24 🏈 Setajam Silet

Baca mushafnya dulu baru buka WPnya 👍👍
-- happy fasting, happy reading --

🍒🍒

Lamaran, satu prosesi melangkah menuju pernikahan. Siapa yang telah berhasil menawan hati dari putri seorang Agus Rahman?

Hauzan masih berada di belakang. Tidak ingin menganggu jalannya acara milik sang adik tapi dalam hatinya sungguh dia masih bertanya. Mengapa Renata bahkan tidak pernah memberikan kabar kepada dirinya. Adakah yang terpaksa dia jalani untuk kehidupannya nanti?

Hampir satu jam Hauzan hanya bisa melempar pertanyaan kepada Ainuha sementara yang ditanya hanya bisa diam karena memang tidak juga menerima kabar dari adik iparnya.

Hingga acara selesai dan semua beralih ke ruang keluarga. Ada binar bahagia yang terlihat dari wajahnya.

"Uluhhhhh calon manten, siapa sih yang berhasil meluluhkan hati adiknya Abang?" kata Hauzan memilih duduk di dekat Renata.

"Abang issshhhh__" kata Renata malu-malu kucing.

"Siapa namanya? Kenal dimana?" tanya Hauzan.

Renata hanya tersenyum tanpa ada satupun kata yang keluar dari bibirnya.

"Pemilik travel umroh dan haji, Bang. Beberapa bulan yang lalu waktu Rena bermaksud mendaftarkan diri untuk ikut umroh mereka saling berkenalan." Jawab mama Rien mewakili.

"Wah mau umroh Rena? mashaallah." Tanya Ainuha.

"Iya Kak, inshaallah. Rena pengen ke baitullah segera." Jawab Renata. Mama Rien kemudian membuka kembali percakapan tentang kabar gembira yang tadi sempat didengarnya.

"Papa kemarilah, kita dapat kabar bahagia juga dari Hauzan dan Nuha." Mama Rien memanggil suaminya yang masih bergeming di tempatnya. Perlahan Agus pun ikut duduk bersama dengan mereka.

Suasana memang sedikit berbeda ketika Agus berada di antaranya. Tapi Hauzan tidak kehilangan akal untuk mengembalikan lagi supaya tidak menjadi kaku.

"Ren, tapi papa setuju nggak? nanti jangan-jangan seperti Abang. Nggak enak tahu tiba-tiba musuhan sama papa sendiri, ya nggak Pa?" Hauzan sengaja meminta pendapat papanya.

Sedangkan Papa Agus hanya tersenyum kecut mendengar pertanyaan Hauzan.

"Gimana Pa, Papa setuju nggak kalau Rena sama mas Azhar?" tanya mama Rien.

"Apa papa masih bisa melarang?" tanya papa Agus.

"Lalu apa yang Papa inginkan lagi?" tanya Hauzan.

Papa Agus hanya diam. Melawan Hauzan itu seperti dia berkaca kepada dirinya sendiri. Anaknya itu mewarisi seluruh sifat yang dia miliki termasuk keras kepala dan sikap mau menang sendiri. Sayangnya setelah bertemu Ainuha, Hauzan sedikit melemahkan egoisnya. Dia masih sering menggunakan akalnya untuk mulai berpikir bagaimana yang seharusnya dilakukan supaya tidak banyak orang yang tersakiti.

"Papa menginginkan seorang cucu sebagai penerus perusahaan Papa?" Hauzan menatap tajam ke arah papanya namun masih dengan sikap yang sopan. "Papa, Mama, dan Renata, kedatangan kami kemari adalah untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Zan akan dipanggil papa oleh cucu dan keponakan kalian."

Hauzan memperlihatkan perut Ainuha yang membuncit. Menyerahkan beberapa foto USG yang sengaja disimpannya untuk diberitahukan kepada papa Agus.

"Jadi mulai sekarang Zan harap, Papa jangan terlalu under estimed terhadap hal-hal yang kita sendiri sebagai manusia tidak berhak untuk menentukannya. Buktinya ketika kami meminta, Allah mendengar dan mengabulkan. Papa tidak akan bisa melawan ketentuan yang telah tertulis untuk kami." Kata Hauzan.

Agus Rahman sebenarnya terkejut mendengar Hauzan mengatakan bahwa sebentar lagi dia akan dipanggil Papa. Bukankah hasil lab menyatakan kalau Hauzan sedang menderita suatu penyakit dan sekarang masih dalam proses terapi, tapi mengapa justru Ainuha hamil. Atau jangan-jangan_____.

