Dua Puluh Sembilan
Halo, minggu pertama bulan Juli ini, gimana kabarmu? Semoga makin bahagia dengan kedatangan Manal dan Ava :-) Kalau kamu lupa belum tekan bintang, sejak awal baca sampai hari ini, yuk tekan dulu. Bintang-bintangmu akan memberi tahu teman-teman lain bahwa cerita ini layak dibaca.uat kamu yang selalu menyempatkan menekan bintang, aku mengucapkan terima kasih. Jangan lupa, tinggalkan komentar untukku.
Love, Vihara(IG/Karyakarsa/TikTok ikavihara, WhatsApp 083155861228)
***
"Mama ketemu Papa hari ini?" Ava berbaring bersisian dengan Linda di tempat tidur.
"Tidak. Addie tadi pulang sekolah dijemput ayah kalian. Lalu mereka jalan-jalan dan beli hadiah untuk kita semua."
"Kenapa Mama mengizinkan Addie ketemu Papa?" Sejak dulu, setelah membuat masalah, ayah Ava selalu memberikan hadiah-hadiah mahal untuk anak-anaknya. Berharap dengan begitu dia akan dimaafkan. Sikapnya akan dimaklumi.
"Selama dia tidak menyakiti Addie, Mama rasa dia bisa ketemu sama Addie. Kalau dipikir-pikir lucu juga ya, Ava? Mama bukan orangtua kandungmu, tapi kamu malah di sini bersama Mama. Bukan bersama ayahmu."
Tidak semua orang yang telah melahirkan atau membuat bayi mampu menjadi orangtua. Bukan berarti karena seseorang menyumbang setengah dari DNA, lantas mereka bisa disebut sebagai orangtua. Ada kewajiban-kewajiban yang melekat pada jabatan itu, dan jika ada kewajiban yang tak terpenuhi, maka jabatan tersebut perlahan akan terlepas. Salah satu kewajiban yang penting adalah, kedua orangtua harus saling menghargai dan saling memperlakukan dengan baik. Dengan begitu akan tercipta lingkungan yang baik pula untuk anak tumbuh kembang. Di dunia ini, betapa banyak anak-anak tak beruntung yang terpaksa tinggal bersama orangtua yang tak pantas menjadi orangtua.
Ava dan adik-adiknya beruntung masih memiliki Linda.
"Karena mamalah yang lebih banyak mencintaiku. Dulu Papa pernah menjadi ayah yang baik. Saat memilih Mama sebagai ibuku, dan Arvin dan Addie. Kalau nggak ingat jasa-jasa Mama, sebenarnya aku ingin hidup mandiri, keluar dari rumah, nggak mau menemani Mama."
"Mama sama siapa nanti di rumah? Sudah tidak ada Arvin. Lagipula, Mama tidak akan berani mengambil keputusan sebesar ini kalau tidak ada kamu. Kamu teman diskusi dan bicara yang lebih cerdas daripada Mama. Kamu akan menikah nanti, dan tinggal bersama keluargamu sendiri. Sampai saat itu tiba, Mama ingin kamu tinggal sama Mama."
Ava juga membutuhkan Linda. Pada siapa lagi Ava akan menemukan teladan, kalau dia tidak memiliki Linda dalam hidupnya? Ayah Ava jelas tidak pantas dijadikan contoh. Arvin masih sibuk dengan masa remaja menuju dewasanya. Sedangkan Adeline masih terlalu kecil.
"Apa Mama pernah bahagia selama menikah sama Papa?" Ava memandangi langit-langit kamar. "Maksudku bukan bahagia karena ada aku dan adik-adik."
"Hmmm ... dulu awal-awal menikah dan sampai beberapa tahun sesudahnya, Mama bahagia dengan pernikahan Mama. Kami menikmati pernikahan kami." Linda tersenyum mengenang masa lalu. "Hari-hari itu menyenangkan sekali. Saat Papa perhatian dan ... menyayangi Mama. Sampai sekarang Mama masih bisa ingat bagaimana rasanya.
"Karena itu, Ava, menurut Mama kita harus memberi kesempatan kepada cinta. Memang tidak ada jaminan kita akan selalu bahagia. Tapi setidaknya, pada suatu titik dalam hidup, kita pernah merasakan bahagia karena cinta. Bahagia bersama orang yang kita cintai. Sampai sekarang ... Mama tetap bahagia. Bersama anak-anak Mama yang luar biasa.
"Kalau tidak menikah dengan ayahmu, Mama tidak akan memiliki kalian semua. Itu adalah ganjaran yang sangat besar, untuk penderitaan yang harus Mama lalui. Mama berharap kamu bisa merasakan semua itu suatu saat nanti. Kebahagiaan maksud Mama. Penderitaannya tidak usah. Mungkin bersama Manal?"
