38 🏈 Kakek Vs Cucu
Baca mushafnya dulu baru buka WPnya 👍👍
-- happy reading --
🍒🍒
Dalam tingkatan sebuah bahasa menurut orang Jawa, ada suatu ketika yang dipelajari bernama kerata basa. Yakin, bahwa pelajaran ini sudah banyak terlupakan bahkan untuk orang yang mengaku memiliki darah Jawa sekalipun.
Kerata basa yaitu dua kata yang di jadikan satu dan memiliki makna baru. Jika berbicara dalam bahasa Indonesia mungkin lebih tepat jika disebut sebagai akronim.
Sebagai contoh kerikil kerata basanya dalam bahasa jawa adalah keri-keri panggonane ing sikil, membuat geli di kaki. Wedang ngawe kadang, memanggil saudara. Wedang sendiri adalah bisa berwujud teh, kopi, atau pun coklat yang artinya enak dinikmati ketika bersama-sama dengan keluarga saat duduk bercengkerama dengan mereka.
Gedhang digeget sakbubare madhang, buah pisang enak dinikmati setelah makan besar telah dilalui. Ataupun guru, digugu lan ditiru. Diperhatikan dan ditiru dari pembelajaran yang baik yang telah mereka berikan kepada kita.
Masih banyak lagi kerata basa yang bisa ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula dengan istilah 'simbah' atau disebut sebagai panggilan untuk kakek dan nenek. Simbah yang artinya keno kanggo tambah-tambah. Artinya keberadaan kakek dan nenek itu selalu menjadi tempat mengadu sang cucu di kala apa yang diinginkan dari kedua orang tuanya belum bisa terwujud. Dan biasanya sang kakek atau nenek akan rela dengan senang hati mewujudkannya walau sebenarnya orang tua belum memberikan sesuatu kepada anak itu merupakan suatu pembelajaran untuk mereka agar lebih bersabar dalam hidup.
Akhir pekan ini, Hauzan memilih untuk tidak masuk kerja dan mengantarkan papanya melakukan terapi, begitu juga dengan Ainuha dan Saba. Itu artinya si kecil Afdhal juga akan ikut serta bersama mereka.
Ada mama Rien yang juga bersama mereka. Banyak kemajuan yang kini diperoleh dari fisioterapi ini. Mulai dari jemari tangan yang mulai bisa digerakkan meskipun masih kaku. Agus yang sudah bisa duduk sendiri dari tidur dengan berpegangan benda di sebelahnya. Ataupun mengucapkan kata, meski dengan perkata yang mudah dan terputus-putus.
Beberapa kali Hauzan menggoda papanya dengan Saba. Mengatakan kalau keduanya mirip jika sedang bicara. Kalau tidak sering berada di samping mereka akan sangat sulit mengartikan kata yang keluar dari bibir mereka berdua.
"Kung, cala." Tiba-tiba Saba berkata yang membuat semua harus bekerja ekstra keras mengartikan maksud bocah berusia 12 tahun itu.
"Anakmu ini ngomong apa Zan, Mama tidak mengerti." Rien meminta Hauzan mengartikannya.
"Bicara Ma, mungkin dia menyuruh papa untuk bicara dengannya. Ajak ngobrol saja suruh pelan-pelan. Dia ngerti kok apa yang kita bicarakan." Hauzan menjawab dengan tetap mengemudikan mobil yang mereka tumpangi. Saba sendiri berada di kursi paling belakang, sementara Rien yang duduk di kursi penumpang bersama Agus Rahman lebih dekat bersentuhan dengan Saba dibandingkan dengan Hauzan ataupun Ainuha.
"Ajak bicara dong akungnya Saba." Rien berkata kepada cucunya yang asyik dengan mainan yang dibawakan oleh Ainuha dari rumah. Ah biarpun Saba sudah seusia anak kelas 6 SD namun perilakunya masih sama seperti anak-anak TK atau seperti muridnya Ainuha yang duduk di kelas 2 SD.
"Saba sudah mendapatkan periode bulanannya, Nuha?"
"Belum Ma."
"Coba mulai diperkenalkan supaya nanti ketika tiba saatnya kamu tidak kebingungan." Ah, mengingat akan hal itu sepertinya Ainuha harus memberikan pembelajaran yang lebih banyak lagi. Saba yang memang takut akan darah, bahkan ketika tahu poppanya suka menyuntik dan menolong orang yang berdarah-darah Saba selalu menolak ikut poppa ketika sedang bekerja.
"Saba masih takut dengan darah dan spuit?" tanya Rien kembali.
