DUA PULUH TIGA

Ketemu lagi kita!!!!! Bersama Manal dan Ava. Ada yang mulai mengaku jatuh cinta. Apakah itu kamu? Apakah itu aku? Apakah itu Ava? Hahaha.

Ini memang cerita romansa ya, tapi tiap tokoh utama punya keluarga, punya sahabat, punya masalah, jadi aku mengupas semuanya. Walaupun, fokusnya tetap pada upaya Manal dan Ava menyatukan kata cinta nantinya. Jalan ke sana nggak mudah, berliku. Ada diri sendiri dan rintangan lain yang harus dikalahkan lebih dulu. Lebih kurang seperti hidup sesungguhnya.

Tinggalkan komentar untukku ya. Love, Vihara(IG/Karyakarsa/FB/TikTok ikavihara, WhatsApp 083155861228)

***

"Tolong Mama, Ava. Lakukan demi Mama. Mereka pelanggan potensial. Keponakan Dokter Hafidz menikah dua bulan lagi dan Mama yang membuatkan kebaya juga. Ibu Mia punya koneksi ke para istri di rumah sakit yang dipimpin suaminya. Belum lagi pelanggan-pelanggan kateringnya juga. Kamu tahu kita sedang perlu biaya untuk hidup baru kita. Tanpa Papa." Permintaan Lindalah yang membuat Ava berada di sini sekarang. Di rumah Manal. Menjadi duta produk untuk ibunya.

Tadinya Ava sudah menolak untuk terlibat—sebagai keluarga—dalam pernikahan adik Manal. Ava tidak keberatan menghadiri resepsi, tapi sebagai tamu. Ini semua terlalu ... Ava bahkan tidak bisa menemukan kata yang tepat. Terlalu intim. Iya, intim.

"Jangan pulang dulu ya, Sayang. Kita makan bersama dulu. Manal bilang kamu suka masakan Tante. Karena kamu datang, Tante masak spesial malam ini. Khusus buat kamu." Ibu Manal mencegah Ava pulang lebih cepat.

Terpaksa Ava mengangguk karena tidak ingin membuat ibu Manal kecewa. Ava mengambil pisau dan berinisiatif membantu ibu Manal dan Nella menyiapkan makanan. Meskipun kemampuan memasak Ava menyedihkan, Ava tidak ingin berpangku tangan. Nanti dikira Ava pemalas.

"Kamu tunggu saja sambil ngobrol bersama Manal." Tetapi ibu Manal merebut pisau tersebut dari tangan Ava.

"Nggak papa, Tante, saya...."

"Kamu tamu istimewa hari ini, Ava. Tugas tuan rumah menyajikan makanan."

"Aku lagi mau curhat sama Mama, Va." Nella mengedipkan mata sambil tertawa.

Ava tahu kenapa Nella dan ibunya memaksa Ava supaya duduk berdua saja bersama Manal. Keluarga Manal ingin Ava semakin akrab dengan Manal. Mungkin mereka melihat Ava dan Manal tidak bertingkah seperti orang pacaran. Tidak seperti sepasang manusia yang sedang dimabuk cinta. Bahkan Ava dan Manal jarang sekali bertatapan mata. Karena diminta pergi dari dapur, Ava menemui Manal, yang kata Nella berada di kamar.

Ava mendorong pintu kamar Manal dan mendapati Manal sedang bermain game di depan komputer. Karena Manal tidak juga mengalihkan perhatian saat Ava masuk, Ava memutuskan untuk duduk di tempat tidur dan mencari ponsel di dalam tas. Memeriksa siapa tahu ada pesan masuk dari ibunya. Ayah Ava sedang berada di rumah sejak Jumat malam dan untuk pertama kali, tadi malam, Ava melihat ayahnya memukul Linda. Masih saja laki-laki itu tidak terima digugat cerai. Ava dan ibunya membuat laporan ke polisi, supaya ada bukti untuk menguatkan perlunya perceraian.

Menghabiskan waktu bersama keluarga Manal yang sangat harmonis dan hangat ini membuat dada Ava seperti diremas sepasang tangan tak terlihat. Ava sudah lupa bagaimana rasanya disayang seorang ayah. Melihat Nella dengan santai membicarakan perisapan pernikahan bersama Dokter Hafidz, Ava merasa iri setengah mati. Juga Ava menyaksikan bagaimana Dokter Hafid mengomentari kopi buatan istrinya yang tidak terlalu mantap sore ini, yang hanya dijawab dengan cubitan mesra oleh istrinya, lalu mereka tertawa bersama. Tidak ada makian. Tidak ada teriakan. Kapan ayah Ava dan Linda terakhir kali tertawa bersama? Sepuluh tahun yang lalu? Atau lebih? Kapan terakhir kali Ava bercerita mengenai kesehariannya kepada ayahnya? Ava tidak ingat. Sebab sudah terlalu lama.

