DELAPAN
"Nggak tahu." Kalau kata Tana, makan di luar bisa sekalian cuci mata. Setelah setengah hari duduk di kantor, mereka perlu suasana baru. Perlu menghirup udara segar.
"Kenapa kamu nggak pernah ikut makan di luar sama yang lain?"
"Karena ibuku sering bawain bekal." Di luar panas sekali. Membayangkan harus berjalan di bawah terik matahari saja Ava sudah malas. Food court yang paling besar letaknya agak jauh. Saat sampai di kantor lagi pasti rambut bau matahari dan tubuh berkeringat.
Manal mengamati Ava yang sedang menghabiskan suapan terakhir nasi bakar. Kenapa Ava selalu irit bicara? Kalau ditanya hanya menjawab dan tidak bertanya balik. Apa obrolan mereka membosankan? Atau Ava pendiam? Apa Ava tidak tertarik bercakap dengan Manal? Atau Manal yang membosankan?
"Manal?" Ava mendapati Manal belum menyentuh bekal Ava sama sekali. Isi kotak bekal Ava masih utuh. "Sorry, makananku nggak enak ya? Seharusnya aku nggak habisin makanan kamu. Apa kamu mau kupesankan makanan, biar diantar ke sini?"
"Aku sudah kenyang melihat kamu makan." Karena mengamati Ava sejak tadi, Manal sampai lupa dia harus makan juga. "You're a hearty eater."
Ava tertawa pelan demi menyembunyikan rasa malunya. Saking enaknya masakan ibu Manal, Ava sampai lupa segalanya. Lupa untuk jaga image. "Aku rakus ya?"
"Biasa saja. Kalau kita nggak doyan makan malah repot."
"Aku memang ... uh ... makannya banyak. Apalagi kalau makanannya enak." Ava menunduk malu. "Sampaikan pada ibumu ya, masakan beliau luar biasa sekali."
"Nanti kusampaikan."
"Mungkin besok kita nggak usah tukar makanan lagi. Aku nggak enak sama kamu. Ibumu, kan, nyiapin ini buat kamu. Kalau beliau tahu kamu nggk memakannya, nanti beliau kecewa. Atau ... aku langganan katering ibumu saja."
"Aku nggak keberatan, Ava. Sudah kubilang, aku suka mengenalkan masakan ibuku kepadamu. Lagipula, aku senang nggak harus makan sendirian, kalau kita punya acara tukar bekal begini." Sejak Ava makan di sini, Manal tidak sabar menunggu jam istirahat makan siang segera tiba dan dia punya waktu setengah jam—atau satu jam, tergantung kesibukan—untuk dihabiskan bersama Ava. Membayar kehadiran Ava dengan makanan termahal di dunia pun Manal rela.
"Terima kasih ya." Ava bangkit untuk mencuci kotak bekal milik Manal, seperti yang sudah dilakukan Ava dua minggu ini. "Aku serius lho mau langganan catering ibumu."
Selama Ava berdiri menghadap bak cuci piring, Manal kembali mengamati Ava. Untuk orang yang mengaku banyak makan, bentuk tubuh Ava terjaga. Dari belakang saja wanita itu terlihat menawan. Dari depan jangan ditanya lagi. Kalau Ava lebih sering tersenyum, semua laki-laki di gedung ini tidak akan datang ke kantor dengan niat untuk bekerja. Tetapi ingin bertemu Ava. Ingin memandangi wajah Ava.
"Aku balik ke meja dulu." Ava meletakkan kotak bekal milik Manal, yang sudah dicuci, di meja. "Kalau kamu sudah selesai makan, kamu taruh di sini aja lunch box-ku. Nggak usah dicuci. Nanti aku ambil sebelum pulang. Besok aku mulai langganan ya, supaya makanan kita bisa sama. Nggak timpang seperti itu."
"Okay." Jatah mengobrol dengan Ava sudah habis. Manal ingin mentertawakan dirinya sendiri, yang selalu saja merasa kecewa. Atau merasa gagal. Setiap hari ada wanita cantik makan siang bersamanya. Tetapi Manal tidak bisa mengajaknya bicara lebih dari lima belas menit. Selalu saja Ava hanya menyelesaikan makan lalu terburu-buru kembali ke mejanya.
Ini sudah hari keberapa mereka duduk bersama? Tidak ada perkembangan sama sekali dalam pembicaraan mereka. Tujuan utama Manal, yang ingin tahu apakah Ava punya pacar atau tidak, apakah Manal ada kesempatan untuk mendekatinya atau tidak, belum menunjukkan tanda-tanda akan tercapai. Manal ingin mengetahui segala sesuatu tentang Ava, hingga ke hal-hal yang tidak diketahui orang lain. Dan Manal ingin Ava sendiri yang bercerita.
