Dua Belas
Jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya.
Salam sayang, Vihara(IG/TikTok/FB/Karyakarsa ikavihara, WA 083155861228)
***
Ava menyuap satu potong cake ke mulutnya sendiri. Sendok sempat berhenti di antara bibirnya yang seksi dan indah. Lidahnya keluar untuk menjilat sisa krim. Manal menggeram sendiri melihat Ava menggodanya seperti itu.
"Mungkin kamu benar. Kalau dia menikah denganku, aku nggak akan bisa memberinya pesta pernikahan semewah ini. Kalau kami menikah, aku berencana menggunakan katering ibuku. Kami menyewa gedung dan mengadakan resepsi kecil-kecilan." Uang Manal tidak akan cukup untuk menyewa JW Marriot dan segala paketnya. Lima juta untuk memberi makan sepuluh orang tamu saja? Lebih baik uang itu ditabung untuk pendidikan anak-anak mereka.
"Menurutku yang penting dari sebuat pernikahan bukan pestanya. Tapi kehidupan setelah pesta." Menurut Ava, pesta seperti ini hanya buang-buang uang. Sebaiknya uang ditabung daripada dihabiskan sehari saja. Siapa tahu di masa depan, nasib Disha sama dengan Linda? Tabungan tersebut bisa dipakai untuk modal hidup tanpa suami.
"Apa kamu juga menginginkan pesta semewah ini? Kalau kamu menikah." Demi apa Manal membicarakan pernikahan bersama 'pacarnya' saat memenuhi undangan mantan pacarnya. "Aku khawatir, kalau semua wanita menginginkan pesta seperti ini, sampai kapan pun aku nggak akan menikah."
"Nope." Lebih tepatnya Ava tidak menginginkan pernikahan. Termasuk resepsinya.
"Manal." Sepasang laki-laki dan wanita menghampiri tempat Ava dan Manal duduk.
Oh, I smell trouble, Ava mengerang dalam hati.
"Kukira kamu nggak datang." Salah satu di antara mereka berkata sambil tertawa.
"Aku diundang, ya pasti datang. Kenalkan ini Ava. Pacar." Manal berdiri, lalu membantu Ava berdiri untuk bersalaman. Kenapa sangat membanggakan sekali mengenalkan Ava sebagai pacarnya? Manal berharap setiap orang mendatangi menjanya, sehingga Manal bisa menyebut Ava sebagai pacarnya berkali-kali.
"Kukira kamu masih sama Disha lho. Aku kaget waktu lihat undangan mereka," kata wanita bergaun putih sebelum memperkenalkan diri kepada Ava. "Aku Nina." Tangannya terulur untuk menyalami Ava. "Ini suamiku. David. Ini Oliv dan Aji. Kami teman waktu kuliah S1, sama Disha juga." Nina tersenyum menjelaskan pada Ava.
"Aku dan Disha itu cerita lama. Kalau Ava ... cerita baru." Manal menjelaskan. "Kalau kalian ingin menjaga perasaan pacarku, kalian nggak akan membicarakan Disha. Sudah cukup ya Ava marah-marah karena aku datang ke sini."
Teman-teman Manal tertawa. "Sorry, Va. Kami lama nggak ketemu, jadi obrolannya ke mana-mana. Ayo kita foto bareng. Sebagai kenang-kenangan. Sekarang Ava bagian dari pertemana kita juga." Nina mengeluarkan ponsel dari clutch-nya.
Ava menyentuh lengan Manal dan menggelengkan kepala. Meminta Manal menolak permintaan itu. Berfoto tidak masuk dalam rencana mereka kali ini. Hadirnya bukti fisik akan kebersamaan singkat mereka jelas berbahaya. Dengan pengantin saja Ava tidak ingin berfoto. Apalagi ini, dengan teman-teman Manal. Bencana. Ini akan menjadi bencana.
"Boleh." Manal tidak membaca kode dari Ava. Atau mengabaikan.
Ava menggertakkan gigi. Namun Ava tidak bisa berbuat banyak karena Nina telanjur meminta tolong laki-laki berseragam cokelat yang sedang mengumpulkan piring-piring kotor untuk mengambil gambar. Pasti foto tersebut akan muncul di media sosial.
"Kapan-kapan kita harus kumpul, ajak Ava juga," kata Oliv, yang sedang hamil, dan disetujui oleh Msemua orang. Kecuali Ava—yang menolak di dalam hati.
Kalau Ava ikut, Manal akan menganggap Ava telah menasbihkan diri sebagai pengganti Disha. Plus, ituelanggar perjanjian pura-pura pacaran sehari. Kalau seisi kantor tahu, entah akan seperti apa nasib Ava. Mungkin sudah dirujak bersama-sama.
"Ini nggak masuk perjanjian," kata Ava begitu teman-teman Manal memisahkan diri. "Aku cuma datang ke sini buat nemenin kamu ngasih selamat ke mantanmu. Bukan diajak foto sama dikenal-kenalin sebagai calon istri."
"Memang perjanjian kita kan nggak ada pasalnya, Ava. Sudahlah, jangan dipikirkan, itu cuma foto." Manal tidak memandang berpose sebentar bersama teman-temannya sebagai masalah besar. "Kalau ada temanmu yang ingin foto denganmu, untuk kenang-kenangan gimana cara menolaknya? Atau kalau mereka bercanda menunggu undangan pernikahan kita, apa mau kita bilang kita pacaran cuma main-main, nggak sampai menikah pasti putus?"
