DELAPAN BELAS

Teman, kalau aku nggak update satu hari, itu biasanya karena aku sedang sakit, baik sakit fisik maupun mentalku. Jika kondisiku sudah membaik, aku akan segera menyesuaikan kembali dengan jadwal yang sudah kujanjikan. Terima kasih atas pengertiannya.

Jangan lupa like dan komentar yaaaa.

Love, Vihara(IG/FB/TikTok ikavihara, WhatsApp 083155861228)

***

"Harga diriku di depan Disha, yang kamu selamatkan, jauh lebih mahal daripada sepasang sepatu. Sepatu ini nggak ada apa-apanya untuk mengganti semua yang sudah kamu lakukan untukku." Tanpa menunggu dipersilakan, Manal duduk di sofa putih di seberang sepeda kuno berwarna hitam yang menempel di dinding. Baru kali ini Manal melihat sepeda betulan dijadikan hiasan dinding.

"Darimana kamu tahu ukuran sepatuku?" Karena Manal menyurukkan tas tersebut ke tangan Ava, mau tidak mau Ava menerimanya. Ava mengeluarkan silver pumps dan menilai, dalam kepalanya, berapa harganya. Haknya setinggi sepuluh centimeter. Ujungnya runcing. Bahannya perpaduan antara PVC transparan dan kulit berwarna perak. Ditambah dengan taburan kristal yang ditata apik. Cantik. Sangat cantik. Kebetulan Ava belum memiliki sepatu seperti ini. Sengaha tidak membeli. Karena sepatu secantik ini, tampaknya, hanya cocok dikenakan bersama gaun pengantin.

"Dari Tana." Manal mengambil salah satu sepatu dari tangan Ava dan berjongkok di depan Ava. Apa pun sebutannya, pumps atau apa, bagi Manal benda ini adalah sepatu.

Setelah memasangkan sepatu tersebut di kaki kanan Ava, Manal diam sebentar untuk mengagumi kaki indah Ava yang kini berbalut sepatu baru. Sepatu baru dari Manal.

"WOW!!!!!" gumamnya. Masih dengan huruf kapital dan lima tanda seru. Kaki Ava yang halus dan bersih, ditambah kuteks warna merah muda—mulai mengelupas di ujung—yang membuat kaki Ava terlihat imutsemakin sempurna dibungkus sepatu pilihan Manal. Sepatu yang bertabur kristal. Kalau dipandang dari kejauhan, Ava seperti tak mengenakan sepatu. Kristal dan perak tersebut seolah adalah bagian dari kaki indah Ava. Manal tidak keberatan berjongkok di lantai sampai malam untuk mengagumi kaki Ava.

"Tana ya hmmm...." Ava teringat perilaku tidak wajar sahabatnya. Hari Sabtu, minggu lalu, seharian Tana berada di kamar Ava, mencoba banyak sepatu milik Ava, bahkan memotret-motret tidak jelas dengan alasan ingin merasakan memakai sepatu mahal. Ternyata Tana sedang mengemban misi dari Manal. Lihat saja besok. Tana akan mendapat pelajaran dari Ava.

"Ngapain?!" Ava melotot saat menyadari Manal memotret kaki Ava dengan ponsel.

"Relax. Something to jerk off." Manal tertawa.

"Nggak sopan banget sih kamu!" Ava melotot marah saat Manal memasukkan lagi ponselnya ke jaket. "Aku akan mengganti uangnya! Yang kamu pakai buat beli ini!"

Manal menahan kaki Ava saat Ava hendak bangkit dari duduknya. Mengganti uang? Apa Ava sedang menghina Manal? Apa Ava sama dengan Disha yang mengira Manal tidak akan bisa memberinya sedikit kemewahan? Manal mampu membeli sepatu seperti itu. Walaupun menghabiskan lebih dari separuh gaji Manal bulan ini, tapi Manal mampu membelinya. "Sepatu itu khusus kubeli untukmu. Sambil memikirkanmu. Baru pertama kali ini aku beli sepatu wanita. Sendirian. Kalau kamu nggak suka, diam saja. Simpan sepatunya, nggak usah dipakai juga nggak apa-apa."

"Aku nggak memintamu untuk...." Ava melihat Manal kembali duduk di sofa dan memutuskan untuk tidak mendebat. "Sorry. Terima kasih. Sepatunya bagus banget." Untuk mengganti uang Manal, nanti Ava bisa membelikan hadiah untuk Manal dengan harga yang setara. Satu unit motor bebek.