Sepertinya sepanjang sisa hari ini, Manal harus mencari tahu tips dan trik untuk membuat seorang wanita senang mengobrol dengannya. Karena sudah lama sekali Manal tidak memulai obrolan santai dengan seorang wanita, bisa saja Manal lupa caranya. Atau mungkin segalanya sudah berubah. Sejak Manal serius menjalin hubungan dengan Disha, pembicaraan dengan semua developer, QA tester, dan sebagainya yang berjenis kelamin wanita di kantor ini, selalu berkaitan dengan pekerjaan. Tidak pernah berupa obrolan kasual seperti ini. Berkenalan dengan seorang wanita, selain untuk keperluan pekerjaan, pun Manal tidak pernah melakukan lagi.
Setelah tersenyum sekali lagi kepada Manal—senyum Ava cantik dan hangat sekali siang ini—Ava berlalu. Seandainya Manal berada di kutub utara, Manal tidak akan kedinginan selama bisa melihat senyum Ava secara langsung. Duduk di sini selama setengah jam tanpa mengobrol pun tidak apa, asal Manal mendapatkan satu senyuman dari Ava.
Mungkin Ava sudah punya pacar. Jadi Ava berusaha untuk menjaga jarak dengan Manal. Atau Ava sudah punya calon pacar. Betul. Kenapa Manal tidak memikirkan kemungkinan ini? Kalau Manal, yang belum sembuh dari patah hati saja, bisa merasakan ketertarikan yang tidak tertahankan kepada Ava, apalagi laki-laki yang sedang tidak punya beban apa-apa? Pasti mereka mengantre ingin mendapatkan hati Ava.
Manal mengumpat di dalam hati. Kenapa dia memiliki niat mendekati Ava, yang dalam struktur organisasi berada di bawahnya? Iya kalau semua prosesnya berjalan lancar dan Ava memiliki perasaan yang sama dengan Manal, maka Manal akan menjadi laki-laki paling bahagia di gedung ini. Di seluruh dunia bahkan. Mereka akan menikah dan bahagia selama-lamanya. Kalau perasaan Manal tidak bersambut? Tentu akan mengganggu kerja sama mereka yang terjalin baik selama ini. Bahkan mungkin alam berdampak pada kinerja tim mereka secara keseluruhan. Tetapi Manal tidak yakin, apakah dia bisa mengatur hatinya supaya membatalkan rasa sukanya kepada Ava. Sudah terlambat untuk melakukannya.
***
Nggak bawa bekal.
Adalah jawaban dari Ava. Manal tidak percaya dia mengirim WhatsApp kepada Ava hanya karena Ava tidak muncul di pantry siang ini. Menikmati makan siang sendiri, setelah rutin duduk bersama Ava, ternyata tidak menyenangkan. Ada yang kurang. Memang tetap tidak banyak yang mereka bicarakan selama makan. Manal menanyai Ava bagaimana kegiatan permotretannya, yang dijawab Ava dengan keluhan. Atau Manal memilih topik augmented reality* yang semakin populer setelah kesuksesan Pokemon Go dulu, yang ditanggapi Ava dengan menyatakan dia bukan pemerhati game. Pernah juga Manal mengomentari Cristiano Ronaldo yang sudah tidak punya kesempatan memenangkan Piala Dunia, saking tidak tahu harus mengobrol apa.
"Edwin van der Saar," jawab Ava saat Manal bertanya siapa pemain bola favorit Ava. Walau tidak mengikuti perkembangan game, tampaknya Ava mengerti tentang sepak bola.
"Kenapa goal keeper? Biasanya cewek suka striker." Dalam segala survei yang diadakan banyak majalah dengan responden wanita, sepuluh pesepak bola yang dinilai paling seksi di dunia tidak mencantumkan nama penjaga gawang.
"Penjaga gawang adalah posisi paling sulit. Kalau pemain lawan sudah melewati tengah lapangan, lalu tidak bisa dihentikan oleh tiga atau empat pemain bertahan, tinggal penjaga gawang tumpuan satu-satunya untuk menyelamatkan gawang. Dia harus melindungi nama baik timnya dan menghindarkan timnya dari amukan fans. Sendirian. Belum lagi kalau ada teman setimnya yang bodoh, membuat kesalahan fatal di kotak penalti. Goal keeper yang harus menanggung akibat dari perbuatan yang nggak dia lakukan," jelas Ava.
Saat itu, di telinga Manal, Ava seperti sedang membicarakan filosofi hidup. Bukan permainan sepak bola. Tetapi Manal tidak ada kesempatan untuk bertanya lebih jauh, karena, setelah pembicaraan terpanjang itu, Ava buru-buru pamit kembali ke mejanya. Benar-benar wanita yang menarik. Manal mencatat dalam hati, suatu saat dia harus menanyakan tentang masalah filosofi penjaga gawang tersebut pada Ava.
Damn! I miss her, keluh Manal merana.
Ke sini saja. Ada makanan buat kamu.
