34 🏈 Anugerah Kedua

Baca mushafnya dulu baru buka WPnya 👍👍
-- happy reading --

🍒🍒

"Dengan hati dan cinta."

Banyak cara bagaimana kita mengucapkan syukur kepada Allah atas semua yang telah diberikan kepada kita. Tersenyum, lalu membaginya kepada orang lain. Mencintai yang kita miliki bukan memiliki yang kita cintai. Hal yang sulit dilakukan namun suatu keharusan.

Bosan itu adalah teman keseharian yang tentunya akan menyapa siapa saja ketika berada di ruang yang sama, setiap hari melakukan hal yang sama namun tidak mendapatkan hasil seperti yang kita inginkan. Hidup untuk saling mengasihi bukan?

Katakanlah bahwa kita mampu berdiri tapi adakah suatu jaminan bahwa selamanya kita tidak membutuhkan duduk atau berbaring?

Keseimbangan itu ibarat dua sisi mata uang yang tidak mungkin dipisahkan. Atau dua sisi atas banyak hal yang telah Allah ciptakan sebagaimana pelengkap atas kehidupan itu sendiri.

Tidak banyak yang bisa diceritakan oleh Hauzan tentang Saba. Tapi dengan yang sedikit itu bisa jadi akan memberikan manfaat yang jauh lebih besar untuk orang lain.

"Ambil dan pergunakan sebagaimana mestinya."

Awalnya hanya dua hari namun karena kemenangan Saba mereka harus berada di Jakarta selama 5 hari. Tidak menjadi masalah, asal Saba bahagia semua akan ikut serta. Namun yang menjadi masalah bagi Hauzan bukanlah Saba tapi Ainuha. Sejak acara pentas seni dan pengumuman pemenang lomba lukis itu Ainuha tidak dalam keadaan sehat.

Nuha yang jarang sekali menggunakan make up akhirnya bisa tertutupi dengan sapuan make up yang diberikan kepadanya sebelum on air di televisi.

"Saba__" satu presenter televisi menyapa bocah usia 9 tahun itu dengan suara renyah dan mempersilakan masuk untuk on air di televisi. "Saba, siapa orang yang paling Saba cintai?"

Hauzan tersenyum lalu mencoba bertanya kepada putrinya. "Saba, sayang pada siapa?"

Kedua mata Saba mengerjap lalu tersenyum memperlihatkan gigi putihnya. Tanpa diminta kemudian dia bergerak mencium pipi Hauzan juga pipi Ainuha. "Pa, Ma, Satya."

Anak kecil tentu tidak pernah bisa berbohong.

Interaksi Saba dengan presenter televisi yang baru saja dilihatnya cukup unik. Saba suka sekali memperhatikan gaya bicaranya kemudian menirukan sedikit gerakan tanpa suara. Sementara poppa dan mommanya menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan mengenai tumbuh kembang Saba.

"Mas Hauzan ini sebagai dokter bukan?" tanya presenter.

"Benar."

"Bukan hal yang sulit dong tentunya merawat Saba, secara sebagai seorang dokter pasti sudah banyak tahu bagaimana mengatasi anak-anak seperti Saba."

Hauzan tersenyum kemudian menggeleng. "Berat atau tidaknya itu tergantung kepada kita. Kalau kita menyayangi anak dan keluarga kita tentunya tidak akan pernah ada keluhan yang berarti untuk merawat dan melindunginya. Saba ataupun anak yang lain akan tetap sama, hanya saja memang kami diminta untuk sedikit bersabar. Ya karena memang sudah dipersiapkan untuk seperti ini. Belum tentu jika mungkin Saba adalah seorang anak yang normal, kami berdua bisa lebih baik mendidiknya melebihi cara kami mendidik Saba demikian juga orang lain. Jadi Allah telah mengukur kemampuan kita seperti apa hingga memberikan sesuatu yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan." Ainuha menyetujuinya.

"Jadi__?"

"Semua memang harus dengan hati, tidak mengeluh dengan apa yang kita miliki dan lebih banyak mensyukuri. Lelah? Pasti dan sangat manusiawi, tubuh kita butuh istirahat, otak kita juga butuh istirahat namun hati kita tidak perlu beristirahat untuk memberikan jutaan cinta kepada orang-orang yang kita sayangi."

Satu jam berlalu dan acara telah selesai. Hauzan akhirnya bisa mengajak Ainuha dan Saba untuk kembali ke penginapan. Bukan karena waktu yang terlalu lama namun karena Hauzan tahu istrinya sedang tidak enak badan, dua hari ini sudah diberikannya pereda nyeri namun tubuh Ainuha sepertinya masih juga belum ada perubahan. Hingga Ainuha mendadak pingsan di lokasi acara, beruntunglah camera on screen sudah di offkan dan Hauzan bisa dengan cepat meminta bantuan untuk mendatangkan ambulance supaya bisa membawa Ainuha ke rumah sakit segera.