***
Memang kalau sudah seusia Ava, akhir pekan adalah hari di mana ada saja undangan pernikahan yang perlu dihadiri. Hari ini seharusnya Ava mendatangi dua resepsi pernikahan. Tetapi Ava sedang malas sekali bergerak sejak tadi. Adeline memilih ikut Linda ke butik, tidak mau menemani Ava kondangan. Ava semakin tidak ingin pergi karena Tana menolak datang bersamanya. Menurut desas-desus, Tana datang ke kondangan Citra—teman sekantor mereka—bersama seorang laki-laki yang sampai sekarang dirahasiakan identitasnya. Kalau ingin tahu siapa laki-laki misterius itu, seharusnya Ava datang. Iya, mungkin itu bisa menjadi alasan Ava untuk mengubah pikiran. Tetapi nanti. Lihat nanti.
Ava berguling ke kanan untuk memeriksa ponsel yang bergetar.
Ava, Manal sakit. Susah makan. Apa bisa kamu ke rumah dan tengokin dia sebentar. Aku kasihan lihatnya.
Pesan masuk Nella. Susah makan? Seperti anak kecil saja. Ava mengetik balasan kepada Nella, menanyakan Manal sakit apa.
Muntaber. Kehabisan cairan.
Ingatan Ava melayang pada anak dari asisten rumah tangga Linda. Yang meninggal karena kekurangan cairan saat muntaber. Memikirkan itu semua, cepat-cepat Ava masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Mengambil baju seadanya dan menyisir rambut. Berdandan bisa dilakukan di taksi nanti. Lagipula Ava tidak perlu tampil habis-habisan di depan Manal, karena Ava tidak sedang berusaha membuat Manal menyukainya. Yang penting tidak terlihat seperti orang yang baru bangun tidur.
"Yuk." Ava memanggil Yuk Yati yang sekarang tinggal di rumah mereka. Beliau sudah bekerja sejak Linda menikah dengan ayah Ava. "Aku keluar dulu, ya. Mau ke rumah teman."
"Mbak Ava makan di rumah nanti?"
"Belum tahu." Yang menyuruhnya datang adalah Nella. Bukan Manal. Bisa saja Manal justru tidak ingin Ava datang dan menemuinya. Lalu menyuruh Ava pulang. Mengingat setelah WhatsApp tidak sengaja itu, yang isinya kangen sialan itu, Manal tidak juga menghubungi Ava. Artinya Manal masih membencinya kan?
***
"Masuk, Sayang." Dari ruang tengah, terdengar jelas suara ibu Manal. "Manal di dalam."
Saat Manal menoleh ke sumber suara, ada Ava berdiri di samping ibunya. Cepat-cepat Manal melempar controller di tangannya ke lantai dan berbaring di sofa sambil memegangi kepala. "Aduh ... sakit ... kepalaku sakit...."
"Lho, sakit kepala sekarang?" Ibu Manal heran melihat anaknya.
"Sakit banget ... Ma...." Manal berusaha menciptakan erangan kesakitan.
"Bukannya kamu sakit perut?" Ava mengerutkan kening. Menurut keterangan Nella tadi, Manal muntaber, bukan sakit kepala.
"Oh." Manal menyadari kesalahannya. "Aduh ... perutku juga sakit ... aduh...."
"Kalau sudah tidak tahan, ke rumah sakit sana. Mama ke belakang dulu. Lihat orang kerja. Mama tinggal dulu ya." Ibu Manal menyentuh lengan Ava sebelum meninggalkan Ava berdua bersama Manal.
Ava duduk di lantai. Mengambil controller berwarna hitam dan melanjutkan game FIFA yang ditinggalkan Manal.
"Kenapa kamu pura-pura sakit?"
"Nggak pura-pura. Memang habis muntaber tiga hari lalu. Aku sempat ke UGD karena kekurangan cairan. Waktu nyalain HP, ada yang bilang kangen." WhatsApp dari Ava waktu itu membuat Manal tertawa. Kangen sialan. Kenapa ada orang menyatakan kangen sambil mengumpat? Tidak, Manal tidak tersinggung. Malah menurut Manal pesan itu manis, berbeda dari ungkapan rindu lain di dunia ini.
Manal, yang masih berbaring di sofa, menggerakkan tangan kanan di rambut panjang Ava. Sejak pertama bertemu Ava, Manal memang sudah bercita-cita ingin membelai rambut Ava, tanpa ditampar, tentu saja. Karena sekarang Manal sedang sakit, Ava tidak akan tega menyiksanya. So smooth. Rambut Ava seperti kain sutra termahal di dunia. Dan harum.
