33 🏈 Kemenangan Hati
Baca mushafnya dulu baru buka WPnya 👍👍
-- happy reading --
🍒🍒
Berada dalam garuda besi, mengangkasa dan pengalaman pertama. Banyak pertanyaan tentunya bagi seorang anak-anak. Sayangnya memejamkan mata menjadi suatu pilihan utama. Udara dingin yang menyelimuti menjadi penghantar paling nyaman bagi semua penumpang yang memilih untuk sebuah emigrasi lokal.
Hauzan memilih untuk menjeda rutinitasnya. Bersama Ainuha dan juga Saba yang menjadi staringnya.
Hidup adalah untuk berbahagia, dan bahagia itu bisa jadi bermula dengan membahagiakan orang yang kita cinta. Mungkin bahagia Saba adalah bersama kuas, cat air dan media gambarnya jadi selain tidur wajah bocah kecil itu hanya dipenuhi dengan senyuman.
Satu yang mungkin nanti akan lebih membahagiakan bahwa hasil dari seluruh lukisan peserta lomba ini akan dipamerkan di galery seni yang cukup membuat bibir bedecak penuh kekaguman, Taman Ismail Marzuki.
"Nanti di sana temannya banyak jadi harus semangat gambarnya." Kalimat positif yang selalu diperdengarkan oleh Hauzan kepada putrinya. Dia hanya ingin Saba melihat hidup hanya dari sisi bahagia untuk saat ini. Akan tiba masanya dimana nanti dia dan Ainuha mengajarkan tentang kehidupan dari sisi yang lainnya.
"Ya."
Mereka telah berada di sebuah suttle bus bandara yang akan membawa peserta ke penginapan. Hauzan bertemu dengan beberapa orang tua anak-anak seperti Saba.
Hal yang paling menggembirakan adalah bisa berbagi cerita dan pengalaman. Bagaimana mereka bisa mendidik dan membesarkan anak-anak yang sama dengan penuh kesabaran. Belajar akan banyak hal yang mungkin berbeda case dari satu dan lainnya.
"Karena Saba, kita banyak memperoleh saudara online ya Mas."
"Salah satu berkahnya seperti itu. Dan mereka tidak banyak nyinyir karena sama-sama juga merasakan apa yang kita rasakan." Hauzan berkata dengan kebenaran. Karena sesungguhnya ketika kesakitan itu pernah kita alami akan menjadi hal yang pantang untuk ditanyakan kepada orang lain. Dengan alasan sebagai penjagaan hati dan juga lebih membumi karena segala sesuatu tidak akan bergulir jika sang pemilik hidup tidak berkehendak untuk memberikannya.
"Mereka yang sama seperti kita adalah orang-orang yang jelas memiliki misi yang sama pula. Yaitu bagaimana caranya membuat anak-anak down syndrome tetap bahagia dengan semua keterbatasan yang dimiliki." Sekali lagi Hauzan berbicara kepada Ainuha.
Jika ada hal lain yang lebih baik, mungkin Hauzan akan tetap memilih Saba. Karena sesungguhnya dari Sabalah dia belajar tentang kesabaran, cinta, dan pengorbanan. Meski Ainuha juga telah membuka mata hatinya untuk mengenal ilmu tertinggi dalam hidup tentang keikhlasan, namun rasanya Allah memang telah memberikan rencana yang lebih untuk menguji seberapa besar inginnya merubah menjadi lebih baik.
Ainuha memandangnya dengan tatapan yang selalu Hauzan suka. Teduh dan lembut caranya memandang dengan banyaknya cinta yang ada di dalamnya. Tidak pernah berubah dari kata sah menjadi pagar hubungan mereka berdua hingga sepuluh tahun berlalu.
"Terimakasih telah memilihku untuk membersamai hidupmu dan mengukir kisah kita berdua bersama ayat-ayat cinta yang selalu Allah inginkan." Ainuha mengucapkan dengan kata bergetar. Hingga sekarang pun tidak pernah menyangka bahwa imamnya adalah orang yang dulu begitu memandang rendah pakaian yang dikenakan, jauh dari agama bahkan untuk mendirikan sholat saja masih butuh uluran tangannya.