"Ma__" Hauzan tidak mungkin membawa Saba ke rumah sakit namun dia juga tidak mungkin meninggalkannya sendiri.

"Momma sakit sayang. Kita akan ke rumah sakit, Saba harus selalu senyum dan gembira."

"Ma__"

"Iya momma akan bangun nanti. Saba harus senyum dan tidak menangis, ok?"

"Ote." Hauzan berada di sebuah taksi di belakang ambulance yang membawa Ainuha ke rumah sakit.

Merasa menjadi orang bodoh sedunia, seorang suami yang berprofesi sebagai dokter namun mendapati istrinya pingsan di tempat umum. Allah, cobaan apalagi ini. Dia harus meminta bantuan siapa untuk mengurus Saba.

"Sudah sampai, Pak." Hauzan membayar ongkos taksi kemudian keluar. Ya, dia memang sengaja menggunakan jasa taksi karena Saba. Baginya tidak ingin memberikan trauma tersendiri kepada putrinya dengan menaiki mobil khas rumah sakit untuk menjemput atau mengantarkan pasien itu.

IGD, sebelum masuk dia memilih untuk memastikan apakah ada pasien kritis atau mungkin dalam pengawasan khusus?

"Tidak Pak. Bagaimana maksudnya kami tidak mengerti."

"Saya bawa anak dibawah usia pengunjung Pak. Dan istri saya ada di IGD tidak ada yang menunggu."

"Oh begitu. Maaf Pak, kalau berkenan di rumah sakit ini menyediakan day care plus untuk pengunjung yang mungkin memiliki kendala seperti bapak. Bisa saya antarkan."

"Boleh Pak, terima kasih." Untunglah, rumah sakit di kota besar memang banyak yang menyediakan jasa seperti ini.

Setelah diberikan pengertian oleh Hauzan Saba akhirnya bersedia bermain bersama petugas ada di day care tersebut.

"Sebentar ya, Saba mau lukis? Ini ada crayon dan buku gambar." Barang wajib yang harus ada di dalam tas milik Saba adalah dua alat itu. Mungkin jika sudah besar nanti akan mengalahkan yang namanya kotak make up di dalam tasnya.

"Ma__?

"Iya, poppa jemput momma dulu nanti setelah itu kita akan jemput Saba di sini. Oke anak cantik?"

"Ote."

Hauzan meninggalkan Saba dengan berat hati. Tapi dia harus segera mengurus Ainuha di IGD. Benar saja sampai di IGD Ainuha belum disentuh paramedis sama sekali karena memang belum ada yang bertanggung jawab memberikan perintah. Kerja IGD itu memang bukan siapa dahulu yang datang namun siapa dulu yang paling membutuhkan penanganan segera.

Hauzan segera mengisi formulir pasien dan menginformasikannya segera, dia tahu prosedural dan menghormati itu.

"Ada keluhan sebelum pingsan Pak?" saat menunggu dan melamun Hauzan dikejutkan oleh suara perempuan yang tengah berdiri di samping bed yang dipakai istrinya.

"Dari dua hari yang lalu sudah pucat, Dokter. Suhu badan normal, tensi normal, denyut nadi juga normal. Sudah saya beri pereda nyeri tapi hasilnya masih tidak ada perubahan."

"Anda__"

"Maaf saya melakukannya setiap pagi sejak istri saya terlihat pucat."

"Pereda nyeri yang diberikan bukan obat warung kan Pak?" tanya dokter itu memastikan. Sedangkan Hauzan menyebutkan merk obat yang telah diberikan kepada istrinya.

"Bukankah itu harus dengan resep dokter?"

"Maaf kebetulan saya dokter pribadi istri saya, hanya saja karena kami berada di luar kota dan tiba-tiba istri saya pingsan akhirnya saya memutuskan untuk membawa ke rumah sakit terdekat untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan istri saya." Hauzan menjelaskan sedikit dan dokter yang menangani Ainuha segera mengangguk mengerti.

"Kita tunggu hingga ibu siuman, benar sesuai dengan informasi Pak Hauzan bahwa semuanya masih dalam skala normal sehingga kami belum bisa menyimpulkan." Hanya bau untuk merangsang Ainuha segera siuman yang diberikan oleh paramedis yang bertugas di IGD, selebihnya semua menunggu Ainuha siuman.

