DUA PULUH LIMA

Halo, aku datang membawa kebahagiaan!!!! Gimana kabarmu hari ini? Jangan lupa tanya kabar orang-orang terdekatmu ya, siapa tahu mereka sedang memerlukan teman tapi takut mengganggu orang lain :-) Maaf ya, aku nggak update Jumat karena aku sakit vertigo dan darah rendah.

Seperti biasa ada pertanyaan yang perlu dijawab di bagian akhir halaman. Tentang Manal! Di bagian ini rasanya, aku siap menggantikan Ava supaya bisa flirting unyu sama Manal T_________T

Tinggalkan komentar untukku ya. Nanti aku balas. Love, Vihara(IG/TikTok/Karyakarsa ikavihara, WhatsApp 083155861228)

***

Ava adalah orang yang percaya bahwa baju yang tepat memengaruhi level kepercayaan diri seseorang. We feel great when we look great. Salah memilih baju dan telanjur berada jauh dari rumah itu menyebalkan. Seseorang hanya bisa diam karena tidak nyaman bergerak atau dirundung perasaan khawatir. Takut orang lain memperhatikan keanehan baju tersebut. Karena itu, sebagian besar waktu Ava di pagi hari dihabiskan untuk memadu-madankan baju yang akan dipakai ke kantor. Atau ke mana saja Ava akan pergi. Pagi ini juga. Meski pernikahan Nella diadakan di sebuat auditorium universitas terbesar di kota ini, bukan di JW Marriot, tapi bukan berarti Ava akan berdandan ala kadarnya. Di pernikahan Nella nanti ada kemungkinan Ava bertemu dengan dokter-dokter ganteng, rekan kerja Nella.

Gaun sifon tanpa lengan berwarna mint, panjangnya mencapai bawah lutut, berkerah crew dan berpotongan A-line menjadi pilihan Ava. Sepasang berhak tinggi sepatu berwarna perak melengkapi penampilan Ava. Sementara itu, Adeline memakai terusan selutut senada dengan warna gaun Ava dan flat shoes putih.

Kepercayaan diri Ava semakin bertambah saat Manal, yang menunggu Ava di sebelah kanan pintu masuk, tersenyum dari kejauhan. Tatapan mata Manal lurus dan fokus pada Ava yang berjalan menggandeng Addie. Tadi Ava sudah menelepon Manal, memberitahu bahwa dia dan Addie sudah sampai di lokasi resepsi Nella. Sejak semalam Manal sudah mewanti-wanti, bahwa di pernikahan Nella, mereka harus bertemu. Manal tidak mau Ava datang sebentar, meghindari bertemu Manal, lalu pulang.

"Gorgeous. As always." Manal langsung melingkarkan tangan di punggung Ava. Memeluk pinggang Ava. Untuk memberti tahu semua orang yang hadir di sana, bahwa Ava adalah milik Manal. Untung saja Ava tidak mendorong tubuh Manal.

"Thanks. Ini adikku. Addie." Ava mengenalkan adiknya yang menyandarkan tubuh pada bagian kanan tubuh Ava. "Kenalan sama Manal, Sayang. Teman Mbak Ava."

"Kamu lebih cantik daripada Mbak Ava, Addie. Kalau aku ketemu sama kamu duluan, mungkin aku nggak jadi jatuh cinta sama Mbak Ava, tapi sama kamu." Mendengar Manal menggodanya, Adeline tersipu malu.

"Jadi begitu cara kamu merayu cewek?" tanya Ava.

"Addie, apa ada cowok yang suka datang ke rumahmu dan mencari Mbak Ava?"

"Kamu nggak akan memanfaatkan Addie untuk jadi mata-mata, kan?" Ava melotot mendengar pertanyaan Manal.

"Ide yang bagus." Manal kembali memandang adik Ava untuk menawarkan kerja sama. "Apa kamu mau memberitahu aku kalau ada cowok yang mendatangi Mbak Ava? Kapan-kapan kita bisa makan piza dan es krim."

"Manal!" Ava mencubit lengan Manal.

"Mbak Ava nggak punya pacar." Akhirnya Adeline bersuara.

"Addie! Kamu datang!" Seorang anak perempuan berlari menghampiri Adeline.

"Anna," sahut Adeline sebelum menjelaskan kepada Ava, "Teman sekolahku. Boleh main sama dia, Mbak?"

"Boleh. Hati-hati mainnya, ya. Nanti telepon Mbak Ava kalau ada apa-apa."

Adeline mengangguk lalu berlari bersama temannya untuk mendatangi booth es krim.