"Masih Ma."
"Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya." Ungkap Rien yang membuat Ainuha sampai harus menoleh ke belakang. Sedangkan Hauzan didapatinya sedang menahan tawa dan bermuka merah.
"Maksud Mama Mas Hauzan juga sama seperti Saba?"
"Hauzan itu kalau sakit mungkin akan menjadi semanja Saba atau bahkan lebih. Biarpun seorang dokter, Mama nggak yakin dia mau disuntik oleh dokter juga. Sedari kecil suamimu itu takut kalau disuntik." Nuha sekarang jadi memperhatikan suaminya dalam-dalam. Sementara Hauzan berpura-pura tidak mendengar ucapan mamanya.
Mengapa setelah sekian tahun bersama Ainuha baru mengetahui kalau internis disampingnya ini takut dengan jarum suntik. Padahal setiap hari pekerjaannya menyuntik orang sakit.
"Mas bener kata Mama?"
"Saba, katanya mau bicara sama akung tuh. Akungnya jadi diam, ajak bicara gih." Bukannya menjawab pertanyaan Ainuha yang memandangnya dengan senyum tertahan, Hauzan justru memanggil putrinya untuk mau bicara dengan kakeknya.
Tawa tak lagi bisa ditahan. Agus sendiri juga ikut menggerakkan bibir dan melengkungkannya ke atas. Mengingat sebagian memori masa kecil Hauzan yang memilih berpura-pura sekolah libur padahal di sekolah sedang diadakan imunisasi masal.
Hauzan semakin terpojok saat semua hal yang coba ditutupi dari istrinya dibuka oleh sang mama. Hingga Ainuhapun ikut-ikutan mengoloknya. Terlanjur basah ya sudah sekalian mandi, Hauzan memulai sikap absurdnya.
"Itu sebabnya Sayang, aku kapok nggak mau disunat lagi. Sudah cukup sekali saja seumur hidup." Apa katanya? Ainuha memutar bola matanya jengah sementara Hauzan tersenyum dan mengerling genit kepadanya sementara Rien tidak bisa menahan tawanya.
"Mana ada begitu, kalau mama nyunatin kamu lagi yang ada Ainuha nangis sepanjang hidupnya. Masa depannya Mama renggut paksa, kasihan amat mantu Mama." Rien kembali tertawa membuat pipi Nuha merona karena ucapan mama mertuanya.
Saba yang tidak mengerti saja jadi ikut tertawa melihat nenek dan semuanya tertawa.
"Saba, itu akung diajak bicara jangan mainan sendiri di belakang." Kan selalu Saba yang menjadi peralihan ketika suasana semakin genting dengan olokan.
"Kung, cala."
"Sa__bah__" kata Agus terbata-bata memanggil nama cucunya.
"Kung, atit? Untik, Kung?"
"Gak, A__kung gak sa__kit." Jawab Agus perlahan. Lalu percakapan keduanya harus terpotong karena Hauzan telah mematikan mesin mobil dan mereka telah sampai di tempat terapi Agus Rahman.
Dengan dibantu oleh Rien dan juga Hauzan, Agus dipindahkan ke kursi roda. Sementara Saba berjalan bersama Ainuha dan juga Afdhal yang ada di gendongannya.
Masih harus banyak berlatih dan bersabar, meskipun sudah banyak sekali kemajuan yang diperoleh selama dua tahun terakhir ini. Beberapa anjuran juga pantangan yang harus dipatuhi oleh Agus Rahman dan keluarga selama proses terapi. Berita yang lebih menyenangkan bahwa setelah ini Agus Rahman bisa melakukan terapi di rumah dengan mendatangkan terapis untuk bicara juga merangsang saraf motoriknya supaya bisa bekerja dengan baik kembali.
"Itu artinya terapi bicara bisa bersama-sama keluarga ya Dok?" tanya Hauzan.
"Bisa dan sangat dianjurkan. Itu akan membentuk atmosfer yang positif bagi kesembuhan Pak Agus. Saba juga boleh ikut berlatih juga nanti bersama terapisnya." Sejak Ainuha melahirkan memang Saba tidak lagi melakukan terapi secara rutin seperti dulu, hanya beberapa kali saat dirasa dibutuhkan sekali.
"Untuk hari ini cukup Dokter?" tanya Hauzan kembali.
"Cukup dan selamat sekali lagi untuk Pak Agus karena progres terapinya jauh lebih besar dari yang telah kita targetkan. Tetap semangat untuk sembuh dan ada beberapa gerakan yang tidak bisa jangan dipaksakan untuk dilakukan jika tanpa pendampingan. Seperti berjalan, meskipun dengan menggunakan walker sudah bisa namun harus dengan pengawasan."
