32 🏈 Mendulang Sejarah
Baca mushafnya dulu baru buka WPnya 👍👍
-- happy reading --
🍒🍒
Sejarah ditulis bukan dijadikan sebagai kebanggaan. Bisa jadi itu hanyalah sebuah legalitas atau sebatas legitimasi bahwa apa yang selama ini diperjuangkan memang sepatutnya mendapatkan pengakuan.
Bukan, sejarah diukir karena memang patut untuk dikenang, diceritakan bahkan untuk bisa direplika dalam kehidupan selanjutnya sebagai panutan.
Percaya bahwa setiap peristiwa akan memberikan pembelajaran hidup yang penting. Bukan hanya bagi si pelaku namun juga lingkungan di sekitarnya atau bahkan dunia. Kesabaran bukan hanya sebagai pemanis bibir untuk memberikan dukungan namun memang dengan sepenuh hati dilakukan agar bisa memberikan nilai yang lebih bagi diri sendiri dan orang-orang yang begitu dicintai.
Cobaan kebahagiaan sepertinya sedang menyapa keluarga Hauzan saat ini. Betapa tidak, putrinya yang dulu seperti dijauhi oleh sebagian besar masyarakat membawa nama baik. Viralkan, maka berita itu akan begitu cepat menyebar. Dan seperti biasa kemampuan emak-emak berdaster +62 dalam mencari informasi ataupun berita melebihi kecepatan cahaya.
Belum juga sampai di rumah, dering gawai miliki Ainuha seolah membuktikan bahwa juaranya Saba hari ini telah merubah paradigma sebagian besar lingkungan di sekitar tempat tinggalnya.
"Jadi benar Mbak Nuha, Saba jadi juara lukis tingkat propinsi?"
"Iya Bu Rahmi, alhamdulillah." Ainuha mencoba menjawab dengan nada yang sedemikian datarnya. Bu Rahmi itu memang tetangga Nuha namun rasanya dia juga berperan sebagai admin dari salah satu infotainment desa yang suka sekali memberikan informasi yang kadang tidak berguna sama sekali untuk diketahui semua orang.
"Jadi jurinya beneran nggak salah menyebutkan ya Mbak Nuha, takutnya nanti seperti Steve Harvey yang salah menyebutkan nama pemenang di perhelatan miss universe. Kan jadi heboh nantinya." Benarkan akan berujung seperti ini. Hal yang biasa didapati oleh Ainuha dan dia telah menebalkan telinga untuk mulut seperti milik bu Rahmi.
Lebih baik Nuha menutup panggilan telepon lalu bergembira bersama keluarganya. Akung Rahadi pasti telah menunggu kedatangan Saba dan jelas kakek satu cucu itu akan meluapkan rasa bahagianya. Setelah sekian lama ikut berjuang mendidik Saba, menguatkan Hauzan juga Ainuha akhirnya bisa juga memetik sebagian dari buah usahanya.
Hingga mobil yang dikendarai Hauzan berbelok lalu berhenti di halaman rumah, Rahadi telah bersiap menyambut cucu kesayangannya.
"Zan, Mama dan Renata langsung pulang ya?" pamit Rien setelah turun dan menyapa Rahadi.
"Iya Ma, terima kasih untuk semuanya."
"Itu sudah menjadi kewajiban Mama, sekarang kamu harus istirahat. Ajak Saba beristirahat juga, ini sudah terlalu larut untuknya terjaga. Satria saja sudah tidur sejak di perjalanan tadi." Rien memberikan nasihatnya kepada sang putra. Tidak ingin terjadi kesalahan dalam mendidik Saba kembali karena anak istimewa itu telah menunjukkan kelebihan apa yang dia miliki.
Memiliki Saba memang bukanlah karena garis keturunan, karma karena sebuah kesalahan atau bahkan kutukan dari Tuhan. Saba adalah anugerah, titipan yang harus dijaga.
Satu bulan berselang dari kesuksesan Saba membuat orang lain memandang ke arahnya. Melihatnya dengan penuh rasa kagum, bukan bergidik ngeri dan menjauh ataupun mencibir karena keistimewaannya. Namun anak-anak seperti Saba pasti tidak akan mengerti apa maksud semua itu. Yang diketahuinya hanyalah rasa sayang dan senyuman dan itu benar-benar dia dapatkan dari keluarga dan orang-orang yang selalu dekat dengannya.
