DUA PULUH EMPAT

Halo. Seminggu kemarin aku nggak update karena berlebaran. Pada kesempatan ini aku ingin mengucapkan mohon maaf lahir dan batin untuk semua kesalahanku, baik yang kuketahui maupun tidak kuketahui, yang kusengaja maupun nggak kusengaja :-)

Tinggalkan komentar untukku ya. Love, Vihara(IG/TikTok/Karyakarsa ikavihara, WhatsApp 083155861228)

***

"Aku dan Ava belum pacaran. Walaupun kami lama bekerja di tempat yang sama, tapi kami baru akrab belakangan ini karena ada proyek yang sama di kantor." Manal menggenggam tangan Ava di bawah meja makan. "Aku baru putus dari Disha. Aku masih bingung apa aku mendekati Ava karena mencari pengganti Disha atau benar-benar menyukai Ava. Kurasa kami perlu waktu untuk memahami apa yang sebenarnya kami rasakan.

"Ava nggak akan menjadi bagian dari pernikahan Nella sebagai keluarga, Ma. Hari tu akan ada Kakek, Nenek, dan lainnya, yang akan bertanya-tanya siapa Ava. Kenapa dia bersamaku dan keluarga kita, pakai seragam yang sama. Mama juga pasti akan menyebut Ava calon menantu saat mengenalkan Ava kepada semua orang.

"Ava akan tetap datang sebagai undangan. Memberi selamat kepada Nella dan keluarga kita. Sebagai teman kita. Aku dan Ava ingin menjalani ini semua pelan-pelan. Kami nggak ingin buru-buru dan membuat kesalahan." Manal menutup penjelasannya.

Ava mengembuskan napas lega. Sama sekali Manal tidak menyebutkan bahwa selama ini Avalah yang keras kepala, ngotot tidak ingin punya hubungan dengan Manal. Manal menggunakan dirinya sendiri sebagai tameng, untuk melindungi nama baik Ava. Bagaimana Ava akan bisa mencegah dirinya tidak jatuh cinta pada Manal?

Dokter Hafidz menepuk pundak Manal sambil tersenyum lebar,"Seperti itu laki-laki dewasa dan bijak bersikap."

"Tolong tetap pertimbangkan Manal, Sayang. Tante menjamin dia adalah laki-laki yang tepat untukmu dan kamu tepat untuknya," bisik ibu Manal di telinga Ava.

"Kamu pasti bisa bikin Manal melupakan Disha." Nella meyakinkan Ava.

Banan dan Irina hanya tersenyum. Sedangkan Gian menembaki Ava dengan pistol mainan yang bisa berbunyi setelah makan malam.

***

Rumah baru. Awal baru. Hidup baru. Akhirnya tadi malam Linda mengumumkan mereka sudah bisa pindah. Sepanjang malam Ava tidak sabar menunggu pagi segera tiba dan mereka semua bisa pergi dari rumah ayahnya. Sengaja Ava tidak masuk kerja hari ini karena membatu ibunya mengatur rumah baru mereka. Sekarang mereka sudah aman, asal pagar dan pintu selalu dikunci, ayah mereka tidak akan bisa masuk. Kalau memikirkan apa yang dilakukan ayah Ava, memukul Linda, mau tidak mau Ava teringat pada Harlan. Yang menyebut Ava sama saja dengan ayahnya. Kasar. Menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Apa betul begitu? Ava memandangi tangannya. Di kafe waktu itu, itu adalah pertama kali Ava memukul orang.

Seandainya Harlan tidak menyinggung perasaan Ava, Ava tidak akan menamparnya. Ava mengangkat bahu. Terserahah apa yang dipikirkan Harlan. Itu tidak akan mengurangi kebahagiaan Ava hari ini. Linda duduk bermain piano tapi Ava tidak tahu lagu apa yang sedang dimainkan Linda. Atau tidak peduli. Musik apa pun terdengar indah di telinga Ava hari ini. Sudah lama rumah mereka tidak semenyenangkan ini.