"Benar, bahwa diantara milyaran manusia di dunia ini, pastinya Allah mempunyai alasan mengapa aku dan kamu dipertemukan. Kita yang tidak seirama waktu itu, aku yang jauh dari kata sempurna tapi kamu menyempurnakan langkahmu, aku yang sangat egois tapi kamu bisa meluluhkannya hanya dengan kata-kata lembutmu. Dan aku yang selalu berpikir dengan logis pada akhirnya harus bisa mempercayai semua yang memang sudah tertulis dalam pedoman hidup kita meski jika dinalar dengan otak manusia tidak akan pernah sampai untuk membuat logika itu menjadi nyata." Hauzan menjawab sambil mencium kepala Saba yang ada di pangkuannya.
"Bukan aku yang menyempurnakanmu, Mas. Tapi kamu bersedia menerima semua kurangku dengan kelebihan yang kamu miliki. Demikian juga dengan Saba. Mungkin jika orang lain mereka tidak akan sesabar kamu menghadapi aku."
"Kita sudah berjanji untuk menjadi partner hidup kan, Sayang. Jadi biarkanlah lebih dan kurang itu menjadi milik kita yang nanti akan ditutup oleh Allah di akhirat." Tutup Hauzan karena mereka telah sampai di penginapan.
Registrasi awal, beristirahat kemudian malam harinya mereka mengikuti gala dinner dan technical meeting terakhir untuk perlombaan keesokan harinya.
Ainuha telah menyiapkan keperluan Saba hari ini. Dari pagi bocah 9 tahun yang masih duduk di sekolah TK itu sudah terbangun. Mengenakan pakaian yang disiapkan oleh mommanya lalu bersiap dengan baik menuju tempat acara setelah sarapan.
Sama seperti perlombaan sebelumnya. Bukan hal yang baru tapi jelas dengan kapasitas peserta yang lebih banyak membuat Saba sedikit mengkerut. Sikap anak-anak yang sangat wajar. Hanya mungkin karena Saba masih belum berpikir tentang arti yang sebenarnya tentang perlombaan, dia hanya bisa tertawa dan tersenyum kala anak-anak sebayanya memegang peralatan yang sama sepertinya. Tidak ada perasaan gentar, bahkan nervous karena takut akan kegagalan. Mungkin bagi Saba ini seperti hari-hari biasanya. Dia hanya berpikir bahwa hari ini ada pelajaran menggambar dari bu Kumud dan dia akan menyelesaikan dengan baik seperti biasanya.
"Saya tidak sangka kalau Saba memiliki tekad sebesar ini Pak Hauzan."
"Dia hanya menyukai menggambar Bu, jadi sepertinya dia juga tidak mengerti banyak tentang sebuah lomba, kemenangan dan kekalahan." Hauzan menjawab ungkapan yang disampaikan oleh guru Saba di sekolah yang juga ikut serta dalam perjalanan mereka.
"Namun alangkah lebih baiknya jika Bapak dan Ibu menyiapkan juga apabila nanti terjadi hal yang tidak kita inginkan. Tapi saya yakin Saba bisa seperti perlombaan sebelumnya. Dari pak Rudi kami menerima laporan kalau progres belajar Saba meningkat melebihi dari ekspektasi yang telah kami tentukan." Padahal menurut Hauzan peningkatan belajar Saba masih sangat merambat tapi ternyata standar kualitas itu berbeda angka dengan para ahli yang mengawasi perkembangan Saba.
"Kami sudah menyiapkan itu Bu Kumud, tapi semoga tidak akan terpakai karena Saba juga pasti akan senang jika nanti panitia yang memberikannya hadiah. Atau kalau misalnya tidak, nanti kami berikan kepada Bu Kumud untuk memberikannya kepada Saba." Hauzan melakukan untuk kepentingan psikis Saba.
"Inshaallah kami selalu siap Pak Hauzan."
Semua peserta telah menerima nomor dada. Dan panitia telah meminta kepada pendamping untuk mengantarkan putra-putri atau anak didik mereka ke tempat dimana seharusnya mereka akan mengikuti lomba.
"Saba sudah siap melukis?" tanya Hauzan ketika dia melangkah untuk menggandeng Saba ke tempatnya.
"Udah."
"Masih ingat bagaimana pesan Poppa?"
"Alu enyum dan embiya," jawab Saba. Hauzan memang selalu menanamkan kata-kata itu kepada putrinya, selalu senyum dan gembira.
Hauzan berlutut sejajar dengan tinggi Saba ketika mereka telah sampai di meja Saba. Sambil menunjuk dimana tempat Ainuha dan bu Kumud berdiri Hauzan berkata, "Poppa, momma, bu Kumud, kami menunggu di sana. Saba di sini melukis, senyum dan gembira sampai dengan melukisnya selesai. Nanti poppa akan kemari lagi setelah lukisan Saba selesai." Saba mengangguk mengerti.