"Ava." Manal menggeser kursi berodanya ke depan Ava."You okay?"

Ava mengerjapkan mata, yang menghangat di sudutnya. Hampir saja air mata menetes di pipinya. "Aku...."

Tatapan Manal, yang penuh kekhawatiran dan perhatian, hampir meruntuhkan pertahanan Ava. Membuat Ava ingin mencurahkan segala kegundahannya. Tetapi tidak. Ava tidak akan menceritakan aib keluarganya kepada Manal.

"Aku ketemu sama mantan pacarku kemarin sore." Ava memilih menceritakan sumber kesedihannya yang lain. "Dia ... menghinaku."

Meskipun geram, Manal menahan diri untuk tidak bersuara dulu.

"Waktu SMA, aku dan dia dekat. Bersahabat dan aku ... aku menceritakan banyak hal kepadanya." Saat Linda mulai mencium perselingkuhan suaminya, Ava remaja menceritakan ketakutannya menghadapi masalah keluarga seberat itu kepada Harlan. Harlan dengan tekun mendengarkan. "Aku kembali ke sini setelah selesai kuliah di Singapura. Kontak lagi sama Harlan...."

Jadi nama mantan pacarnya adalah Harlan. Manal mencatat dalam hati. Kalau sampai Manal bertemu dengannya, laki-laki tidak tahu diuntung itu akan menyesal pernah dilahirkan ke dunia. Manal akan memberinya pelajaran. Zaman sekarang mudah untuk mencari di mana keberadaan seseorang. Cukup memanfaatkan teknologi. Dan Manal memiliki kemampuan untuk melakukannya.

"Aku menyukainya ... mencintainya ... dan menjalani hubungan jarak jauh karena pekerjaan Harlan. Dia ditempatkan di luar pulau. Hubungan kami berat sebelah. Hanya aku yang bekerja keras. Aku benci sekali harus menelepon lebih dulu. Selalu bertanya kapan dia ada di rumah dan bisa bicara denganku. Aku yang menunggu-nunggu balasan pesan. Sering banget dia bilang aku demanding karena rebut minta dihubungi. Padahal dia yang terlalu cuek. Kadang berhari-hari dia nggak menghubungiku." Ava menarik napas. "Mungkin aku yang salah. Aku sibuk mengeluh dan bercerita. Sementara itu dia ... kurasa dia bosan mendengarkan. Aku minta dia ganti bercerita, dia bilang dia nggak punya masalah sepertiku. Dia salah satu orang yang sangat kupercaya ... tapi cerita yang kupercayakan kepadanya, yang nggak diketahui orang lain, dia manfaatkan untuk menyakitiku. Untuk ... menjatuhkanku. Untuk merendahkanku."

Manal mengangguk. Orang yang sudah hidup lebih dari dua puluh lima tahun pasti memiliki masa lalu. Yang berperan dalam membentuk diri mereka yang sekarang. Bisa jadi masa lalu itu berupa kenangan yang membahagiakan. Mungkin juga berupa sejarah yang menyakitkan. Cerita yang dimaksud Ava, bukan tentang sesuatu yang menyenangkan. Apakah Ava sudah bisa memercayai Manal, sehingga mau membagi cerita tersebut? Atau karena satu laki-laki tidak tahu diri itu menyakiti Ava, maka Ava tidak akan lagi memercayai siapa pun di dunia ini? Apalagi laki-laki. Dan orang asing. Hingga hari ini Manal masih berada dalam golongan itu.

The best friends in the world are not people who talk. They are people who listen. Manal memutuskan untuk menjadi pendengar saja kali ini. Tidak perlu mewawancarai. Kalau Manal bisa membuktikan bahwa dia sabar mendengar lalu menjaga rahasia tersebut untuk dirinya sendiri, Ava akan memercayai Manal dan membuka hati untuk Manal tanpa paksaan.

"Setelah kejadian ini, aku belum bisa percaya kepada orang lain." Lalu Ava buru-buru meralat. "Maksudku laki-laki lain."

Manal menggenggam tangan Ava. "Ini tangan siapa, Ava?"

"Tanganmu. Kamu kenapa sih?" Ava mengerutkan dahinya. "Dari tadi kamu aneh."

"Aku siapa?"

Laki-laki yang mengacaukan tatanan hidup baru yang sudah kususun. "Manal."