"Mama." Ava memeluk leher Linda dari belakang. "Terima kasih sudah membawa kita semua meninggalkan lingkungan buruk itu. Aku yakin ini yang terbaik untuk kita, Ma." Sometimes getting away from the person who is causing pain is the only choice. Tidak ada pilihan lain. Menjelaskan perceraian kepada Adeline ternyata tidak terlalu sulit. Karena, walaupun Ava menyesalkan ini, adik bungsunya melihat ayah mereka memukul Linda dan setuju mereka menjauh dari ayah mereka.

"Mama dan Papa mencintai kalian semua, Ava. Mama tidak ingin kamu membenci Papa. Jangan memihak pada salah satu di antara kami berdua. Papa tetap berjasa. Kalau bukan karena Papa menikah sama Mama, Mama tidak akan ketemu Ava. Tapi Mama berterima kasih kamu sudah mau ikut dengan Mama, Sayang."

"Sudah pasti aku akan ikut Mama. Aku di sini untuk Mama. Kalau bukan Mama yang meminta, aku nggak akan pulang dan tinggal di rumah yang lama itu." Ava mengeratkan pelukannya. "Tahu rasa Papa. Kehilangan istri sebaik Mama. Kenapa Papa berbuat bodoh begitu? Nggak bisa bersyukur punya istri paling baik di seluruh dunia?" Apa kekurangan Linda? Cantik. Berprestasi. Ibu yang baik untuk Ava dan adik-adiknya. Linda tidak pernah pulang dari butik lebih dari pukul lima sore, karena Linda mendedikasikan waktu di sore dan malam hari untuk keluarga. Juga Linda bukan orang yang suka keluyuran dan bergaul dengan ibu-ibu rumpi, untuk memberi contoh yang baik pada Ava dan adik-adiknya.

"Mama dulu terlambat menikah, Ava. Teman-teman seusia Mama sudah punya anak umur tujuh atau delapan tahun, Mama belum menikah. Mama dan papamu dijodohkan oleh orangtua kami. Jadi Mama rasa, memang sebetulnya Papa tidak menginginkan Mama sejak awal. Dia lebih menyukai wanita ... seperti sekretarisnya dulu. Atau...."

"Pokoknya yang sangat muda. Semakin muda semakin Papa suka." Ava memotong dengan ketus. "Tapi Mama mencintai Papa. Sampai Mama baru mau berpisah sekarang."

"Bukan seperti itu, Ava. Mama pikir Addie masih perlu ketemu papanya, kan Mama sudah bilang. Papa, kan, masih sering pulang meski sebentar."

"Bertemu Papa yang marah-marah dan memukul Mama, itu maksudnya? Itu nggak ada manfaatnya buat Addie. Kalau nanti Papa sakit keras, aku nggak akan mau merawatnya."

"Jangan berdoa yang buruk-buruk, Ava. Sebenarnya Mama ingin ... kamu bicara pelan-pelan dengan papamu—"

"Mama mau aku bicara sama Papa?! Yang benar saja, Ma? Aku nggak mau."

"Ya sudahlah, lupakan cerita para orangtua. Bagaimana kamu sama Manal sekarang? Kenapa Mama bisa kelewatan cerita ini?" Jemari Linda masih bergerak lincah di atas tuts.

Ava tidak bisa main piano. Tidak tertarik. Hanya Addie yang rutin les sampai sekarang.

"Aku nggak pacaran sama Manal. Kami berteman. Kami menjelaskan kepada ibunya Manal juga waktu itu. Ups ... Manal telepon." Ava berjalan menjauh dari Linda untuk menerima telepon dari Manal.

***

Semua orang di gedung ini, kalau ditanya siapa yang pernah patah hati, pasti banyak yang mengangkat tangan. Patah hati bukan sebuah kejadian istimewa. Siapa pun yang sudah lulus SD pasti pernah patah hati minimal sekali. Mengaku atau tidak mengaku. Jadi kenapa ada seseorang yang merasa dirinya paling menderita, jika pada menit yang sama, ribuan orang di luar sana juga sama-sama merasa kecewa karena cinta?