Mendekat kembali ke tempat istrinya berdiri namun Hauzan seolah mengerti perubahan Nuha. Wajahnya yang mendadak pucat mengisyaratkan hal yang berbeda, sebagai seorang dokter dia tahu kapan seseorang berkata tidak ada apa-apa tentang kondisinya sementara anatomi tubuhnya memberikan informasi yang berbeda.
"Sayang, kamu kenapa?"
"Nggak apa-apa, Mas." Telapak tangan Hauzan berpindah ke kening istrinya. Tidak ada perubahan yang signifikan, lalu jemarinya memainkan gawai dan mengambil salah satu jari istrinya untuk ditekankan ke aplikasi yang menunjukkan berapa derajat suhu tubuh istrinya saat ini. Normal, tapi mengapa istrinya kelihatan pucat sekali?
Memeriksa bola mata lalu meminta Ainuha untuk menunjukkan lidahnya.
"Mas, aku nggak sakit."
"Tapi muka kamu pucat sekali. Atau jangan-jangan kamu yang nervous Saba sedang berjuang?"
"Mungkin." Jawaban singkat membuat Hauzan sedikit berpikir tapi berusaha untuk mengabaikannya namun bukan berarti dia abai untuk memberikan perhatian yang lebih. Hauzan mengambil 3 buah kursi plastik yang disediakan oleh panitia untuk tempat duduk mereka.
Menunggu Saba lomba itu tidak seperti halnya menunggu anak-anak yang normal ketika mereka sedang ikut lomba, selaku ada interupsi saat salah satu diantaranya menangis, lalu tidak menyelesaikan pekerjaannya. Itu adalah hal yang biasa, bukan hanya teman-temannya, Saba pun juga sama namun karena Hauzan yang selalu mendukung untuk mengisyaratkan Saba selalu tersenyum dan gembira maka dia kembali lagi ke mejanya dan menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Tiga jam, sama seperti lomba sebelumnya. Saba telah berubah warna. Pakaiannya, mukanya, tangannya selalu berlumuran dengan cat air yang baru saja dipakai untuk menggambar.
Panitia segera mengeringkan hasil lukisan dari para peserta. Dan pengumuman pemenang akan dibacakan nanti malam di Graha Bhakti Budaya bersamaan dengan pentas seni putra putri bangsa dengan keterbatasan seperti mereka.
Ainuha memilih untuk kembali ke hotel bersama Bu Kumud. Sementara Hauzan masih juga mengajak Saba berjalan-jalan, mengenalkan Saba pada angkutan umum yang ada di ibu kota. Merasakan naik MRT, busway dan angkutan umum lainnya hingga bermain di pusat perbelanjaan yang menyediakan tempat bermain anak.
"Mas, aku balik ke penginapan saja."
"Aku antar tapi setelahnya kami akan melihat Jakarta dari jarak dekat."
"Mas, nggak akan salah jalan kan?" tanya Ainuha.
"Hei, dulu aku juga kuliah di kota ini. Bagaimana aku bisa melupakannya?"
"Itu sudah sangat lama, Mas. Keadaan juga pasti telah berbeda dari sejak kamu kuliah dulu, Mas." Ainuha masih juga mengkhawatirkan bagaimana Hauzan mengajak Saba pergi berdua. Namun untuk ikut mereka, Ainuha tidak memiliki kekuatan untuk mengikuti mereka.
"Kamu istirahat saja, aku ingin mengajak Saba jalan-jalan."
Lima belas tahun tidak lagi berada di kota yang sama memang banyak sekali yang telah berubah. Pembangunannya, sistem tata kota serta transportasinya. Saba terlihat gembira dengan mengikuti langkah poppanya menggulung kembali ingatan kala dulu melanjutkan pendidikannya.
"Pa__"
"Saba suka?" mereka lalu menghabiskan waktu di sebuah tempat permainan. Mereplika apa yang Hauzan lakukan, itu yang kini dikerjakan oleh Saba. Hingga waktu berlalu dan meminta mereka untuk segera bersiap karena malam ini akan ada acara.
Ukuran dalam kesuksesan adalah sebuah kemenangan. Bisa jadi slogan seperti itu yang membuat banyak orang memiliki orientasi hidup dimana hasil akhirnya harus diukur dari kata kalah atau menang. Pokoknya, pilihannya hanya kalah atau menang.
