37 🏈 The Whole a lot of Love

Baca mushafnya dulu baru buka WPnya 👍👍
-- happy reading --

🍒🍒

Satu yang membuat hati semakin bahagia karena nafas sebuah keluarga itu kembali utuh. Hauzan telah menemukan kembali keluarganya yang telah lama hilang. Bukan karena Ainuha kini yang semakin sibuk dengan dua buah hati mereka hingga membuatnya sedikit abai atas kebutuhan suami. Namun karena senyum Agus Rahman ketika keluarga kecil Hauzan berkunjung ke rumah masa kecilnya setiap akhir pekan.

Senyum yang memang diupayakan dengan sekuat tenaga karena kondisi papa Agus yang sudah tidak memungkinkan seperti dulu. Ainuha memahaminya dan tidak butuh waktu yang lama dia juga menunjukkan bagaimana lucunya Afdhal kepada akungnya.

Agus Rahman belum bisa bicara namun tangan kirinya bisa dipakai untuk menulis. terkadang oleh Hauzan diberikan tab untuk mereka saling berkomunikasi.

'Papa minta maaf tidak bisa menimang Afdhal.' Tulisan yang bisa dibaca oleh Hauzan dan Ainuha dari tab yang dipergunakan untuk berkomunikasi.

Dengan senyum yang begitu manis Hauzan tersenyum lalu berkata. "Jika Afdhal bisa bicara, dia tentu juga akan memilih tidak digendong oleh akungnya, karena tahu kalau akung masih sakit dan harus bersemangat untuk sembuh."

Beberapa terapi coba diberikan, mulai dari fisioterapi hingga pijat saraf. Agus semakin bersemangat untuk sembuh demi keluarganya.

Mungkin tidak akan sempurna seperti sedia kala namun bisa mengembalikan fungsi organ yang mati rasa 60% itu adalah harapan yang kemungkinan besar masih bisa direalisasikan.

Tidak jarang setelah bermain dengan cucu-cucunya, Agus Rahman memilih untuk sendiri dan menangis di dalam kamarnya. Jika masih bisa memilih mungkin dia ingin mengulang kembali dan tidak akan bersikap seperti itu kepada putra dan menantunya. Nyatanya semua yang dituduhkannya kepada Ainuha tidak terbukti sama sekali.

Bahkan ketika orang tua Imelda akhirnya menyerah untuk mendekatkan putrinya kepada Hauzan yang waktu itu memilih menjauh bahkan bersedia melepaskan pekerjaan sebagai kebanggaannya. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Imelda ketika hampir semua pintu tertutup untuk putrinya bisa dekat dengan Hauzan.

Bukannya menyesal, Hauzan justru menunjukkan pada semuanya bahwa tanpa izin SIP yang seharusnya menjadi miliknya sebagai dokter, dia bisa survive mencari rezeki dari jalur yang lain. Sampai sekarang bahkan carwash juga barbershop yang dirintisnya sedang berada di puncak. Pelanggannya sangat puas dengan service yang diberikan oleh kepercayaan Hauzan.

Demikian halnya dengan kedai susu yang dikelola oleh Ainuha, bukan hanya sebagai kedai susu segar, tapi kini sepertinya sedikit bergeser dengan tambahan menu minuman kopi dan coklat serta beberapa makanan ringan yang masih cukup untuk kantong anak-anak sekolah. Beberapa acara nobar yang diberikan secara gratis di akhir pekan atau sekedar main bareng para gamers menambah penilaian bahwa Hauzan dan Ainuha sangat serus mengelola bisnisnya.

"Papa masih sering murung, Ma." Hauzan berkata sambil mencomot makanan yang baru saja diangkat dari penggorengan oleh Mama Rien.

"Papa sepertinya memang sangat merasa bersalah kepadamu, terutama kepada Ainuha." Rien menjawab pertanyaan putranya.

"Masih sering mengurung diri di kamar seperti itu? atau perlu kita bawa ke psikolog?" tanya Hauzan lagi. Dia mengkhawatirkan kondisi psikis papanya yang masih saja terlihat sedih walau telah berusaha tertawa saat bermain bersama Saba juga dengan Satria.

Dua anak yang lebih memilih untuk berkeringat daripada harus berdiam diri dengan memegang ponsel di tangan.

"Pelan-pelan Zan, nanti papa malah tersinggung kalau kita ajak ke psikolog. Meskipun niat kita baik tapi karena kondisinya yang seperti itu tidak menutup kemungkinan kan?"

"Benar Ma, sebaiknya memang kita bersabar sediki lagi. Siapa tahu dengan terapi ini beliau bisa bicara lagi." Hauzan menatap mamanya dengan senyum optimis.

"Oh iya, kabar teman kamu yang dokter saraf itu bagaimana? Tidak adakah terapi semacam itu di kota ini." Yang namanya terapi pasca serangan stroke itu memang harus dilakukan dan hampir di setiap kota ada terapis untuk menangani hal semacam ini. Hanya saja mungkin beberapa di kota kecil tidak sebanyak yang ada di kota besar.