Jari Manal membalas dengan cepat. Kalau tidak ingin bisulan karena menahan rindu, Manal harus melakukan sesuatu. Setalah pesan terkirim, baru Manal mendengus. Memangnya dia siapa menyuruh-nyuruh Ava? Atasannya, tentu saja, otaknya menjawab. Tetapi rindu bukan urusan pekerjaan. Tidak ada kewajiban bagi Ava untuk menuruti permintaan Manal. Tidak ada balasan dari Ava. Dan Manal harus menerima itu sebagai takdir. Memang dia dan Ava tidak digariskan bertemu hari ini.
Saat Manal hendak bangkit dan memilih makan di mejanya saja, Ava muncul di pantry. Sambil tersenyum. Senyum seterang matahari inilah yang paling dinanti Manal.
"Lho itu bawa bekal?" tanya Manal ketika Ava duduk di sebelahnya, agak terlalu dekat. Tetapi Manal tidak keberatan. Semakin dekat semakin baik. Kalau Ava naik ke pangkuannya pun Manal tidak akan mengeluh.
Ah, Manal tahu apa lagi yang dia rindukan dari Ava. Wangi yang tercium dari tubuh Ava. Innocence yet sexy. Manal menghirup udara dalam-dalam sambil mencoba menebak wangi apa yang sangat menyenangkan dan menggoda ini. Jeruk? Atau apa? Menanyakan itu kepada Ava saat ini tidak pantas, mereka belum cukup akrab untuk membahas merek parfum.
"Cuma begini." Ava membuka kotak bekal, yang berisi dua tangkup roti bakar. "Tadi pagi semua orang di rumah kesiangan jadi cuma ada ini."
"Apa isinya?"
"Cokelat." Tidak ada selai lain di rumahnya. Sepertinya Linda benar-benar sibuk dan tidak sempat belanja. Linda lembur menyelesaikan baju pengantin untuk pernikahan anak gubernur, jadi tidak mengurusi dapur.
"Eh, jangan!" Ava menghalangi Manal yang akan menukar kotak bekal mereka, seperti biasa. "Kan aku bilang kalau aku mau mulai langganan catering."
"Sorry, aku belum bilang ibuku. Tapi hari ini gudeg buatan ibuku enak banget." Manal menunjuk kotak bekalnya sendiri. "Kamu nggak ingin mencicipi?"
"Mencicipi? Pasti aku kebablasan sampai habis. Kenapa kamu nggak segera memproses permintaanku buat langganan katering ibumu?" Semua makanan yang dibawa Manal selalu enak. Termasuk yang di depan mata Ava sekarang. Selain gudeg yang terlihat lezat, juga ada jagung manis, wortel, brokoli, dan mayones.
Karena ibuku semakin penasaran apa aku punya teman wanita, Manal menjawab dalam hati. Ibu Manal bahkan berusaha mengorek info dari Fasa. Oleh karena itu Manal masih menyiapkan mental untuk meneruskan pesanan Ava kepada ibunya.
***
*Menambahkan input digital—yang dihasilkan oleh komputer atau ponsel—ke dalam lingkungan pengguna pada saat yang sama
***
Teman, alhamdulillah, puji syukur buku terbaruku sudah terbit. Judulnya The Dance of Love, berkisah tentang seorang principal dancer Indonesia di The Royal Ballet of Denmark yang mendapat kesempatan kedua untuk cinta pertamanya pada seorang urbanist asal Copenhagen. Berbeda dengan saat remaja dulu, di mana dia hanya berani mencintai dalam diam, kali ini dia akan memperjuangkan perasaannya. Berhasilkah dia membuka hati laki-laki yang baru saja dikhianati calon istrinya? Apakah dia akan mendapatkan jawaban yang sama untuk cintanya? Kamu bisa dapatkan di toko buku, Gramedia Digital atau Google Playbook.
Semua menjadi mungkin karena kamu selalu mendukungku, dengan membeli satu atau lebih bukuku. Dari penjualan buku tersebutlah aku bisa membiayai penulisan cerita selanjutnya, termasuk Sepasang Sepatu Untuk Ava ini, yang bisa dibaca gratis sampai habis. Sebab untuk menulis cerita itu tidak murah dan tidak mudah. Jadi aku mengucapkan terima kasih banyak padamu yang sudah mendukungku:-)
Kalau tidak memungkinkan bagimu untuk membeli bukuku, kamu bisa mendukungku dengan men-share link atau ceritaku yang kamu sukai di media sosialmu, atau menceritakan kesanmu saat membaca ceritaku kepada temanmu. Dengan begitu akan ada lebih banyak orang mengenal ceritaku dan siapa tahu, dia memiliki rezeki untuk membeli bukuku.
Dan seperti biasa, jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya. Nanti aku balas satu-satu :-)
Love, vihara (FB/IG/Twitter ikavihara WhatsApp 083155861228)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top