"Siap Dok."
"Dijaga gula darah, tensi darah, kolesterol dan juga berita yang akan disampaikan kepada beliau. Jangan sampai berita mengejutkan justru membuat beliau akan bereaksi lebih buruk daripada semestinya. Baik itu kabar menggembirakan atau kabar yang menyedihkan. Kestabilan emosi harus selalu dijaga dan itu bisa dilakukan dengan kerjasama yang baik antar anggota keluarga dan orang-orang yang berada dalam jangkauan ruang lingkupnya." Setelah menyelesaikan administrasi dan lainnya akhirnya mereka bisa kembali pulang. Namun sepertinya Agus enggan untuk pulang. Hauzan menekan kembali tuas rem dan menghentikan mobilnya.
"Papa ingin sesuatu?"
"Mall__"
"Mall__? maksudnya kita ke mall dulu, belanja atau window shopping?"
"Main Saba, kids_zone." Ternyata benar seorang kakek atau nenek akan melakukan apapun demi kesenangan cucunya. Cinta yang bertambah karena mereka ingin melakukan sesuatu di masa tuanya.
"Ikuti inginnya papa, Zan. Siapa tahu nanti di mall papa tidak perlu walker atau kursi roda." Rien mencoba berkelakar yang membuat suasana menjadi hangat kembali karena banyak tawa. Banyak tertawa, kulit menjadi elastis dan tidak mudah keriput, itu sebabnya mengapa tertawa selalu membuat kita merasa awet muda.
Jangan ditanya bagaimana perasaan Saba sekarang. Bukannya ke kidszone seperti yang diinginkan oleh Agus di mobil tadi. Saba justru memilih bergabung dengan anak-anak di lantai dasar mall itu untuk lebih dekat dengan hobbynya. Apa lagi jika bukan bermain kuas dan cat air, padahal Hauzan tidak mendaftarkan namun karena panitia melihat Saba sebagai anak istimewa dan merengek minta ikut serta maka mereka memperbolehkan ikut namun tidak dimasukkan ke dalam penilaian.
Ah, Saba tidak akan menuntut ketika dia tidak diberitahu ikut lomba maka tidak pernah berharap menjadi pemenang. Yang dilakukan hanya ingin bermain kuas sesuai dengan apa yang ingin dituangkan di kanvas itu.
Bukan Hauzan atau Ainuha yang mendampingi tetapi Agus Rahman yang duduk di kursi di samping Saba menggambar.
"Kung, Caba gambal."
"Ya, Sa__ba gam__bal." Dua orang beda generasi yang memang sama-sama masih sedikit kesulitan untuk berbicara. Kondisi, keadaan dan kesabaran yang akhirnya membuat mereka bisa sedekat ini.
Agus ingin mengganti waktunya yang hilang bersama cucunya dulu. Tidak pernah tahu bagaimana cucu seistimewa Saba bisa membuat lukisan yang dia sendiri mungkin tidak bisa melukis sebagus itu. Bercengkerama penuh cinta, terkadang tertawa bersama. Agus beberapa menginterupsi apa yang dilakukan oleh cucunya yang justru membuat mereka menegang sesaat kemudian kembali lagi tertawa hingga Saba menyelesaikan lukisannya.
Jika tidak melihat sendiri bagaimana proses melukis Saba, panitia lomba tidak akan percaya jika pelukisnya adalah anak istimewa seperti Saba. Namun Hauzan hanya tersenyum dan mengucapkan terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada putrinya untuk diperbolehkan mengambil bagian meskipun tidak untuk dinilai. Rasanya bagi Hauzan dan Ainuha, melihat interaksi Saba dan Agus Rahman seperti tadi sudah lebih dari cukup.
"Putrinya memang pandai melukis ya Pak."
"Iya, namun maaf Mas jadi merepotkan tadi. Terima kasih juga telah membolehkan Saba melukis bersama yang lain."
"Iya sama-sama Pak Hauzan. Sebenarnya sayang loh potensi putri Bapak sangat besar untuk mengikuti event-event seperti ini. Dia sangat berbakat, terlihat bagaimana ketegasan garis yang coba diapresiasikan melalui lukisan. Boleh minta nomer teleponnya Pak. Kalau tidak salah, enam bulan lagi akan ada event internasional untuk anak-anak istimewa seperti Saba. Kalau Indonesia memiliki banyak aset akan lebih baik lagi. Kebetulan saya kenal dengan panitia yang memegang Indonesia."