"Satria pasti bisa mengalahkan Saba. Satria kan lebih sempurna dari Saba." Agus Rahman berusaha mempengaruhi cucu kesayangannya untuk bisa mengalahkan prestasi yang baru saja dicetak oleh Saba.
"Kak Saba, Kek."
"Iya, Kak Saba. Ayo Satria pasti bisa menggambar lebih bagus dari gambar yang dihasilkan dari tangan Kak Saba."
"Tidak bisa, dari dulu aku nggak bisa gambar sebagus gambaran Kak Saba." Satria berusaha mengingat semua hasil belajar menggambarnya nyatanya gelengan kepala adalah jawaban atas ketidakpuasan dari apa yang telah dihasilkannya selama ini.
"Pasti bisa, jangan mau kalah dengan Kak Saba."
"Mengapa harus merasa kalah Kek? Bukankah seharusnya kita bahagia Kak Saba bisa menjadi juara dengan keterbatasannya." Satria selalu bisa menyerap dengan cepat bagaimana Azhar mencoba untuk mengajarkannya tentang sebuah cinta persaudaraan untuk bisa meraih cinta sejati dari Allah.
Tidak menebarkan kejelekan dan selalu baik kepada semua orang supaya Allah semakin mencintai kita. Pelajaran yang mungkin diremehkan oleh banyak orang namun sangat besar pengaruhnya terhadap akhlak setiap anak jika semua itu selalu didengungkan setiap hari sedari mereka kecil. Anak ibarat kertas putih yang bisa kita gambari dengan apa pun sesuai dengan keinginan kita sebagai orang tua, kita tulis dengan tinta biru dia juga akan menjadi biru, tinta hitam mereka juga akan pasrah mengikutinya bahkan jika harus dengan tinta emas, maka yang tertulis pun juga menjadi emas. Pengajaran di golden age adalah kunci dari semua keberhasilan. Penanaman budi pekerti dengan belaian kasih sayang akan selalu diingatnya sepanjang masa. Itu sebabnya mengapa ibu disebut sebagai madrasah pertama bagi seluruh putra-putrinya. Karena dari seorang ibu yang baiklah akan tumbuh anak-anak super istimewa. Namun seorang ibu akan lebih sempurna memerankan perannya dengan dukungan seorang ayah untuk menguatkannya.
Agus mengamati kembali cucunya, usianya masih sangat kecil untuk bisa berbicara seperti itu kepadanya. Puluhan ujaran ketidaksukaan dengan nada penuh intimidasi kebencian seolah menguap jika sudah bersama Satria atas nama Saba. Anak itu benar-benar menyayangi sepupunya.
Satria memilih untuk meninggalkan kakeknya. Dia tidak menyukai sebuah pemaksaan apa pun bentuknya. Kalaupun harus berjuang untuk menjadi pemenang bukan berarti harus dijalur kesamaan dengan orang lain atau bahkan justru dengan menjegalnya. Itu bukanlah sikap seorang ksatria dan tentunya itu bukanlah sifat seorang Satria.
Di rumah, Hauzan kini sedang memperhatikan secarik kertas pemberitahuan bahwa dua bulan lagi Saba akan diikutkan kompetisi lomba lukis tingkat nasional yang akan diadakan di ibu kota. Seperti mendapatkan durian runtuh, nyatanya kegiatan yang selama ini ditekuni oleh Saba telah menampakkan hasilnya. Dukungan seluruh keluarga juga ketelatenan Hauzan dan Ainuha untuk mendidik putri mereka. Sabar itu kini telah berbuah manis.
"Sayang__"
"Jangan dipaksakan Mas, dia masih anak-anak. Aku tidak ingin terkesan seolah kita akan mengekploitasinya." Ainuha menjawab dengan hati-hati. Meski menggambar adalah kegiatan yang menyenangkan untuk Saba namun tetap saja sebagai seorang ibu, Ainuha juga ingin melindungi putrinya.
"Ini bukan mengekploitasi, tapi lebih pada menunjukkan eksistensi. Saba bisa, Saba mampu lalu apa yang kita khawatirkan?" tanya Hauzan.
"Jangan hanya karena obsesi kita hingga melupakan apa yang sesungguhnya Saba butuhkan Mas."