Bukan Hauzan yang tidak sabar menunggu Ainuha, karena pikirannya benar-benar bercabang. Menyesal mengapa kemarin Hauzan menolak saat mama Rien menawarkan diri untuk ikut serta. Pikir Hauzan hanya tiga hari, namun nyatanya harus molor hingga lima hari dan di hari keempat Ainuha harus pingsan entah karena apa.

Lima belas menit kemudian baru suara lirih Ainuha menyapa gendang telinga Hauzan.

"Mas, aku kenapa? Dimana Saba?"

"Kamu sedang di rumah sakit, tadi setelah acara di TV kamu tiba-tiba pingsan. Saba aku titipkan ke day care yang ada di rumah sakit ini. Kamu kenapa Sayang, ayo cerita kepadaku. Suamimu ini dokter, tapi kalau kamu tidak cerita lalu tiba-tiba pingsan? Ai, aku bukan peramal. Aku hanya seorang dokter. Ayo cerita kamu kenapa? Apa yang kamu rasakan?"

Ainuha menatap suaminya dalam-dalam. Dia sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi dengannya. Hanya merasa lemas selebihnya tidak merasakan apa-apa. "Aku hanya merasa lemas saja, Mas."

"Pusing?" tanya Hauzan.

"Tidak."

"Mual, pengen muntah atau perut melilit?" tanya Hauzan lagi.

"Nggak juga cuma memang sedikit tidak nafsu makan, suka enek kalau melihat makanan."

"Tapi tadi pagi sarapan juga aku lihat."

"Iya, aku paksain Mas. Nggak mau merusak jadwal yang tah Mas Hauzan sepakati dengan stasiun televisi itu. Meski pada akhirnya aku ambruk juga. Kira-kira aku kenapa ya Mas?"

"Ya kita tidak tahu, kita lakukan cek darah saja. Apa ada masalah dengan lambungmu atau yang lainnya." Tiba-tiba perut Ainuha bergolak dan tidak lagi bisa menahannya hingga meminta Hauzan untuk mengambilkan wadah untuk menampungnya. Melihat hanya ada bak instrumen di dekat bed Nuha, akhirnya tangannya terulur untuk mengambil dan memberikan kepada istrinya untuk menampung. Tapi tidak ada sesuatu pun yang keluar.

Hauzan semakin panik namun otaknya lebih cepat berputar untuk menghubungkan analisa pertamanya dengan kondisi Ainuha sekarang.

"Sayang, bulan ini kamu belum haid. Benar seperti itu?" Hauzan adalah suami yang begitu perhatian mengenai periode istrinya. Hanya karena kegiatan Saba yang menyita waktunya dua bulan terakhir ini membuatnya terlupa untuk menanyakan masalah ini kepada istrinya.

Ainuha mengangguk dan mengingat-ingat sesuatu. "Kapan kamu terakhir dapat periode?" mengapa sulit sekali mengingat akan hal itu. Apa itu artinya Ainuha telah lama melewatkan dan tidak menghitungnya. Atau karena lengah tidak diingatkan oleh Hauzan lalu dia sendiri pun abai untuk memperhatikan.

"Mas aku__, mungkin sudah dua bulan." Ainuha terus mengingat tapi hasilnya nol. "Tunggu." Hauzan lalu melangkah meninggalkan Ainuha yang masih berbaring lemah. Beberapa menit kemudian kembali bersama seorang dokter yang tadi memeriksa Ainuha.

"Bu Nuha coba kita tes dulu ya, menurut informasi dari Pak Hauzan__" belum sampai dokter itu selesai berbicara Ainuha sudah beringsut untuk duduk dan bersiap menuju ke rest room dengan alat yang dibawa Hauzan untuknya.

Ini kali kedua bagi Ainuha, merasakan ketegangan saat mengetahui bahwa siklusnya mulai tidak teratur dan ada harap di dalamnya dengan semua doa yang berkumpul menjadi satu.

"Mas__"

"Apa pun hasilnya, kita lebih baik mengetahui dengan cepat." Hauzan berkata seolah dia telah siap menerima semua jawaban yang terlihat di alat tes kehamilan yang dipegang oleh Ainuha sekarang. Padahal sesungguhnya dia sangat berharap bahwa hipotesa yang baru saja diambilnya adalah suatu kebenaran. Ainuha hamil adiknya Saba, karena sudah satu tahun terakhir ini mereka berdua ikut program hamil tapi masih juga belum sukses dan harus lebih banyak bersabar.

Ainuha masuk ke rest room dan keluar setelah beberapa menit dengan tangan gemetar menunjukkan hasilnya kepada perawat dan suaminya. Ada rasa yang entah seperti apa harus diutarakan, hingga bening di sudut kedua mata Hauzan keluar dan menetesi pipi.