"Tidak mungkin, hasil lab itu menyatakan bahwa kamu sedang bermasalah dan harus terapi. Mengapa Nuha justru hamil sekarang?" sanggah Agus Rahman.

"Hasil lab memang benar Pa. Tapi kalau Allah berkehendak lain kita bisa apa?" jawab Hauzan.

"Itu pasti bukan anakmu." Kata papa Agus kemudian berdiri hendak meninggalkan mereka. "Siapa ayah dari bayi itu, papa tidak yakin kalau itu benihmu."

"Astaghfirullah." Jawab semuanya kompak.

"Papa bicara apa? tolong bisa dijaga mulutnya!!" Hauzan mulai terbawa emosi. Ini yang dia takutkan kemarin jika mengajak Nuha datang kemari pada saat trimester pertama.

"Karena tidak mungkin kamu memberikan benihmu, dengan hasil lab seperti beberapa bulan lalu. Istrimu pasti telah berzina." Sanggahnya namun Hauzan segera menjawab.

"Astagfirullah Papa!! jaga bicara Papa. Nuha tidak pernah melakukan hal sekeji itu kepada Hauzan." Nuha sudah tidak lagi bisa berbicara apapun. Tuduhan Papa mertuanya terlalu tajam menghujam ulu hatinya. Air matanyalah yang kini menjadi saksi ketegaran hati itu.

"Papa tidak pernah percaya bahwa Allah itu ada? Picik sekali berkata seperti itu." Sambung Renata yang juga tidak pernah menyetujui Papanya bisa berkata seperti itu.

"Papa, sebaiknya Papa memang benar-bebar dikarantina supaya bisa berpikir positif. Kalau perlu lockdown di pesantren saja supaya otaknya waras." Kini mama Rien yang ambil posisi untuk bicara.

Mengetahui semuanya menyalahkan papa mertua akhirnya Ainuha berkata meski dengan suara bergetar dan deraian air matanya.

"Nuha berani bersumpah atas nama Allah, Pa. Nuha tidak pernah melakukannya dengan lelaki manapun kecuali dengan mas Hauzan." Jawab Nuha.

"Semua orang juga bisa hanya tinggal mengatakan sumpah dan urusan selesai."

Allahu, bukankah sumpah itu langsung berhubungan dengan Allah? mengapa Agus Rahman sebegitu yakinnya, apakah memang dia telah atheis dan menganggap bahwa Allah itu tidak ada. Lalu siapa yang memberinya hidup sampai sekarang? kesehatan, rezeki yang layak, bahkan pengecap yang dipakainya untuk bicara hal menusuk bukan hanya hati tapi juga indra perungu setiap orang yang mendengarnya.

Tajamnya lidah yang mengalahkan tajamnya pisau, rasanya sangat pas untuk perumpamaan ini.

Sakit yang berdarah itu lebih mudah untuk disembuhkan daripada luka hati yang akan selalu diingat oleh orang yang merasa tersakiti. Hauzan tahu betul itu, dan seolah tanpa merasa bersalah Papanya meninggalkan tempat mereka bercengkerama. Pendidikan seseorang tidak akan menjamin akhlak orang tersebut bisa menjadi lebih baik.

Renata dan Mama Rien berusaha untuk membesarkan hati Ainuha. Meminta maaf atas semua yang dilakukan oleh Agus Rahman dan mengerti ini sangat menyulitkan Hauzan juga Ainuha namun biar bagaimanapun bagi semuanya Agus adalah kepala rumah tangga yang harusnya memberikan pengayoman bukan justru memberikan ketakutan kepada orang-orang yang harusnya dia ayomi.

"Kami pulang saja Ma, berada di sini menambah emosi jiwa saja. Sampaikan kepada suami Mama kalau Zan tidak akan ke sini lagi. Kalau Mama kangen kami, Mama tinggal telpon nanti kita bertemu di luar saja. Tidak di rumah ini." Hauzan memilih untuk membawa istrinya keluar dari rumah orang tuanya.

Mama Rien hanya bisa pasrah dan mengangguk. Mengerti bahwa itu adalah kesakitan yang teramat dalam. Fitnah yang lebih kejam daripada pembunuhan.