Ava mendesah lega, karena sampai saat ini tidak ada perubahan sikap pada adiknya pasca-pindah-rumah. Adeline masih ceria seperti biasa.

"Anna ... anaknya sepupuku. Aku harus kasih dia hadiah nanti. Karena memberi kesempatan kita buat berduaan. Meskipun aku masih ingin tanya-tanya sama Addie soal kamu dan siapa yang suka mendatangi kamu di rumah."

"Kamu ini benar-benar nggak bisa menyerah ya? Nggak ada siapa-siapa yang datang ke rumah. Kamu nggak dengar Addie bilang tadi?"

"Salah satu kelebihanku. Nggak bisa menyerah. Mau masuk dulu?"

"Iyalah." Tujuan utama Ava ke sini adalah memberi selamat pada Nella dan keluarga Manal. Bukan meladeni rayuan Manal. Apalagi berduaan dengan Manal.

Demi apa hari ini Manal terlihat semakin tampan seperti pangeran-pangeran dari kerajaan tanah Jawa dengan beskap kuning dan blangkonnya. He is traditionally sexy.

Nella juga sangat cantik dan bersinar siang ini. Ditunjang kebaya panjang berwarna emas, yang ekornya panjang menyapu lantai, rancangan Linda Mariana tentu saja. Ava selalu bangga melihat karya-karya ibunya bisa menjadi bagian dari salah satu hari paling bahagia dalam hidup seorang wanita.

"Selamat ya, Nella." Ava memeluk Nella lalu menyalami suami Nella.

Ibu Manal juga memeluk dan mencium pipi Ava. Kemudian berbisik di telinga Manal,"Yang menikah Nella, tapi yang gelisah sejak pagi Manal. Ya pantas kalau yang ditunggu-tunggu cantik sekali seperti ini. Sebentar lagi Ava yang berdiri di sini. Bersama Manal dan kami semua."

Ava tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum saja. Kalau Ava bersuara dan menyatakan dirinya tidak akan menikah ... well ... ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan itu. Keluarga Manal sedang bahagia. Tidak perlu diganggu dengan berdebat dengan seseorang yang tidak lagi memercayai cinta dan pernikahan.

"Ada apa? Mama ngomong apa terakhir tadi?" Manal bertanya.

"Mau tau aja." Ava mengangkat bahu. "Ayo makan."

Mereka harus pergi dari pelaminan dan memberi kesempatan tamu lain untuk memberi selamat kepada mempelai dan keluarga mempelai. Ava berjalan pelan, masih dengan tangan Manal menggenggam tangannya. Seharusnya Ava melepaskan tangannya. Tetapi setelah mereka bicara di kamar Manal waktu itu, pertama kali Ava bicara dari hati ke hati dengan laki-laki, bergenggaman tangan dengan Manal terasa berbeda. This is all about a sense of security. Pelukan dan genggaman Harlan hanya semacam formalitas karena mereka pacaran. Sedangkan dengan Manal, ada rasa aman yang menenangkan yang dikenali Ava. Dan Ava menyukai rasa tersebut.

"Oh My! Aku pengen banget makan itu beberapa hari ini." Ava melihat meja bundar penuh dengan lumpia. Luar biasa resepsi Nella. Food stall-nya banyak dan isinya bermacam-macam. "Aku harus makan yang mana dulu? Gulai kambing roti jala? Lontong Cap Gomeh? Tekwan?" Ava tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya.

"Kamu bisa makan semuanya. Kita punya banyak waktu." People who enjoy good food are people who enjoy life. Manal menyukai wanita yang tidak takut untuk makan. Dulu Disha jaim sekali kalau diajak kondangan. Makan hanya sedikit demi terlihat anggun, berkelas, dan tidak memalukan.

"Bakwan Malang dulu kalau gitu." Ava melepaskan diri dari Manal dan berjalan cepat mendatangi laki-laki berseragam hitam di balik stall. Makanan di resepsi Nella jauh lebih baik daripada makanan sok kebarat-baratan di resepsi mantan pacar Manal dulu.

"Apa semua orang harus menikah?" Tanpa sadar Ava menyuarakan pikirannya setelah mendapatkan tempat untuk menikmati bakwan Malang. Di pelaminan, kedua mempelai terus tersenyum saat bersalaman dengan banyak orang.

Setelah resepsi pernikahan Nella, minggu depan Ava memiliki dua undangan lagi di hari yang sama. Satu dari teman SMA dan satu dari rekan kerja di kantor.