"Tidak, ini bukan obsesi namun memberikan jalan kepada Saba untuk bisa menunjukkan siapa dirinya. Menunjukkan juga kepada orang tua yang sama seperti kita, bahwa mereka tidak perlu malu ataupun berkecil hati jika memiliki permata istimewa seperti milik kita. Kita bisa menularkan rasa bahagia itu, rasa bangga bahkan bisa menjadi motivator mereka untuk bisa membuat semuanya maju." Harapan Hauzan tidak besar, dia hanya ingin menjadi pendorong semangat orang yang sepertinya saat Saba bisa menjadi yang terbaik meski bukan yang sempurna.
"Mas__"
"Percayalah kepadaku, Saba tidak akan merasakan apa pun juga saat dia melakukan itu dengan hati riang dan gembira. Tidak akan ada tekanan dari siapa pun juga. Aku akan pastikan semua itu." Hauzan meyakinkan Ainuha sekali lagi.
Sebenarnya hal yang biasa seorang ibu mengkhawatirkan anaknya, takut akan berakibat buruk untuk putranya terlebih jika semua itu justru akan mengundang orang lain untuk berbuat kejahatan kepada buah hati mereka. Terkadang insting seperti itulah yang membuat langkah seorang anak sedikit terhambat. Namun ayah, selalu menggunakan logika dengan perhitungan matematika yang pas. Ibarat sebuah kendaraan, ayah itu sebagai tuas gas sedangkan ibu berperan sebagai pedal rem yang akan siap kapan saja untuk menghentikan sesuatu kala tanda bahaya mulai berbunyi di dalam otaknya. Keduanya tentu saja sangat berguna untuk menjadikan perjalanan itu aman, nyaman dan sampai pada tujuan tanpa kurang suatu apa pun.
Hauzan kembali memastikan untuk perjuangan Saba dan sekolah tentu saja telah menyiapkan semua kebutuhan Saba selama di tempat acara.
"Hanya untuk Saba, Pak Hauzan."
"Baiklah, tapi tidak ada larangan untuk orang tuanya ikut serta karena tidak mungkin kami meninggalkannya seorang diri bersama panitia di sana."
"Boleh Pak, hanya saja tidak ada akomodasi untuk orang tua."
"Kalau begitu kami sebagai orang tua menyetujuinya. Lakukan bimbingan kepada Saba sebagaimana mestinya untuk persiapan lomba nanti." Hauzan memutuskan untuk Saba dan semua kegiatannya nanti.
Anak-anak dengan down syndrome yang seringkali dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Meski memiliki kekurangan, bukan berarti mereka tidak bisa hidup dengan baik. Semua butuh pengarahan dengan tepat untuk mereka bisa hidup sebagaimana anak normal yang lain.
Sedari awal Hauzan dan Ainuha tidak memiliki ketakutan untuk membawa Saba bertemu orang banyak. Hanya ingin memberikan pengalaman berinteraksi dengan lawan bicaranya. Sehingga saat ini pun Saba sudah mulai terbiasa dengan keberadaan orang lain terutama yang sering bersentuhan dengannya langsung.
Pelukan atau elusan di punggung adalah rasa aman yang dibutuhkan Saba ketika tantrum mulai melanda. Hauzan dan Ainuha akan dengan senang hati melakukan itu untuk putri mereka.
Satu bulan penuh Saba bermain dengan gurunya dan cat cair beraneka rupa. Bukan seperti pembelajaran meski ini sebuah persiapan untuk perlombaan Saba nantinya. Dengan riang gembira Saba menerima arahan dari guru yang serasa menjadi temannya satu bulan ini.
"Ayo Saba pasti bisa."
"Bica__?"
"Iya, tentu bisa. Saba mau lagi?"
"Au." Saba berteriak dengan gembira. Apa pun yang akan dilakukan saat bertemu dengan media gambar wajahnya akan selalu riang seperti sekarang.
Melihat keriangan itu tentu saja Hauzan atau pun Ainuha tidak sanggup untuk merenggutnya. Melukis sudah seperti nafas bagi seorang Saba. Tawanya juga telah mengisyaratkan bahwa dia tidak merasa terbebani.
"Anakmu itu sama kerasnya kalau punya ingin seperti dirimu, Mas." Ainuha memperhatikan apa yang sedang dikerjakan putrinya.
"Jelaslah, tidak mungkin dia seperti tetangga sebelah rumah. Karena Saba adalah anakku bukan anaknya. Itu artinya Saba adalah bentuk miniatur dari diriku." Hauzan terkekeh dengan jumawanya.