"Ada Ma, semua juga sama saja mungkin tapi karena mungkin pasiennya disini lebih banyak daripada terapis yang menangani sehingga kita harus reserve terlebih dulu."

Rehabilitasi membutuhkan tiga jenis terapi diantaranya, terapi memori, terapi gerakan dan juga terapi bicara.

"Mungkin papa akan cepat sembuhnya kalau sama-sama belajar bicara dengan Saba." Hauzan berkelakar tipis. Saba yang hingga kini masih belum begitu jelas berbicara mungkin akan membuat papa Agus tertarik untuk mengajarinya sebagai kakeknya.

"Itu ada landasan teorinya?"

"Teori dari Zan barusan saja, Ma." Lalu keduanya tertawa lebar mengingat ucapan Hauzan yang absurd namun bukan berarti tidak bisa di coba. Agus sudah tidak antipati lagi berdekatan dengan Saba sedangkan Saba merasa senang kakeknya mau menerima uluran tangannya. Anak istimewa itu juga mengerti saat Hauzan menjelaskan kalau akung sedang sakit dan tidak bisa bermain lama.

"Untik?" mata Saba mengerjab lucu. "Kung gak akal, gak untik."

"Iya, akung tidak nakal dan tidak disuntik sama Poppa. Tapi akung harus bobok." Hauzan menjelaskan kepada putrinya saat Agus harus beristirahat kembali. Namun sepertinya mata Agus meminta lain kepada Hauzan hingga putranya itu mengambilkan tab supaya papanya bisa bicara melalui tulisan.

'Saba bobok dengan Akung.' Hauzan menggeleng namun Agus meminta lebih melalui tatapan matanya. Tidak bisa membayangkan jika Saba harus bergerak ke sana kemari, berputar saat tidur, dan Agus hanya bisa diam.

Tapi sekali lagi melihat permohonan papanya membuat Hauzan akhirnya harus mengabulkannya.

"Kak Saba mau bobok dengan Akung?" tanya Hauzan pelan kepada putrinya, berjongkok untuk sedikit mensejajarkan tingginya. Saba sedikit berpikir, mencerna ucapan poppanya lalu beberapa saat kemudian sebelum Hauzan akan mengulang kembali pertanyaannya dia menjawab.

"Au___" berakhirnya keromantisan cucu dan sang kakek itu di kamar Agus Rahman dan Rien. Dan setelahnya Hauzan bisa berbincang dengan leluasa dengan mamanya. Hal yang telah lama tidak dilakukan. Sementara Ainuha dan Renata memilih untuk mengasuh balita mereka.

Sore harinya, semua keluarga telah bersiap untuk makan malam namun Agus masih belum muncul di ruang makan. Saat Rien hendak bangkit, Saba terlebih dulu turun dari kursinya lalu berjalan ke kamar akungnya. Hauzan yang sedang menggendong Afdhal berniat untuk memberikan putranya kepada Ainuha namun istrinya menolak. Dia lebih memilih untuk mengikuti Saba dan ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh putrinya.

"Biar aku yang mengikuti Saba." Ainuha kemudia meninggalkan meja makan dan mengikuti langkah Saba menuju ke kamar mertuanya.

Mendapati Saba sedang menghapus air mata akungnya. Hati Ainuha kembali berdesir, putri cantiknya memang sangat mencintai akung yang sejak dia dilahirkan baru saja bisa menyentuhnya. Melihat kedatangan Ainuha tangis Agus semakin deras mengalir. Rasanya seperti akan menerima balasan yang setimpal atas perbuatannya, namun ternyata Ainuha justru membalasnya dengan kebaikan yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh Agus Rahman. Menantunya memang sungguh luar biasa. Jika orang lain mengatakan bahwa hati manusia yang bisa seluas samudra untuk memberikan maaf maka Agus Rahman telah melihat siapa pemilik hati itu dan beruntung sekali putranya menjatuhkan pilihan sebagai bagian dari hidup wanita yang kini tengah berdiri di hadapannya kini.

"Papa, kita semua telah bersiap untuk makan malam. Nuha dorong kursinya kita ke meja makan bersama?"

Agus menggerakkan bibirnya pelan. Dengan terbata dia berusaha untuk berkali-kali meminta maaf kepada Ainuha.

"Papa tidak perlu menangis, Nuha dan Mas Hauzan sudah memaafkan semuanya. Tidak ada lagi yang harus disesalkan mungkin dengan demikian sejatinya Papa telah mendorong kami untuk selalu belajar sabar." Ainuha mencoba untuk membesarkan hati papa mertuanya.

Agus lalu mengusap air matanya dibantu Saba dan Ainuha kemudian membantu untuk mendorong kursi roda hingga semuanya telah berkumpul di meja makan. Tidak ada ucapan yang lebih selain ajakan Rien untuk segera memulai acara makan malam mereka. Sementara Agus Rahman memperhatikan dengan perasaan haru dan bahagia.

