LIMA BELAS

Hai, aku baru update lagi karena hari Jumat yang lalu aku sakit. Biasanya aku sudah jadwalkan, tapi pas jumat ternyata habis belum upload lagi. Terima kasih kamu sudah mau membaca Sepasang Sepatu Untuk Ava :-) Kalau kamu berkenan, mohon baca salah satu atau dua atau semua novelku di apk iPusnas. Kamu bacanya gratis, tapi aku mendapatkan royalti. Itu akan sangat membantu sekali untuk membiayai penulisan novel selanjutnya, sebab aku sedang kesulitan mendapatkan penjualan buku yang bayar hehehe, jadi bertumpu pada yang bisa kamu baca gratis. Kalau kamu sudah baca atau nggak ingin baca, kamu bisa kasih tahu teman-temanmu, siapa tahu ada yang tertarik dan perlu bacaan bagus dan gratis. Thanks so much.

Tinggalkan komentar untukku ya, nanti aku balas-balas komentarmu. Aku suka banget kalau komentarnya lucu atau konyol hahaha bacanya bisa sambil ketawa-tawa.

Love, Vihara(IG/TikTok/karyakarsa/FB ikavihara, WhatsApp 083155861228)

***

"Ya orang lain kan nggak tahu seperti apa cerita sebenarnya. Lagian nggak biasanya kamu mau disuruh-suruh seperti itu. Apalagi disuruh jadi pacar. Kalau aku bukan temenmu sejak kita pertama masuk kerja dan kita cocok, kamu mungkin nggak akan pernah mau kusuruh nemenin aku ke mana-mana."

Ini juga pertanyaan besar bagi Ava sendiri. Setiap kali bersama Manal, otak Ava tidak bisa berpikir dengan benar. Apa saja yang diminta Manal, rasanya Ava ingin mengiakan. Beruntung masih ada sisa-sisa pertahanan diri yang dimiliki Ava. "Ini si Diana itu paparazzi atau gimana? Rajin amat memotret orang diam-diam begitu."

Ava mengaduk tasnya, mencari ponselnya yang sedang berbunyi.

"Ini apa, Va?" Tana memungut selembar kertas seukuran kartu nama yang terjatuh dari tas Ava. Untuk calon mantu. Besok mau dimasakkan apa lagi? Tulisan yang tertera di sana. "Calon mantu?"

"Dari ibunya Manal. Beberapa hari ini Manal bawain aku makan siang, katanya promosi katering ibunya. Tapi waktu aku mau langganan, dia nggak proses-proses juga." Isi tulisan dalam tas bekal jatah Ava—yang berwarna merah muda—setiap hari berubah. Mulai dari menanyakan apa makanan kesukaan Ava sampai undangan untuk datang makan siang atau malam di rumah Manal.

"Sepertinya ini lebih serius daripada gosip bikinan orang-orang. Kamu surat-suratan sama ibunya Manal? Pacarannya cuma pura-pura tapi Manal negalin kamu sama keluarganya? Sama orangtuanya?" Tana menyeringai puas.

"Aku belum kenalan sama keluarganya."

"Belum ya? Berarti nanti akan?"

"Apaan sih, Tan, kok kamu jadi mainin kata-kataku begitu?"

"Eh, Va, emang kamu nggak suka sama Manal? Dia ganteng lho. Dewasa. Mapan."

Ava mendengus. Laki-laki mapan dengan uang banyak hanya akan bertingkah seperti ayah Ava. Menghujani istri dan anak-anaknya dengan uang, lalu saat ada sisa, uang itu dibagi juga dengan wanita-wanita lain di luar sana. Sampai kapan pun Ava tidak akan menempatkan dirinya pada posisi seperti itu.

"Suka atau nggak suka sama Manal, aku nggak ada niat buat pacaran. Buat menikah." Ava memejamkan mata sebentar lalu menggelengkan kepala. Tanpa bisa dicegah, kepala Ava mengingat bagaimana rasanya saat lengan Manal, yang kukuh, melingkari punggung dan memeluk pinggang Ava. Untuk pertama kali, Ava merasa sangat aman berada di pelukan laki-laki. Rasa aman seperti itu bahkan tidak didapat dari ayahnya sendiri.