"Saya berikan ke dokter dulu ya Pak, kalau memang menginginkan nanti silakan Pak Hauzan meminta surat pengantar untuk bisa langsung periksa ke dokter spesialis, karena saat ini masih ada obgyn yang masih praktek."

"Terima kasih, Nrs."

Hauzan mencium Nuha berulang kali. Mungkin ini adalah moment dimana berada di IGD namun keduanya justru merasakan bahagia.

"Aku bertemu dengan dokter dulu, baru setelahnya kita ke ruang dokter spesialis." Nuha setuju dan kembali ke bednya. Kali ini dia tidak berbaring lagi namun duduk di kursi yang disediakan di dekat sana. Dua garis biru itu masih membayang dalam ingatannya.

Hauzan kembali dan mengajak Ainuha untuk ke dokter spesialis kandungan. "Ingin pakai kursi roda?" Ainuha menggeleng. Dia masih mampu, hamil itu bukanlah orang sakit jadi dia masih sanggup untuk berjalan. "Kalau pingsan lagi aku gendong nanti?" Ainuha mencubit pinggang Hauzan.

Hauzan tersenyum dan Ainuha segera berjalan di sampingnya dengan melingkarkan lengannya ke lengan Hauzan. Menyusur koridor rumah sakit kemudian berbelok menuju ruang praktek obgyn yang ditunjuk di surat pengantar membuat Hauzan dan Ainuha tidak lepas dari senyum terbaiknya hari ini.

Bahagia yang datang berkali lipat dalam hidupnya. Lantas nikmat dari Allah manalagi yang bisa mereka dustakan? Fabiayyi 'alai rabbikuma tukazziban.

"Ini sudah besar sekali, bagaimana bisa tidak sadar telah memiliki janin di rahim?" kata dokter ketika memainkan probe diatas perut Ainuha. Melihat di layar dan tentu saja titik hitam yang ada di layar itu benar-benar membuat Hauzan seolah berada di alam mimpi.

"Terakhir haid kapan? Supaya bisa ditentukan HPLnya." Ainuha kembali mengingat dengan bantuan Hauzan sambil melihat kalender. Menyebutkan beberapa peristiwa penting yang membuat Ainuha mungkin mengingat kapan dia terakhir mendapatkan haid.

"Kalau dilihat ukurannya ini sudah masuk di minggu kedelapan." Hampir dua bulan dan mereka tidak menyadari akan hal itu?

Sepertinya semesta harus bertanya apakah Hauzan itu benar seorang dokter atau hanya memiliki titel sebagai dokter saja.

"Sayang, jangan rusak reputasiku sebagai seorang dokter."

"Mas, aku benar-benar lupa. Jangan manja dih, hanya seperti ini saja kamu sampai manyun seperti itu." Tentu saja Hauzan manyun peristiwa penting seperti ini sampai harus terlewat padahal mereka telah menunggunya sedari setahun kemarin.

"Tapi ini penting."

"Iya aku tahu, hanya saja aku lupa, bagaimana dong. Nggak mungkin kan kita ulang kembali?" tanya Ainuha.

"Ngitungnya ya nggak bisa diulang, tapi prosesnya pasti bisa." Lupa bahwa di depan mereka masih ada ahlinya untuk cukup mendengar perdebatan pengantin baru yang baru 11 tahun berumah tangga.

"Bapak Ibu, tidak masalah untuk prosesnya bisa dilanjut namun tidak di sini, karena ini ruang praktek saya dan pasien yang lain sudah menunggu." Dokter itu tertawa menggoda Ainuha yang kini sudah merona.

"Tetap sesuai dengan aturan, artinya jangan terlalu sering di tengok dulu hingga trimester pertama ini berlalu. Dan mengenai HPL, coba saya prediksi namun tidak bisa mendekati setidaknya untuk minggu dan bulannya saja."

Ainuha mengangguk setuju. Orang lupa itu memang berani mati, apa pun hukumannya kalau sudah lupa mereka pasti akan memilih untuk menghadapinya.

Ini bukan hanya kabar baik untuk mereka, mungkin juga untuk Saba. Hanya saja PR besar menanti mereka di depan, pertama untuk menyampaikannya kepada Saba. Kedua, menunggu dua bulan lagi untuk memastikan apakah nantinya adik Saba juga istimewa ataukah Allah memberikan kuasaNya untuk menitipkan anak yang berbeda dari Saba sebagai anugerah kedua bagi Hauzan dan Ainuha.

🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

🍒🍒

Selamat berhari jum'ah jangan lupakan AlKahf untuk hari ini.

Blitar, 12 Juni 2020

*Sorry for typo*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top