"Dan aku tidak memilikinya, padahal yang mengandung anakmu selama 9 bulan." Rasanya sudah sangat lama mereka tidak bercengkerama seperti ini. Bercanda sesuatu yang seharusnya tidak perlu dibahas karena memang sudah jelas keadaannya. Memperebutkan sesuatu yang semestinya tidak perlu lagi diperebutkan karena mereka telah memilikinya secara bersama. Saba salah satu contohnya.
"Dia juga tetap putrimu, Sayang."
"Tapi kegigihannya mirip denganmu, Mas. Bahkan dia sangat menyukai menggambar juga pasti mewarisi keahlianmu. Karena aku tidak bisa menggambar sedari dulu."
"Ya karena dia anakku."
"Tapi kita membuatnya bersama."
Hauzan tersenyum melihat sekilas kecemburuan dari raut muka istrinya lalu berkata, "jelas kita membuatnya bersama, karena tidak mungkin saat aku bermain solo akan jadi seorang Saba. Aku pasti menitipkannya kepadamu terlebih dulu."
"Mas__, ishhh!" berbicara tentang titip menitipkan Ainuha selalu merasa malu meski sudah hampir sepuluh tahun mereka bersama.
"Jadi__mau dititipi lagi nggak?" tanya Hauzan masih dengan senyum yang sama.
"Mas__"
Dan perdebatan absurd mereka jelas akan membawa keduanya mendarat bersama.
"Pa__, Ma__" suara Saba membuat Hauzan menutup ceritanya bersama Ainuha dengan segera.
"Aku temui dulu Saba dan gurunya, kamu mandi saja dulu."
Berbincang bersama guru Saba dengan putri yang kini ada dipangkuannya. Mendengarkan perkembangan serta segala macam arahan yang harus diperankan Hauzan sebagai orang tua.
"Semua sudah sesuai dengan petunjuk Pak. Saba akan semakin mudah dikendalikan ketika kita rangsang dengan sesuatu yang membuatnya menjadi tenang dan nyaman."
"Apakah dia juga sudah mulai mengerti tentang suatu perintah yang sampai sekarang kadang saya sendiri tidak bisa melakukannya saat dia bersama alat-alat gambarnya?" tanya Hauzan.
"Sedikit demi sedikit, untuk itu kami mohon kerjasamanya sebagai orang tua, Pak Hauzan bisa memberikan perintah kepada Saba mengenai perlombaan ini sesuai dengan juklak dan juga ketentuan di technical meeting yang telah kita ikuti bersama."
Hanya butuh sedikit sentuhan akhir untuk membuat hasil yang dilakukan Saba akan berbuah sebagaimana yang diharapkan.
"Kami pasti akan melakukannya. Terima kasih telah melakukan yang terbaik untuk putri kami Pak Rudi."
Hauzan memperhatikan dengan detail bagaimana perkembangan lukisan Saba dari awal hingga hari ini serta laporan pendampingan dari pak Rudi. Sangat lambat namun bukan berarti tidak ada penambahan. Kini tugasnya untuk mengambil peran penting itu. Menyelesaikan semua usaha orang-orang yang menginginkan Saba mampu dan bisa.
"Saba sudah tahu akan ikut lomba lagi?" tanya Hauzan kepada putrinya di suatu malam setelah mereka makan malam bersama.
"Omba__?"
"Iya lomba seperti kemarin, menggambar, banyak teman dan dapat hadiah."
"Diah? Aba au," jawab Saba dengan gembira.
"Kalau Saba mau berarti besok Saba harus menggambar tidak hanya dengan menggunakan tangan tapi harus selalu tersenyum."
"Iya." Saba lalu menunjukkan deretan giginya kepada Hauzan.
"Nah itu baru anak poppa. Sekarang tunjuk mana gambaran Saba yang paling disukai?" Hauzan memperlihatkan beberapa gambar yang telah digambar oleh putrinya. Saba menunjuk salah satu diantaranya.
"Ini." Seperti itulah hati Saba yang sesungguhnya. Gambar alam lengkap dengan suasana pedesaan yang begitu memikat mata.
Keseharian dan lingkungan, Saba merekamnya melalui ingatan yang diterjemahkan melalui gambaran. Dan Hauzan tahu apa yang harus dilakukannya untuk menyempurnakan pengajaran seperti yang disarankan oleh guru menggambar Saba.
Karena bagi Hauzan kemenangan yang sesungguhnya bagi mereka bukan karena Saba pulang dengan membawa piala namun lebih pada sebuah penerimaan masyarakat atas keberadaannya yang tidak perlu dibedakan dari yang lain.
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Blitar, 08 Juni 2020
*Sorry for typo*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top