Ava tidak mengatakan apa-apa lagi. Selama mereka belum meninggalkan tempat ini, sandiwara mereka belum berakhir. Tidak mungkin juga Ava berharap tidak ada satu atau dua orang yang menyapa Manal. Kalau ada yang melakukannya, pasti Manal akan mengenalkan Ava kepada mereka. Yang paling mengganggu Ava adalah foto-foto tersebut. Pada hari biasa, Ava bisa memakai alasan sedang jelek jadi malas difoto. Hari ini alasan itu tidak bisa digunakan. Karena mereka semua jelas tidak ada yang jelek saat menghadiri resepsi pernikahan. Semua berdandan dan mengenakan baju bagus.
"Ava." Sebuah suara kembali mengusik ketenangan Ava.
Namun senyum Ava terbit saat melihat Savara, sepupunya, berjalan ke arahnya. Bersama Darwin Dewanata, orang yang disebut-sebut ingin merekrut Manal. Meskipun tahu bahwa Darwin sudah bertunangan dengan Vara, yang berarti kesempatan bagi Ava dan wanita mana pun untuk mendapatkan Darwin sudah tertutup rapat, tetap saja Ava menahan napas saat memandang Darwin dari dekat. Keberadaan Darwin terlalu sulit untuk diabaikan. He is stunning. Namun sayang, Darwin tidak bisa membuat jantung Ava berdesir seperti setiap kali Manal berjalan ke arah Ava.
"Hai, Var." Ava mencium pipi kanan dan kiri Savara lalu salaman dengan Darwin. "Kamu kenal juga sama mempelai? Gimana kabar Om sama Tante?"
"Darwin diundang sama Gubernur," jawab Vara. "Mama sama Papa baik. Kapan kamu main ke rumah? Mama kangen sama kamu dan Addie. Kemarin Arvin mampir. Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini."
"Oh, ini nemenin Manal. Manal, ini sepupuku. Savara. Dan calon suaminya, Darwin." Setelah mereka berdua salaman dengan Manal, Ava menambahkan, "Manal ditawari kerja di Zogo."
"Aku sudah dengar. Kapan kami akan dapat jawaban?" kata Darwin.
"Aku masih perlu waktu untuk berpikir. Masih ada yang perlu kuselesaikan sebelum memutuskan pindah atau tidak."
Darwin mengangguk. "Mungkin bisa coba janjian untuk ketemu sama Ferdi dulu, supaya dia bisa menjelaskan soal ... fasilitas dan lain-lain."
"Nggak usah ngomongin pekerjaan dong. Apa kalian lupa ini weekend?" Savara protes dan hanya ditanggapi dengan tawa oleh tunangannya.
"Bagaimana kalau kamu pindah ke Zogo juga, Ava? Kata Vara kamu ada ... old business ... di sana. Arya." Sayangnya Darwin kadang bicara sesukanya.
Ava melempar tatapan membunuh ke arah sepupunya karena sudah menceritakan hal-hal yang tidak perlu kepada Darwin.
"Ava kan sudah punya pacar." Savara menegur Darwin sambil melirik Manal. Berusaha menebus kesalahan. "Kenapa kamu bahas masalah nggak penting begitu?"
Manal meremas pinggang Ava dan tersenyum lebar. "Aku nggak gampang cemburu, sejak tadi juga banyak yang memperhatikan pacarku. Punya pacar cantik harus kuat."
"Setuju." Darwin tertawa.
Pacar. Pacar. Pacar. Walaupun muak dengan satu kata itu, Ava tidak meralat. Bukankah selama berada di lokasi resepsi dia adalah pacar Manal? Begitu bunyi perjanjian mereka.
***
"Karena aku sudah ngenalin Disha sama kamu, gimana kalau kamu cerita soal mantan pacarmu?" Mobil Manal meninggalkan JW Marriot. Terpaksa Manal mengejar satu fakta ini, agar bisa menentukan sikap. Lanjut berusaha mendapatkan Ava atau tidak. Bisa saja semua orang mengira Ava sudah putus dengan pacarnya, tapi siapa yang tahu kalau ada cerita lain. Misalnya mereka sedang istirahat dari pacaran lalu nanti menyambung kembali hubungan mereka. Banyak orang melakukan itu.
"Aku sama dia sudah putus jauh sebelum kamu melempar undangan ke tempat sampah di pantry." Ava mengubah suhu AC. Supaya semakin sejuk. Siang ini panas sekali.
"Orang yang disebut Darwin tadi?" Kalau pindah ke Zogo sama artinya dengan pindah ke kantor yang sama dengan mantan pacar Ava, lebih baik dia tidak melakukannya.
"Arya? Dia teman kuliahku. Dia menyukaiku tapi aku nggak punya perasaan apa-apa."
Ditolak. Ada laki-laki yang pernah ditolak Ava. Kalau mendengar Ava sekarang sendiri, tentu akan banyak—termasuk barisan para mantan—yang langsung antre untuk menggantikan posisi mantan pacar Ava, yang dengan bodoh melepaskan Ava. Bagaimana bisa Manal tiba-tiba merasa punya kepercayaan diri untuk memulai langkah mengejar Ava, hanya berbekal dengan kencan colongan selama kurang dari satu jam tadi? Dua jam kalau ditambah dengan perjalanan dari dan ke rumah Ava. Dua jam yang membuat Manal gila.
Rasanya Manal tidak rela mereka harus pulang meninggalkan lokasi resepsi dan Manal harus melepaskan tangan Ava dari genggamannya. Manal tidak mau tubuh Ava menjauh darinya. Sehingga Manal tidak bisa lagi menikmati wangi menyenangkan dari tubuh Ava.
"Lalu mantan pacarmu? Siapa?" Kenapa Ava menghindari menjawab pertanyaan ini?
"Dia di Balikpapan. Dia sudah nggak ada urusan denganku. Apalagi denganmu."
Cerita Savara dan Darwin bisa dibaca dalam 'Savara: You Belong With Me'
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top