"Iya, untuk melestarikan bangsa Indonesia." Manal memegang gelas air mineral.

"Huh?" Ava tidak mengerti.

"Kalau orang tidak menikah, tidak ada yang punya anak. Lalu bangsa Indonesia lenyap begitu saja suatu saat nanti." Manal memberikan air minum pada Ava.

"Betul juga. Dan mamaku nggak akan dapat uang kalau nggak ada yang menikah." Oke, demi keberlangsungan karir ibunya sebagai perancang kebaya, sepertinya menikah perlu diwajibkan di negara ini. Kecuali untuk Ava.

"Kenapa kamu nggak disuruh jadi dokter?" Yang sedang bersalaman dengan Nella saat ini adalah Dokter Anita, dokter anak yang selalu didatangi Adeline saat sakit.

"Sebelum memintaku, Papa menyuruh Banan duluan. Banan menolak. Dengan alasan dia hobi menggambar, bukan menghafalkan pelajaran. Aku mengikuti jejak Banan, menolak saran Papa." Enaknya jadi anak kedua, Manal bisa mengantisipasi apa yang akan terjadi padanya karena melihat pengalaman kakaknya.

"Lalu kenapa pilih software engineering?"

"Cinta pertama. Waktu aku remaja, Papa membeli komputer dan memasang internet. Hampir sepanjang waktu aku duduk di depan benda itu. Penasaran gimana benda itu bisa bekerja. Alasanmu?"

Ava mengingat bagaimana dia bisa sampai terdampar pada lembah hitam ini. Lembah hitam yang mempertemukannya dengan Manal. "Asal pilih saja."

"Aku sudah jawab panjang-panjang dan kamu balas tiga kata saja?"

"Memang aku nggak punya alasan khusus ... Oh!" Ava memekik ketika Irina mendekati mereka. "Ini siapa yang ganteng ini?"

Gian memakai beskap kuning mini, serupa dengan yang dipakai Manal dan Banan. Hari ini si Batman kecil berubah menjadi pangeran kecil. Yang sangat menggemaskan.

"Apa kamu mau menikah sama Tante?" Ava menyerahkan mangkuknya kepada Manal lalu berjongkok di depan Gian.

"Mau!" Gian—yang belum mengerti apa itu menikah—menjawab lamaran Ava sambil mengacungkan action figure Batman di tangannya.

"Oh, kamu penyelamat hidup Tante." Ava menciumi pipi Gian yang terkikik kegelian. "Jadi Tante nggak akan tua sendirian."

"Cepat kalian balik ke Sydney. Biar nggak menghalangi orang lain dapat jodoh!" Gerutu Manal.

Irina tertawa melihat wajah sebal Manal. "Gian, ayo kita cari Papa. Om biar di sini, biar cepat dapat istri."

"Aku mau foto dulu sama si Ganteng." Ava mengeluarkan ponsel dari clutch-nya dan menyerahkan kepada Manal, yang menerima sambil menggerutu lagi.

"Kenapa aku nggak dilamar? Kenapa aku nggak dicium? Kenapa aku nggak diajak foto? Aku lebih ganteng daripada Gian. Apa aku harus jadi sekecil Gian dulu baru bisa dapat kesempatan itu?" Gerutuan Manal semakin panjang.

"Jangan aneh-aneh. Kenapa kamu jadi cemburu begitu?" Ava menepuk pipi Manal. Laki-laki sebesar itu iri pada anak kecil? So cute. Sampai Ava ingin mencium Manal. Kenapa bersama dengan Manal selalu bisa menyenangkan seperti ini?

Tetapi bukankah sesuatu yang menyenangkan kerap kali berakhir mengerikan? Berdasarkan pengalaman Ava, tidak ada kebahagiaan yang berlangsung lama. Setelah Ava dan adik-adiknya merasakan sedikit kebahagiaan bersama ayah mereka, rasa kehilangan yang timbul setelahnya berkali-kali lipat lebih banyak. Bahkan selamanya tidak akan pernah habis.

Setelah Ava merasa bahagia bersama Harlan, rasa sakit yang muncul sesudahnya membuat Ava tidak ingin menjalin hubungan asmara lagi. Hari ini Ava tertawa, besok Ava menghapus air mata. Karena satu yang pasti. People can expect to feel a great amount of sadness anytime they experience happiness.

### 

Manal itu menyenangkan banget nggak sih orangnya???? Bayangkan kalau kamu menua bersamanya, pasti bakal ceria terus hahaha digodain terus. Iya kan????? *nggak santaiiiii*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top