Jika sudah seperti ini wajar saja jika semakin ke sini, maka semakin banyak orang sikut-sikutan ataupun senggol-senggolan. Lihat aja yang terjadi di jalanan, di dunia kerja, di lingkungan rumah. Semuanya bersaing dan berkompetisi, bagus jika persaingan tersebut sehat tapi jika tidak? Semuanya hanya ingin keluar dengan sebuah kemenangan karena tidak ada satu orang pun yang ingin memperoleh kekalahan dalam hidup.
Tapi nyatanya hidup bukan hanya perihal kalah atau menang saja. Hidup adalah mencintai dengan hati.
"Kamu masih pucat, Sayang."
"Aku tidak apa-apa, tunggu sebentar aku akan bersiap dan kita segera berangkat." Jelas tidak ingin mengecewakan suaminya, meski Ainuha merasakan tubuhnya dalam kondisi kurang fit namun dia tetap berangkat untuk senyum keluarga kecilnya.
"Aresya Sabiha." Tepuk tangan penonton mengiring riuh rendah. Bahkan Hauzan tak lagi sanggup untuk berdiri saat nama putrinya disebut sebagai pemenang. Ah, live show dari sebuah stasiun televisi membuat camera dan lighting langsung menyorot wajahnya juga istri dan putri mereka.
Mendapatkan ucapan selamat dari dari orang yang duduk di sebelah mereka lalu dengan sekuat hati Hauzan menggendong putrinya, turun dari tempat duduknya menuju ke mimbar kehormatan. Menerima piala sekaligus hadiah dari panitia untuk putri kecilnya.
Ungkapan rasa haru menjadi kalimat pengantar saat dipersilakan oleh pembawa acara untuk mengambil alih microphonenya. Jutaan cinta dan ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah mendukungnya, menguatkan dan selalu mencintai Saba. Memandang Saba sebagai anak-anak yang memang patut untuk dicintai bukan dijauhi atau justru memandang mereka dengan tatapan iba.
"Saba ingin bicara kepada teman-teman Saba di seluruh Indonesia?" kalimat tanya dari pembawa acara membuat Hauzan harus menterjemahkan kepada Saba dalam bahasa yang lebih sederhana.
"Saba ingat pesan Poppa?" lalu Saba mengangguk saat microphone berada di depan bibirnya dia berucap, "alu enyum dan embiya." Saba bertepuk tangan setelahnya dengan tawa yang mengembang.
"Selalu senyum dan gembira." Hauzan mengulang kalimat Saba dengan lebih jelas. "Kemenangan Saba bukan berarti sebuah kesombongan bagi kami, tapi kemenangan Saba adalah kemenangan kita bersama, orang tua yang telah sabar mendidik dan mencintai anak-anak seperti Saba dengan sepenuh hati." Hauzan menutup kalimatnya dan mulai malam itu beberapa program talk show dari berbagai stasiun televisi memintanya untuk bersedia datang dan berbicara sebagai tamu untuk memperkenalkan Saba kepada masyarakat Indonesia.
Saba yang istimewa dan Saba yang selalu dicintai oleh seluruh masyarakat.
Bukan karena sebuah kemenangan jika pada akhirnya Ainuha dan Hauzan menerima tawaran mereka. Tapi lebih pada ingin membagi kisah inspiratif kepada semua orang supaya tidak underestimed dengan anak-anak seperti Saba. Membagi cerita bagaimana cinta bisa mengubah tangisan menjadi tawa. Membagi suara bagaimana mengubah cobaan menjadi mukzizat dari Tuhan.
Saba adalah satu dari sekian kekuatan yang akhirnya disadari ataupun tidak disadari telah dimiliki oleh Hauzan dan Ainuha. Saba adalah kemenangan hati sekaligus hadiah dari Allah yang patut untuk disyukuri.
"Bagaimana caranya mendidik anak istimewa seperti Saba ini bisa menjadi benar-benar istimewa dan juga mengetahui dengan pasti potensi apa yang tersimpan dari dirinya?" awal berdiskusi di talk show sebuah acara di stasiun televisi membuat Hauzan tersenyum dan menjawabnya dengan sangat singkat.
"Dengan cinta dan hati."
Apa pun pekerjaan atau kegiatan ketika kita melakukannya dengan hati dan penuh cinta akan memberikan hasil yang pastinya jauh dari apa yang kita bayangkan sebelumnya.
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Blitar, 10 Juni 2020
*Sorry for typo*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top