Hari ini Manal paham apa cara yang tepat untuk mengatasi patah hati. Kejadian itu tidak perlu dipikirkan dan tidak usah dianalisis. Mungkin yang membuat seseorang sulit sembuh dari patah hati, adalah, menganggap hal tersebut sebagai masalah paling rumit. Lantas menyiksa diri sendiri dengan menganggap dirinya tidak pantas untuk dicintai dan selamanya tidak akan ada orang yang mau menerimanya.

"Halo." Suara lembut Ava terdengar di telinga Manal.

"Kenapa hari ini kamu nggak masuk, Ava?" Semangat Manal langsung muncul saat bercakap dengan Ava. Seharian tadi Manal tidak melihat Ava sama sekali di kantor dan hati Manal dipenuhi kekhawatiran. Menurut keterangan Tana, teman akrab Ava, Ava tidak masuk kerja hari ini.

"Keluargaku pindahan hari ini. Karena kami nggak kuat bayar sewa di rumah lama."

Candaan Ava membuat Manal tertawa. Istana yang sebelumnya ditinggali Ava jelas bukan rumah sewaan. Karena perumahan tersebut berada di Kawasan elit, yang sering disebut sebagai Singapura oleh masyarakat kota ini, dan hanya dihuni oleh orang-orang berada. "Sampai kapan kamu cuti?"

"Senin baru masuk. Apa kamu selalu menelepon anak buah yang nggak masuk?"

"Cuma kamu. Tapi kenapa kamu cuti lama sekali?" Berarti lima hari lamanya Manal tidak akan bertemu Ava? "Aku nggak bisa ketemu kamu sampai hari Senin nanti? Deadline sudah mepet, lho." Lima hari itu akan terasa seperti lima abad.

"Tenang saja, aku selalu menyelesaikan bagianku tepat waktu. Nggak sampai Senin kok kita akan ketemu, karena aku datang ke resepsi pernikahan adikmu hari Minggu nanti." Ava mengingatkan.

"Thanks, God." Manal merasa sedikit lega. Setidaknya Manal bisa bertemu Manal dua puluh empat jam lebih cepat. "Kamu datang sama siapa?"

"Sama Addie. Aku nggak seperti kamu ya, yang sengaja nyari partner kondangan karena malu ketahuan STMJ."

"STMJ apa?"

"Sudah Tua Masih Jomlo."

Manal tertawa keras sekali. "Aku nggak tahan nunggu sampai hari Minggu, Ava, buat ketemu kamu. Apa malam ini boleh lihat rumah barumu? Aku bisa bantu-bantu. Biar kamu cepat masuk juga, kalau cepat beres."

"No. Kita ketemu hari Minggu. Aku sibuk mengatur sepatu dan baju-baju kok. Itu yang bikin lama." Ava tertawa karena paham Manal tidak suka mendengar jawaban tidak. "Sudah dulu, ya. Aku mau jemput Addie di sekolah."

"Hati-hati ya."

Telepon terputus. Perkembangan yang cukup baik, Manal tersenyum kecil. Ava mau menerima teleponnya dan sudah sempat membuka diri. Meski hanya sedikit. Terobosan terbesar yang sudah dibuat Ava, yakni memercayakan cerita tentang si pantat panci itu kepada Manal, sudah bisa dijadikan modal untuk terus maju demi mendapatkan tempat dalam hidup Ava. Nanti kalau Ava merasa nyaman dan bisa semakin memercayai Manal, Ava akan membuka diri lebih dalam lagi.

Misi Manal hanya satu. Mengajari Ava untuk berani mencintai lagi. Mencintai Manal, tentu saja. Manal tidak akan rela setelah berusaha keras menyembuhkan luka di hati Ava, laki-laki lain yang menikmati hasilnya.

Manal sudah mengidentifikasi salah satu sumber ketakutan Ava. Asalnya buka dari dalam diri, melainkan dari luar. Ava tidak mau mencintai karena memiliki mantan pacar yang tidak hanya meninggalkannya, tapi juga merendahkannya. Setelah hubungan tidak sehat dan tidak seimbang itu berakhir, Ava tidak berani memberi kesempatan kepada Manal. Atau laki-laki mana pun. Takut Manal melakukan hal yang sama.

Manal mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Apa yang bisa dilakukan? Untuk bisa masuk ke hati Ava dengan lebih cepat?

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top