"Betul. Aku Manal. Bukan mantan pacarmu. Kamu harus selalu ingat itu." Manal menatap dalam-dalam mata Ava, yang balas memandang Manal dengan bingung. Dengan tatapan matanya Manal berusaha mengirimkan pesan bahwa Manal sedang bersumpah di dalam hati bahwa Manal tidak akan menyakiti Ava. "Aku nggak mau kamu menyamakan aku dengan si ... si pantat panci itu, Ava. Aku nggak ingin mau berpikir aku akan menyakitimu, hanya karena dia pernah menyakitimu."

Ava tertawa. "Pantat panci? Bukan aku takut kamu menyakitiku, Manal. Tapi aku nggak ingin kamu berharap terlalu jauh. Aku nggak mau harapan itu nantinya akan membuatmu patah hati. Membuatmu membenciku."

"Harapanku bukan tanggung jawabmu, Ava. Bukan kamu yang harus mewujudkan harapanku, tapi aku sendiri. Jangan membebani dirimu dengan pemikiran seperti itu." Sudah sering harapan-harapan yang dicanangkan Manal tidak tercapai. Yang paling baru adalah masa depan bersama Disha. Memang Manal sakit hati dan bersedih, tapi lama-lama Manal bisa bangkit. Bukankah memang seharusnya seperti itu? Hidup ini milik orang-orang yang gagal tapi mampu kembali berdiri dan berani berharap lebih tinggi lagi.

"Kenapa kamu berani sekali? Mau mencintai lagi setelah dikhianati?" Kenapa ada banyak orang yang keberaniannya tidak bisa melampaui harapannya? Seperti Ava.

"Jatuh cinta padamu lebih mudah daripada menjual bubuk Abate."

"Kamu nyamain aku sama nyamuk?" Ava tidak terima.

"Bukan. Penjual bubuk itu harus mendatangi rumah per rumah dan jarang sekali ada orang yang mau membeli produknya." Manal tidak tahu harus menjelaskan bagaimana. Maaf untuk sales person bubuk Abate, karena Manal terpaksa meminjam pekerjaan mereka. "Perjalanan cintaku juga seperti itu. Aku harus Berkali-kali mengetuk banyak hati sampai bertemu seseorang yang mau menerimaku."

People need to be in wrong relationships to make them ready for the one that they are meant to be. Tidak terkecuali Manal. "Sebelum dengan Disha, aku pernah pacaran dua kali. Putus. Lalu dengan Disha, gagal juga. Kukira aku akan perlu waktu lama untuk menata hati dan siap jatuh cinta lagi.

"Tapi aku ketemu sama kamu dan aku langsung jatuh cinta. Tanpa persiapan. Aku nggak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Setelah bicara denganmu, sekali di pantry, aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi. Karena hanya dengan begitu aku bisa tahu apa yang membuatmu bahagia dan apa yang tidak. Jadi aku bisa menghindari menyakitimu."

"Memang belum tentu kamu adalah jodohku. Mungkin aku kecewa suatu hari nanti." Manal masih menggenggam tangan Ava. "Akan lebih aman kalau aku nggak mencoba, nggak mau lagi jatuh cinta, dengan begitu nggak ada risiko hatiku patah, iya kan? Tapi kalau aku hanya diam, aku mungkin nggak akan merasakan kebahagiaan. Bahagia bersamamu."

"Aku belum siap." Atau tidak akan pernah siap.

"Aku nggak memintamu untuk membalas perasaanku sekarang. Aku ingin membuat kita ... nyaman bersama. Sebagai apa pun. Teman. Sahabat. Kamu tidak perlu berusaha mengusirku dari hidupmu, karena aku di sini hanya ingin membantumu. Untuk mendapatkan keberanian." Manal memperjelas maksudnya. "Keberanian mencintai dan dicintai lagi. Apa kamu tidak menginginkan itu, Ava?" Putus cinta memang berat, tapi putus asa jauh lebih berbahaya. Manal tidak mau itu terjadi pada Ava.

 "Orangtuamu berharap kita ... pacaran. Menganggap kita pacarana." Masalah ini juga membebani Ava. Terutama ibu Manal yang terlanjur menganggap Ava adalah pacar Manal.

"Ayo kita bicara kepada mereka." Manal membantu Ava berdiri. "Mereka akan mengerti kita ingin melangkah pelan-pelan dan hati-hati. Jadi Mama nggak akan menekanmu lagi. Maaf, aku terlambat bertindak."

"Kenapa kamu mau membantuku?"

"Karena saat kamu sudah berani mencintai lagi, aku berharap kamu akan mencintaiku."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top