Dalam perjalanan pulang tidak banyak yang dibicarakan oleh Hauzan dan Ainuha. Hauzan memilih untuk menenangkan hatinya sementara Ainuha mencoba untuk berpositif thinking atas tuduhan papa mertuanya.

Harusnya tidak ada manusia di muka bumi ini yang berusaha untuk berbuat kejelekan jika mereka semua memahami apa yang nanti akan Allah berikan untuk balasan atas perbuatan mereka.

Hauzan memarkir mobilnya di garasi dan segera masuk ke rumah untuk beristirahat. Hari sudah hampir menjelang tengah malam dan mereka masih terjaga. Meminta Ainuha untuk mendekatinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan hingga mata mereka terpejam.

Hauzan benar-benar bungkam. Tidak ingin mengatakan apapun juga kepada Ainuha. Tidur adalah pilihan yang terbaik untuk bicara keesokan harinya.

"Sayang, ayo bangun sholat subuh dulu." Kata Hauzan membangunkan Ainuha. Dia sendiri telah berganti pakaian untuk berangkat menuju ke masjid.

"Mas___sudah adzan?"

"Belum, sebentar lagi."

Nuha bangun, bersiap kemudian mengikuti Hauzan dan ayahnya ke masjid.

Tidak ada yang berubah, dari awal menikah hingga sampai mereka akan memiliki anak. Hauzan masih rajin ke masjid bersama ayah dan istrinya.

"Maafkan sikap Papa semalam ya Sayang. Sebaiknya memang untuk sementara kita tidak bertemu dengan beliau." Kata Hauzan kepada Ainuha setelah mereka menunaikan sholat subuh.

"Mas tidak terpengaruh kan dengan omongan Papa? demi Allah aku tidak pernah berbuat seperti itu." Kata Nuha dengan takut.

"Astaghfirullah Sayang, tidak mungkin aku berpikir sepicik itu. Kalau itu perlu setelah baby keluar kita lakukan tes DNA untuk membungkam mulut Papa." Kata Hauzan yang mulai kembali naik emosinya.

"Mas__nggak akan ninggalin aku dan anak kita kan?"

"Eits kamu ini ngomong apa? Tahu nggak, mengapa Allah menciptakan pelangi?"

"Untuk membuat indah dunia."

"Betul, Allah menciptakan pelangi itu untuk memperindah dunia. Sedangkan Allah menciptakan kamu itu jelas untuk membuat duniaku indah." Hauzan kemudian mencium Ainuha yang sudah merona mendengar rayuan recehnya.

Tidak ingin istrinya berpikir yang berat-berat akhirnya Hauzan mengajaknya untuk ikut ke farm. Kebetulan akhir pekan seperti ini Nuha tidak memiliki untuk mengajar di sekolah.

"Ikut yuk, ke peternakan daripada sendirian di rumah nanti malah mikir kemana-mana." Ajak Hauzan yang disetujui oleh Nuha. Sekali-sekali ikut ke farm bermain dengan sapi-sapi perah milik ayah mereka.

Menjaga emosi ibu hamil adalah satu yang selalu diusahakan oleh Hauzan. Tidak ingin terjadi sesuatu apapun terhadap Ainuha dan calon anak mereka karena emosi yang tidak stabil.

Seperti halnya menjabat tangannya untuk yang pertama dengan seorang berparas teduh, memberi kenangan terindah dalam hidup. Wanita yang tidak sekalipun pernah terlintas dalam benaknya namun pada akhirnya Hauzan menyerahkan seluruh hidupnya menjadi pelindung dari wanita yang telah menyelamatkan akhiratnya.

Mungkin ini namanya skenario dari Sang Pencipta. 'Diciptakan untukmu pasangan dari jenismu, telah tertulis sebuah nama yang akan bersanding denganmu, jodoh, rezeki, mati hanya Allah yang tahu'.

Senyuman yang selalu nampak dari wajah teduh itu, terlukis jelas bahwa inilah jawaban Allah untuk menyandingkan Hauzan dengan seorang yang jadi penyempurna separuh dien.

Ya, senyum penuh keikhlasan yang tampak dari mata teduh itu, telah memberikan kekuatan untuk bangkit, selangkah demi selangkah untuk menuju kearahnya.

