bitches." Berapa kali Ava harus bertemu dengan wanita-wanita pasangan selingkuh ayahnya di banyak tempat di kota ini? Membantu Manal mengumpulkan kepercayaan diri di depan mantan pacar tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sulitnya mengendalikan diri di depan wanita-wanita muda itu.

Ava mengambil satu potong lemon cake di meja, memotongnya dengan garpu kecil dan menyuapkan ke bibir Manal. Pertunjukan masih jauh dari selesai. Dari tempat duduknya, Ava bisa melihat Disha sering mengarahkan pandangannya pada mereka.

"Mantanmu," kata Ava sambil mengusap sudut bibir Manal dengan ibu jari, menghilangkan sisa krim. "Dia masih mencintaimu."

"Apa gunanya dia mencintaiku? Dia menikah dengan orang lain." God! Kulit Ava adalah kulit paling lembut yang pernah menyentuhnya. "Kenapa kamu nggak punya pacar?"

"Mungkin dia menikah dengan suaminya bukan karena cinta. Ada wanita yang lebih mencintai uang." Seperti wanita-wanita yang mengencani ayah Ava. Ava yakin hanya karena uang. Apa lagi? Tidak ada alasan lain bagi wanita muda seusia Ava untuk mencium kakek-kakek seperti ayah Ava. Ayah Ava beruntung. Hanya karena Ava, anak pertama, belum menikah dan punya anak, ayahnya belum dipanggil kakek.

***

Kalau kamu menyukai cerita ini kamu mungkin menyukai karyaku yang lain. Cek di daftar karyaku atau daftar bacaanku The Best of Me di Wattpad.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top