Ya Tuhan, Ava memejamkan mata. Ava sudah tahu kalau menerima hadiah ini tidak akan baik untuk hubungan mereka. Mau sampai kapan mereka akan bertukar kado?

"Apa kamu sibuk sekarang?" Manal menanyai Ava, yang sedang memasukkan sepatu ke kotak dengan sangat hati-hati. Seperti sepatu tersebut terbuat dari kaca.

Ava menggelengkan kepala. "Cuma baca buku. Kenapa?"

"Aku mau mengajakmu makan siang."

"Hari ini aku nggak ingin ke mana-mana." Ava tidak setuju dengan ide Manal. Bagaimana kalau salah satu penggemar Manal melihat mereka? Memotret seperti paparazzi dan menyebarkan lagi foto-foto itu di grup WhatsApp kantor? Itu hanya akan memperkeruh keadaan yang sudah buruk.

"Nggak lama, Ava. Hanya satu jam. Aku janji kita akan membicarakan masalah kita di sana. Masalah kamu keberatan disebut pacaran denganku. Kamu pakai baju yang nyaman, karena aku bawa Sheila." Manal memaksa, karena tidak ingin kedatangannya ke sini sia-sia.

"Who?!" Manal membawa wanita lain dan mengajak Ava makan siang bersama?

"Motorku."

Ava tertawa keras sekali. "Kamu kasih nama motormu?"

***

Manal membantu Ava memakai helm. Dulu helm ini dibeli untuk Disha, yang tidak pernah mau diajak naik motor dengan alasan panas dan bau asap. Nanti kalau Ava suka diajak naik motor, Manal akan membelikan riding gear yang lengkap juga untuknya. Dengan kualitas terbaik. Riding jackets, riding gloves, riding pants dan boots. Celana jeans, seperti yang dipakai Ava sekarang, mudah robek jika—amit-amit, semoga tidak terjadi—mereka mengalami kecelakaan dan harus bergesekan dengan aspal.

Gampang sekali membuktikan cinta seorang laki-laki yang hobi naik motor. Jika laki-laki tersebut menyediakan riding gear untuk pacarnya dengan kualitas yang sama dengan yang dia pakai, atau bahkan lebih baik, tidak perlu diragukan lagi, dia pasti mencintai wanita itu. They won't risk her life. Kalau dia cinta, dia tidak akan membahayakan keselamatan wanita yang dia cintai.

Bagaimana kalau tidak mampu beli dua riding gear berkualitas bagus? Maka laki-laki akan memakai yang buruk untuk dirinya sendiri. Biar kepalanya atau jari-jarinya yang terluka kalau terjadi hal yang tidak diinginkan di jalan. Jika salah satu harus mati, dia juga yang akan mempertaruhkan nyawa. Bukan membahayakan nyawa wanita yang dicintainya. Membawa wanita di jok belakang, wanita yang mengenakan perlengkapan ala kadarnya, hanya akan membuat seorang laki-laki tidak tenang selama berkendara. That's how experienced riders love their women.

"Tenang saja, Ava akan menyukaimu." Manal menggumam dan mengelus motornya, sembari memperhatikan Ava yang sedang mengancingkan jaket.

Ava akan menjadi wanita pertama yang duduk di belakangnya di atas Sheila.

"Kamu ngobrol sama motormu?" Ava memasang sarung tangan, short cuff gloves, yang tadi dibawakan Manal untuknya.

Ava belum selesai siap-siap. Karena sejak tadi Ava sibuk memperhatikan Manal yang sedang memasang helm. He looks mysteriously sexy. Ava teringat Batman, Zorro, bahkan Cat Woman, yang memakai topeng di atas wajah tampan dan cantik mereka. Hanya menyisakan mata dan bibir saja untuk dinikmati penduduk kota dan musuh-musuhnya. Bukankah itu yang membuat orang-orang—yang melihat aksinya—penasaran ingin tahu seperti apa wajah mereka. Siapa sebenarnya mereka.

Everyone likes mysteri. Women like mysteri. Berapa banyak wanita yang menunggu Manal membuka helmnya? Untuk mendapatkan jawaban atas misteri ganteng atau tidak wajah yang tersembunyi di balik helm? Kalau Manal sih bukan ganteng lagi, tapi sangat ganteng.

"Coba kamu berdiri di dekat Sheila." Manal menarik tangan Ava.

"Apa dia ... pacarmu?" Ava menyentuh motor Manal. "Dan aku cuma selingkuhanmu?"

"Kenapa? Kamu cemburu? Nggak mau jadi yang kedua?" Manal mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum menggoda.