Menatap wajah teduhnya dari kejauhan, bahkan rasa cinta itu pun belum menyapa namun sudah cukup bagi Hauzan untuk mengerti. Bahkan Ainuha telah menerimanya dengan tangan terbuka, semua kekurangannya dan telah ditutupnya dengan begitu sempurna. Tak akan pernah tahu jika senyum indah itu dulu mungkin tak pernah tertuju untuk Hauzan. Siapakah dirinya?

Orang yang datang serta merta mengejek penampilannya bahkan sampai harus menabuh genderang perang untuk memulai sebuah perseteruan. Tapi yang dilakukan Ainuha, dia tetap lemah lembut menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan. Jika sekarang akhirnya Hauzan memilih untuk menjadi tameng hidup dan pelindungnya rasanya itu bukanlah hal yang salah. Toh label halal juga telah mereka kantongi.

Bahkan bukan lagi sebagai pengagum rahasia, yang hanya bisa menatapnya dari jauh, aku hanya pengagum lewat do'a yang berani menyebut namamu dengan terang dalam do'a. Hauzan kini telah menjadi pemilik hati seorang Ainuha Soraiya. Pengagum yang selalu ada dalam setiap suka, duka bahkan setiap tarikan nafas belahan jiwanya.

Tidak akan ada dalam kamus Hauzan tentang sebuah kisah cinta dalam diam. Cintanya kepada Ainuha pasti akan selalu diutarakan. Sebagai bumbu, sebagai sarana untuk membangun sebuah komunikasi yang positif. Terlebih kini di dalam rahim Nuha telah tumbuh benihnya. Tidak perlu dibuat rumit, ada kata ada sebuah persamaan matematika, Hauzan cukup dengan memangkasnya dengan memakai kalimat paling sederhana untuk bisa mengungkapkan perasaannya. Meskipun kata orang dunia terlalu rumit ketika kita berbicara tentang cinta.

Cukup dengan memejamkan mata, menghirup wangi bau tubuhnya dan membawanya serta ke angkasa. Senyum Ainuha berhasil mengalihkan dunia Hauzan menjadi lebih berwarna seperti halnya pelangi yang selalu membuat indah dunia. senyum Ainuha adalah dunia kecil Hauzan, dan senyum Ainuha adalah puzzle of his life, smile that always makes him fall in love.

Mereka kini telah sampai di farm milik ayah Ainuha. Jika boleh jujur, sangat jarang Ainuha berkunjung ke tempat ini jika tidak karena terpaksa. Karena dia tidak terlalu suka dengan baunya. Padahal ada beberapa orang pekerja yang selalu membersihkan kandang dan mensterilkan supaya susu yang dihasilkan oleh sapi-sapi perah itu tetap berkualitas.

"Kenapa?" tanya Hauzan sambil tersenyum saat melihat Nuha ragu untuk melangkah. "Pakai penutup hidung kalau mual. Atau mau pulang lagi?"

Nuha justru tersenyum geli melihat sikap khawatir Hauzan yang berlebihan. Ah, andai Nuha tahu betapa bahagianya hati Hauzan saat ini melihat senyum yang menghias bibir istrinya lagi. Hauzan janji jika hal yang konyol bisa menghilangkan trauma atas sikap Papanya kepada Ainuha, Hauzan rela melakukan apapun juga.

"Nah begitu tertawa biar babynya juga seneng." Kata Hauzan kemudian mengusap kepala istrinya yang tertutup jilbab.

"Sepertinya adik lebih suka kalau poppa menjenguknya." Kekeh Ainuha lirih di dekat telinga Hauzan yang membuat mata suaminya melebar seketika.

Bagaimana mungkin istrinya mengatakan semua itu kepadanya di sini. Mengapa tidak sebelum mereka berangkat tadi di rumah, setidaknya masih memungkinkan untuk menjenguk baby satu ronde. Padahal pagi ini Hauzan harus mengecek hasil perahan susu dari sapi-sapi mereka yang baru diperah untuk pertama kalinya.

"Kita pulang sekarang."

"Katanya ingin mengecek kekentalan susu? nggak jadi Mas?" tanya Ainuha sambil mengerutkan keningnya.

"Iya harus tapi bukan susu sapi yang penting untuk di cek lebih dulu." Harusnya tanpa Hauzan jelaskan pun Nuha sudah bisa mengartikannya namun, "Apa?"

"Susu cap nona."

🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

🍒🍒

Selamat berhari jum'ah jangan lupakan AlKahf untuk hari ini.

Blitar, 01 Mei 2020

*Sorry for typo*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top