Suara dalam dan berat Manal saat berbisik yang membuat jantung Ava berdesir. Hangat napas yang menyapu pipi Ava, sungguh tidak bisa dilupakan. Belum lagi aroma maskulinnya. Ava paling senang memandang wajah Manal dari samping. Dari depan memang tampan, dari samping, penuh misteri. Tatapan mata Manal yang tajam dan penuh percaya diri. Saat membantu Ava turun dari mobil, tangan besar Manal menggenggam tangan Ava. Warna kulit mereka kontras, tapi terlihat indah dan serasi. Kulit Manal yang kecokelatan—dan seksi—versus kulit Ava yang lebih terang. Tidak ada yang salah pada diri Manal, sehingga Ava, tanpa mempertimbangkan banyak syarat, menyukai Manal.

God, help. Ava hanya menilai luarnya saja. Dan itu sudah membuat Ava ingin melanggar janjinya untuk tidak jatuh cinta. Bagaimana kalau Ava mengenal Manal lebih jauh? Mengetahui kepribadian dan perangai baik Manal? Bisa-bisa Ava tidak akan bisa menyelamatkan diri setelah jatuh ke dalam lubang cinta yang paling dalam. Oleh karena itu, membatasi interaksi dengan Manal sepertinya adalah pilihan yang tepat.

***

"Aku dibenci sama semua penggemarmu." Ava berdiri di samping Manal, yang duduk di atas motor Kawasaki hitam dan besar—lebih besar daripada Ninja, nanti Ava akan tanya pada Arvin apa nama motor besar milik Manal—di depan kos Tana. Tadi Ava mengirim pesan kepada Manal, meminta Manal segera menemuinya karena mereka harus bicara.

Manal mengenakan jaket hitam dan sarung tangan. Satu tangan Manal memeluk helm. Kenapa laki-laki selalu terlihat keren dengan motor besar dan seluruh kepala tertutup helm? Walaupun saat helm tersebut dibuka, wajah yang tersembunyi di baliknya seringkali tidak sesuai ekspektasi, tetap saja awalnya terlihat keren. Tetapi Manal, Ava mendesah dalam hati, melebihi harapan siapa pun yang menunggu sampai helm tersebut sempurna terlepas dari kepala Manal. Lebih-lebih kalau Manal tidak tersenyum saat membuka helm, hanya menatap tajam ke depan sambil melarikan jari di rambutnya agar kembali ke bentuk semula. Semakin meleleh hati para wanita yang melihatnya. Baiklah, mau Manal pakai helm atau tidak, Ava akan mengakui, he is attractive, such a turn on. Inexplicably sexy.

"Tadi waktu kumpul sama tim Fasa, rasanya jadi ... canggung. Kata mereka mungkin aku lebih suka ikut tim pacarku." Ava melipat tangan di dada. "Bisa kerja sekalian pacaran kata mereka."

"Sudah telanjur terjadi, semua orang telanjur beranggapan demikian, mau bagaimana lagi?" Manal tidak keberatan Fasa dan yang lain menganggap Ava adalah pacar Manal. Dan Manal tidak melihat apa pentingnya masalah itu, sampai membuat Ava pusing. Besok juga semua orang sudah berganti topik pembicaraan. "Oh, aku mau kasih kamu sesuatu. Hadiah. Sebagai tanda terima kasih. Karena sudah menemaniku ke resepsi Disha. Apa ada yang kamu inginkan?"

"Manal! Aku nggak perlu hadiah! Yang aku perlukan klarifikasi! Kamu harus meluruskan anggapan semua orang. Anggapan ibumu juga. Tadi di lunch box ada suratnya. Untuk calon mantuku, kata ibumu. Aku bukan calon menantu ibumu." Ava pusing menghadapi Manal yang terlalu santai menyikapi kekisruhan yang dia timbulkan dalam hidup Ava. Kalau begini caranya, bagaimana Ava tidak semakin menyesali keputusannya untuk menjadi pacar Manal? Pacar pura-pura selama satu jam kemarin.