Agus yang menyimak obrolan Hauzan dengan salah satu penyelenggara lomba lukis itu meminta Hauzan untuk bisa memberikan nomor teleponnya.
"Papa an_tal Sa_bah."
"Papa yang akan atar Saba ikut lomba nanti?" tanya Hauzan memperjelas kemudian Agus Rahman mengangguk pelan. Hauzan tersenyum dan mengangguk lalu memberikan nomer teleponnya.
"Papa sem__buh nan__ti." Hati Ainuha menghangat saat melihat papa mertuanya kini terlihat sangat menyayangi Saba. Mungkin karena Saba juga yang membuat Agus Rahman bersemangat untuk sembuh dari sakitnya, selain dukungan dari keluarga tentunya.
Saba yang hanya mengerti bagaimana mencintai seseorang dengan ketulusannya. Saba yang hanya mengerti bagaimana melukiskan tawa untuk orang-orang yang menyayanginya. Dan Saba yang kini mulai menambahkan lukisannya dengan satu orang di samping utinya ketika dia ingin menggambar anggota keluarganya.
"Ini siapa Saba?" tanya Nuha ketika dia memperhatikan gambaran Saba.
"Kung Gus."
"Lalu ini?" Ainuha menunjuk gambar laki-laku yang berdiri di sampingnya.
"Pop_pa."
"Lalu ini?" bergeser di sebelahnya lagi."
"Kung Di."
"Jadi Saba punya berapa akung?" tanya Ainuha yang dijawab dengan senyum lebar Saba memperlihatkan giginya.
"Dua." Tangannya menunjukkan angka dua dan membuat Hauzan yang memperhatikan interaksi ibu dan anak itu ketika baru sampai di rumah setelah selesai bekerja tersenyum bangga. Hilang sudah semua penat yang dibawanya dari rumah sakit. Berganti dengan rasa hangat yang menjalar di seluruh bagian tubuhnya.
Nyatanya bahagia itu tidak perlu barang-barang mewah. Cukup melihat senyum orang-orang yang kita cintai maka sesungguhnya bahagia itu telah menyapa hati kita.
"Mama ingin mengadakan syukuran minggu depan." Kata Hauzan kepada Nuha setelah dia membersihkan badan.
"Syukuran untuk apa?"
"Pernikahan kita, kebahagiaan Saba dan kembalinya papa ke jalan yang benar."
"Mas yang bener saja pernikahan kita? ini sudah berapa tahun berlalu? Bahkan Afdhal saja sudah bisa berlari."
"Ya nggak ada salahnya, itu maunya mama juga papa. Tadi aku juga sudah bilang seperti itu kepada mereka tapi papa maunya minggu depan harus." Kata Hauzan lagi.
"Memang mengapa harus minggu depan?"
"Coba lihat di kalender ada apa dengan minggu depan." Hauzan memberikan clue kepada Ainuha. Selama ini memang mereka berdua tidak pernah melakukan apapun terkait dengan tanggal yang mungkin akan diistimewakan oleh sebagian besar orang jika berkaitan dengan peristiwa besar yang mereka lalui dalam hidup. Sayangnya Ainuha tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti itu.
"Tanggal 06 Juli. Ada apa dengan tanggal itu?"
"Kamu ingat 14 tahun yang lalu itu hari apa?" tanya Hauzan.
Ainuha memutar matanya, mana dia ingat 14 tahun yang lalu 06 Juli itu hari apa, mungkin Senin, Selasa, Rabu atau yang lainnya. Untuk apa diingat-ingat lagi. "Mana aku ingat, Mas."
"Lupa juga saat aku menggenggam tangan kanan ayah lalu menjawab penyerahan beliau atas namamu?" mata Ainuha membulat, benar yang dikatakan Hauzan. 06 Juli, 14 tahun yang lalu. Hari dimana kehidupan Ainuha berubah, dan Hauzan telah sah menjadi pemilik masa depannya.
"Mas___"
"Nggak terasa ya sudah 14 tahun berlalu dan aku bahagia telah memilikimu untuk melengkapkan hidupku."
Bagi Ainuha, sekarang atau 14 tahun yang lalu. Rasanya masih sama, debar jantungnya masih tetap milik Hauzan Falabia. Kehidupan mereka, tawa serta tangis yang tercipta itulah proses untuk menjadikan mereka berada di posisi seperti sekarang ini.
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
🍒🍒
Selamat berhari jum'ah jangan lupakan AlKahf untuk hari ini.
Blitar, 26 Juni 2020
*Sorry for typo*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top