"Aku langsung sembuh habis baca pesanmu. Aku ingin ke rumahmu. Tapi kata Nella, aku harus banyak istirahat dan nggak usah bingung gimana supaya kangenku sama kamu bisa terobati. Dia yang akan bikin kamu datang ke sini. Memang dia dokter terbaik. Tahu apa yang dibutuhkan seorang pasien." Manal akan berterima kasih pada adiknya nanti.
"Kamu nggak masuk kerja seminggu." Ava mencetus.
"Perhatian sekali kamu. Menghitung hari di mana kamu nggak ketemu sama aku. Kamu pasti kangen banget sama aku." Manal tersenyum lebar. "Aku ke Banjarmasin hari Senin. Ketemu beberapa klien. Mungkin kena muntaber karena capek dan nggak cocok sama makanannya. Atau karena aku jorok."
"Mmmm...." Babak kedua sudah diselesaikan Ava dengan Barcelona menang 2-1. "Yang waktu itu ... di bistro waktu kita makan ... yang kita omongkan...."
"Oh, itu. Nggak usah kamu pikirkan, Va. Anggap saja aku nggak pernah ngomong yang aneh-aneh. Aku juga sudah banyak berpikir. Kalau kamu memang nggak siap, aku nggak punya hak untuk memaksa."
"Eh?" Tidak usah dipikirkan? Padahal Ava sudah berpikir panjang, selama berhari-hari. Some people are lucky to be offered love and some are not. Karena Ava termasuk orang yang beruntung, karena Manal menyukainya, Ava tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Aku akan tetap menyukaimu, Ava. Dan kamu nggak perlu balas menyukaiku. Kamu ... tetaplah seperti ini. Just keep doing what you are doing. Tetap tersenyum padaku, tertawa bersamaku, dan membuatku kesal karena selalu menyuruhku menjauhimu."
She loves the idea of that. Manal tidak menginginkan balasan apa-apa atas perasaannya kepada Ava. Suka begitu saja. Manal benar-benar laki-laki yang pemberani. Jauh lebih berani daripada Ava. Dengan ringan Manal mempertaruhkan hatinya, untuk Ava yang ragu apakah dia berhak mendapatkannya. "Kamu nggak usah mengumumkan kita putus. Kita berdua...."
"Kamu mau semua orang tahu kita tetap pacaran? Kenapa kamu berubah pikiran? Kemarin-kemarin kamu nggak sabar untuk putus dariku." Manal mengambil satu controller dan me-restart game mereka.
"Nasibku akan makin buruk kalau kita putus. Aku akan dicap sebagai wanita yang nggak tahu diri karena mengkhianati laki-laki yang didolakan semua wanita di kantor." Menjaga status terdengar jauh lebih baik. Lama-lama orang akan terbiasa dengan Ava dan Manal yang pacaran dalam tanda kutip. Kalau ada kabar mereka putus, tentu Ava akan semakin kuat menasbihkan diri sebagai musuh utama mereka semua. Mematahkan hati sang idola adalah salah satu kesalahan besar lain yang tak termaafkan.
"Oke." Manal setuju. "Kamu bisa main FIFA?"
Ava menunggu Manal menyelesaikan susunan pemain. "Aku sering main FIFA sama adikku."
"Kukira sama mantan pacarmu."
"Dia menikah hari ini."
"Welcome to the club." Manal meringis. "Diundang?"
Ava tertawa keras sekali. Sekarang dia dan Manal berada dalam kelompok yang sama. Sama-sama diputuskan lalu ditinggal kawin. Bedanya, Manal diundang sedangkan Ava tidak.
"Nggaklah. Dia menikah di Kalimantan sana. Dia ... katanya menghamili pacarnya."
Manal bukan orang yang menentang hubungan seksual di luar nikah—meski dia tidak melakukan. Itu urusan masing-masing orang. Tetapi mantan pacar Ava ini ... berapa umurnya? Kenapa tidak memakai kontrasepsi dobel? Wanita menggunakan, laki-laki juga.
"Walaupun zaman sudah modern ... oh, shit!" Manal mengumpat ketika penyerang di tim Ava hampir membuat gol dari tendangan bebas. "Kalau dia mencintai wanita itu, seharusnya dia nggak membuat susah si wanita dan keluarganya. Orang-orang ... pasti akan membatin, atau bahkan membicarakan kehamilan itu. Secuek-cueknya manusia, kalau dijadikan bahan pembicaraan, apalagi untuk sesuatu yang di mata masyarakat masih dianggap perbuatan kurang baik, pasti ada rasa susah juga."
"Aku sering berpikir, waktu dia masih pacaran denganku, apa dia sering melakukannya? Maksudku tidur dengan wanita lain."
***
Jangan lupa baca karya-karyaku yang lain di Wattpad ya. Cek di daftar bacaan atau daftar karyaku di profil. Thank you :-)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top