"Aku sudah menjelaskan kepada ibuku kalau kita hanya berteman, Ava. Tapi ibuku lebih percaya pada teori buatannya sendiri daripada penjelasan anaknya, setelah melihat foto kita di media sosial." Mungkin betul idiom populer dari Inggris itu. A picture is worth thousand words. Mau Manal menjelaskan sampai berbusa, kalau sebuah gambar menunjukkan sebaliknya, sia-sia saja Manal membuang napas. "Kalau klarifikasi ke anak-anak di kantor gampang saja," lanjut Manal.

"Gampang gimana?!" Ava menukas dengan tidak sabar.

"Ya kita buat betul saja gosip itu. Apa salahnya kalau kita pacaran sungguhan? Aku nggak jelek-jelek amat kan, Va? Masih pantas dapat pacar secantik kamu."

Ava menatap Manal tidak percaya. Pacaran sungguhan? Laki-laki di depannya ini benar-benar menguji kewarasannya. Apa Manal tidak tahu apa makna kata 'tidak'? Ava mengerang dalam hati. Tidak, memang tidak ada salahnya pacaran dengan laki-laki seperti Manal. Hanya saja melakukan itu sama dengan melanggar sumpah yang sudah dikeluarkan Ava dengan sepenuh hati.

"Salah," cetus Ava. "Salah banget. Aku nggak bilang kamu jelek, tapi aku nggak sedang cari pacar. Nggak akan cari pacar. Mau dia jelek atau nggak jelek. Kamu harus bilang sama mereka, Manal, kalau kita nggak ada hubungan apa-apa. Kurasa penggemarmu akan lebih percaya padamu, daripada sama aku. Jadi kamu yang harus menjelaskan. Apa kamu lebih suka aku dibenci sama semua wanita di kantor kita? Aku nggak nyaman kerja di sana?" Sudah tidak banyak punya teman akrab, sekarang Ava malah punya musuh.

"Aku sudah telanjur bilang benar kalau kita memang pacaran."

"You ... what?!" Mulut Ava ternganga sampai ke tanah saking tidak percayanya. Bagaimana mungkin Manal berbuat sejauh itu tanpa mendiskusikan dengan Ava? "You don't have a right! Kamu nggak bisa mengeluarkan klaim sepihak seperti itu."

"Aku bilang kita pacarana sejak sebulan yang lalu." Dengan santai Manal menambahkan informasi yang sangat penting, yang memperparah mimpi buruk Ava.

"Gimana mungkin kita sudah pacaran sebulan?! Sampai hari ini bahkan kita nggak akrab! Makan bersama di pantry juga baru berapa kali! Kalau mereka percaya, itu bodoh sekali!" Ava mengingat-ingat kapan dia mulai bergabung dengan tim Manal dan kapan mereka mulai saling menyapa.

"Yang penting sekarang, aku ingin mengenalmu lebih jauh. Kita punya banyak waktu untuk saling mengenal, nggak akan ada yang mengganggu kita sebab mereka beranggapan kita sudah pacaran."

"Aku nggak ingin dikenal lebih jauh! Aku nggak ingin mengenal kamu lebih jauh!" Ava mengatakan dengan tegas. Sampai hari ini, Ava percaya hanya ada dua cara untuk bertahan hidup di dunia. Shut down or get hurts.

Ava sudah pernah membuka diri pada seorang laki-laki dan pada akhirnya Ava terluka sekaligus terhina. Laki-laki itu meninggalkan Ava ketika Ava sudah membuka diri sepenuhnya. Siapa yang menyangka bahwa kelemahan Ava—ayahnya—dijadikan alasan oleh Harlan agar bisa mencampakkan Ava? Sekarang Ava tidak ingin mengambil risiko untuk terluka lagi. Lebih baik Ava hidup, diam, sendirian, seperti kerang dalam cangkang dengan hati tetap utuh seperti pada saat dia dilahirkan.

"Aku tahu mantan pacarmu menyakitimu, tapi, Va—"

"Kamu nggak tahu apa-apa!" sergah Ava. Laki-lakibermasalah yang harusdihadapi Ava tidak hanya Harlan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top