Ava memutar bola mata.

"Kenapa namanya Sheila?" Ini terjadi pada semua laki-laki atau hanya Manal yang menamai motornya dengan nama wanita?

"I don't ride something named Michael. Or David. Siap?" Manal menoleh ke belakang untuk memastikan semua aman. Kali ini Manal memaafkan Ava yang memakai celana jeans, karena Ava tidak punya alternatif lain. Tali sepatu Ava terikat rapi.

Ava sudah siap, kecuali Ava masih duduk tegak.

"Ava, posisi!"

"Ini nih yang bikin aku nggak suka dibonceng naik motor," gerutu Ava sambil memeluk Manal dan menempelkan bagian depan tubuhnya pada punggung Manal.

Paha Ava menempel pada paha Manal. Walaupun tadi Manal menjelaskan, tapi Ava sudah lebih dulu paham. Arvin pernah bilang kepada Ava bahwa penumpang harus menempelkan badan pada pengendara dan mengikuti gerak pengendara. Miring ke kiri, ikut. Miring ke kanan, ikut. Ke mana saja ikut. Tidak boleh berlawanan dan tidak boleh duduk tegak. Untuk keselamatan. Posisi ini tidak akan menguntungkan bagi Ava. Bagaimana kalau nanti malam Ava tidak bisa tidur karena terus terkenang perut Manal yang padat ini? Punggung Manal yang lebar, kuat, dan kukuh?

"Jangan pernah melepaskan pelukanmu, Ava. Apa pun yang terjadi. Siap?" tanya Manal sebelum memacu motornya.

Ava ingin tertawa, karena tanpa diperingatkan pun Ava tidak rela mepelaskan pelukan Manal. Kapan lagi selain hari ini, Ava bisa merasakan seksinya bagian atas tubuh Manal, tanpa Manal tahu pipi Ava memerah dan memanas?

***

"Menurutmu gimana Sheila?" Manal meminta pendapat Ava. Pilihan makan siang Manal kali ini adalah soto ambengan dan Ava menyetujuinya. Soto ayam daging dan kulit untuk Ava dan soto ayam telur muda plus daging untuk Manal.

"Cool."Ava memindahkan nasi dari piring ke mangkuk.

Setiap makan di sini Ava tidak bisa menaham senyum geli. Semua piring dan mangkuk menampilkan foto laki-laki pendiri rumah makan ini, dengan gaya foto KTP, di pinggirnya.

"Aku nggak punya mobil." Manal memberi tahu. Mobil yang dipakai Manal dan Ava untuk pergi kondangan Disha dulu adalah milik ibu Manal.

Saat Manal memilih untuk membeli motor dengan harga—yang sama dengan satu mobil baru buatan Jepang—Disha menuduh Manal bukan orang yang memikirkan masa depan. Seharusnya orang yang siap berkeluarga membeli mobil, bukan motor sport.

"Aku nggak punya motor atau mobil." Ava meniup nasi di sendoknya.

Setiap pagi, saat berangkat ke kantor, Ava menumpang Arvin yang berangkat sekolah naik motor. Setelah Arvin lulus SMA, Ava menumpang mobil ibunya yang mengantar Addie sekolah setiap pagi. Walaupun itu membuat ibunya harus memutar agak jauh. Sebenarnya kalau Ava mau, mudah saja bagi Ava untuk membeli mobil. Tinggal minta ke dealer dan ayah Ava akan membayarnya tanpa bertanya. Tabungan Ava juga cukup untuk membeli mobil. Tetapi hingga sekarang Ava merasa belum memerlukan mobil.

"Jadi gimana dengan nasibku di kantor? Kamu bilang kamu mau beresin itu. Tapi kamu malah memperparah keadaan." 

***

Kira-kira apa solusi dari Manal? Tebak ya, nanti aku kasih hadiah kalau benar. Berupa ... senyuman Manal :-)

Aku mau mengingatkan lagi, kalau kamu belum pernah membaca novelku sama sekali, selain Sepasang Sepatu Untuk Ava, kamu bisa baca lewat apk iPusnas, gratis dan legal. Apk itu milik Perpustakaan Nasional, jadi selain kamu membantuku buat tetap dapat royalti, kamu juga ikut menghidupkan perpustakaan kita. Kamu bisa membaca buku berkualitas. Ada 4 judul bukuku di sana dan stoknya ditambah oleh iPusnas karena populer. Langsung download apknya dan search Ika Vihara. Semoga kalau banyak peminat nanti judul-judul lain akan dibeli juga oleh iPusnas :-)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top