Dua, menjadi empat dan kini lengkap sudah menjadi 10 orang.

Tidak hanya satu frasa rasa tapi untuk bisa duduk di satu meja makan sama dalam waktu yang bersamaan harus melalui banyak cerita yang berbeda, menguras air mata bahkan sampai harus meregangkan urat leher untuk saling beradu argumen.

Nyatanya semua terkalahkan oleh rasa cinta atas keutuhan sebuah keluarga. Senyum dan rona bahagia dengan banyaknya cerita lucu, perkembangan si kecil yang tidak akan terulang lagi.

"Rasanya sudah satu abad tidak merasakan masakan Mama seenak ini." Hauzan mulai berkelakar. Selain masakan masakan mama Rien yang enak lebih enak lagi karena Hauzan makan dari tangan istrinya. Afdhal yang tidak mau di letakkan membuatnya harus siap untuk memangku dan menggendongnya dan itu membuat Hauzan kesulitan untuk makan.

Berbanding lurus dengannya, putri kecilnya juga masih membutuhkan tangaan Ainuha untuk menyuapinya. Ah, senyum Rien dan Agus Rahman semakin lebar melihat keluarga kecil putra mereka terlihat bahagia.

"Ah rasanya mama juga ingin menyuapimu seperti waktu kecil dulu, Zan. Banyak sekali pertanyaan yang mengias bibir mungilmu kala itu dan sekarang walaupun sudah punya anak dua masih juga doyan kalau makan disuapi." Rien mencoba membawa Hauzan kembali ke memori masa kecilnya.

Tawa Hauzan menjadi meledak saat mengingat sesuatu yang menurutnya lucu.

"Nih orang pasti mengingat yang itu, Ma." Renata menjadi cemberut melihat tawa abangnya yang semakin lebar.

Mau tidak mau Rien juga tersenyum saat Renata mengucapkan itu dengan gemas. Kala itu mungkin Rena masih duduk di bangku TK, Hauzan tahu bahwa pagi itu sengaja Rien dan Rena memasak bersama bekal yang akan dibawa Rena ke sekolahnya. Dan tanpa disangka-sangka ketika Rena akan berangkat mendadak bekal yang telah disiapkan itu mendadak menghilang.

Hauzan memang sayang kepada binatang, dan saat ada seekor kucing yang dia lihat kelaparan di depan rumah, menggigil dan sepertinya akan mati. Hauzan mengambilnya, mencuci dan mengeringkan bulunya karena ternyata kucing itu terluka dan tercebur di got depan rumahnya.

Karena tidak memiliki makanan untuk kucing sementara dia harus memberikannya segera maka beef omelette yang harusnya untuk bekal renata tandas di tangan Hauzan untuk makan seekor kucing yang baru dipungutnya. Sedangkan Renata harus puas hari ini kembali merasakan masakan dari sekolah yang menurutnya sudah bosan karena seringnya makan dengan makanan seperti itu.

"Ya maaf Ren, Mama kan bisa membelikan yang lebih enak dari itu dulu."

"Bukan masalah membeli Bang, tapi akutuh sudah bangun pagi-pagi bantuin mama masak eh taunya makanan itu dihabisin sama si mpus kan sebel." Jawaban dari mulut Renata membuat semuanya tertawa dan kecuali dirinya tentu.

Benar-benar hangat yang membuat rindu. Mungkin dulu Renata yang akan berlari mengejar Hauzan karena dua kakak beradik itu mengungkapkan rasa sayangnya dengan cara saling meledek atau membuat salah satu diantaranya kesal. Sekarang ada Saba dan Satria yang sepertinya mengikuti kebiasaan poppa dan uminya jaman dulu. Bedanya Satria tidak pernah meledek atau membuat Saba kesal, dia justru kelihatan bahwa berusaha untuk melindunginya.

"Makanya Kak, jangan mau kalau abang terlalu manja. Orang seperti ini saja dimanjain." Bibir Renata masih mengerucut saat berbicara itu kepada kakak iparnya.

"Alah, itu sudah nggak berlaku, kakakmu sudah cinta mati dengan Abang." jawab Hauzan seraya mengerling manja kepada Ainuha.

"Ih matanya dikondisikan ya." kekeh Ainuha.

Cukup mata memandang bahwa diantara mereka memang masih menjunjung tinggi rasa kekerabatan dan saling mencintai. Selama ini Agus hanya berpikir tentang dirinya. Nyatanya kedua anaknya cukup bahagia dengan jalan yang telah mereka pilih sendiri. Sebagai orang tua sudah selayaknya jika dia pun harus ikut berbahagia melihat kebahagiaan keduanya.

"Papa bahagia?" Agus Rahman mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaan istrinya.

Banyak hal yang ingin dia ungkapkan meski tidak bisa melalui kata-kata. Jika Allah masih memberikan kesempatan untuknya, rasanya dia hanya meminta untuk bisa melihat kebahagiaan keluarganya lebih lama lagi.

🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 23 Juni 2020

*Sorry for typo*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top