17 🏈 Ikhtiar, Start Here
🍒🍒
ok, ah ini mah sebenarnya bukan untuk keperluan apapun ya. Mohon dimaklumi karena saya memang harus menyampaikan sebagai program edukasi dan alhamdulillah bisa menjadi volunteer untuk itu.
Suka silakan di tonton, jika tidak suka ya diabaikan saja 😂😂😂
https://youtu.be/mwiF7CTyR18
🍒🍒
BUKAN sebuah rahasia bahwa air mata dan wanita selalu bersahabat. Seberat apa pun masalah wanita jika dia tidak ingin mengatakannya kepada siapapun maka cukup air mata di atas sajadah yang menghiasi wajah malam-malam mereka.
Hauzan mencoba menyelami, bukan salah Ainuha dengan semua keadaannya saat ini. Dan biarlah mereka berjuang bersama untuk bisa selalu berjalan seiring. Kalimat yang terlontar dari bibir papa Hauzan memang sangat melukai hati Ainuha. Sebagai seorang menantu, siapa pun pasti tidak ingin berada di posisinya.
Bukan meminta untuk mengalah namun kali ini Hauzan dan Ainuha benar-benar mengalah. Tidak bisa hari ini bukan berarti menutup akses untuk melakukannya lagi. Nuha menyadari semua itu namun tetap, hatinya hanyalah hati seorang wanita. Sama takarannya namun lebih sensitif dengan hal-hal yang sedikit harus bisa menekankan semua rasa untuk mengabaikan apa yang orang lain katakan. Air mata, sebagai kekuatan terakhir seorang wanita untuk tetap bisa berjalan menapaki garis hidup yang telah ditetapkan Allah untuknya.
"Kita pulang hari ini ya?" Nuha hanya memandang sekitas kemudian berjalan mendekat ke jendela yang ada di kamar Hauzan.
"Kamar kamu nyaman ya Mas." Jawab Nuha yang jauh sekali dari pertanyaan Hauzan sebelumnya.
"Dan kini telah menjadi kamarmu juga. Masih ingin berada di sini?" Nuha bergeming tidak juga bersuara, hening.
Tidak ingin melihat luka lagi di mata istrinya Hauzan segera mendekat kemudian memeluk Nuha. Membiarkan dadanya menjadi tempat lelehan air mata sebagai bahasa hati yang tidak ingin disuarakan oleh istrinya. Cukup, Hauzan cukup tahu apa artinya itu dan cukup baginya memberikan tempat ternyaman pada istrinya saat ini.
Beberapa menit kemudian saat isakan itu tidak lagi terdengar di telinganya barulah Hauzan menatap netra istrinya yang masih juga enggan untuk menatapnya balik. Tangan kirinya meraih dagu sementara tangan kanannya mengusap lelehan air mata yang tersisa di pipi Ainuha.
"Istri yang sholeha itu harus menurut apa kata suami. Benar begitu, Sayang?" tanya Hauzan yang langsung mendapat persetujuan Ainuha. "Kita pulang hari ini, kasihan ayah di rumah sendiri."
"Bukannya kita sepakat untuk menginap di sini, Mas. Apa kata mama kalau sampai kita pulang sekarang. Tidak adil untuk mama, Mas." Jawab Nuha.
"Ini bukan sebuah penawaran tapi perintah dari suami yang harus dituruti oleh seorang istri." Nuha tidak menjawab namun dengan pergerakan bahasa tubuhnya yang langsung memeluk Hauzan semua juga tahu bahwa Nuha sangat berterimakasih kepada Hauzan atas keputusan ini.
Bagaimana mungkin seseorang yang berkata sangat mencintai tidak memahami hati kita saat sedang terluka. Nyatanya Hauzan memiliki rasa yang jauh lebih sensitif dari apa yang dirasakan Ainuha. Tidak ingin melibatkan Nuha diantara kesalahpahaman antara dirinya dan sang papa. Biarlah Hauzan yang mencoba untuk bicara dengan papanya ketika dia berkunjung ke rumahnya sendiri. Supaya Nuha tidak mendengar apa pun kalimat menyakitkan yang diucapkan oleh papanya.
Selesai mengemas pakaian mereka, sore itu pun Hauzan meminta izin untuk kembali ke desa.
"Ma,__" Rien segera memeluk sang putra dan menantunya.
"Mama tahu, kembalilah. Mama akan mencoba untuk memberikan pengertian kepada papa kalian. Maafkan papa ya, jangan pernah berkecil hati. Allah maha kaya, berdoa dan selalu berusaha." Nuha hanya mengangguk kemudian mencium tangan mama mertuanya. "Papa dimana Ma. Nuha ingin pamit dulu."
"Kamu yakin sayang ingin bertemu dengan papa?" tanya Hauzan.
"Beliau tidak akan berani membunuhku. Ayo kita pamit dulu kepada papa, Mas." Dan seperti itulah Nuha dengan kebesaran hatinya.
Bersama Hauzan yang berjalan di depannya, mereka menemui orang yang telah bertanggung jawab membesarkan Hauzan dengan segenap cinta dan kasih sayangnya.
"Papa," awalnya suara Hauzan yang terdengar. "Papa, kami mohon izin pamit pulang ke rumah Ayah." Suara Ainuha terdengar lembut namun tidak mendapat sambutan apapun dari bibir Agus Rahman. Hauzan kembali mengeratkan genggaman tangannya untuk Ainuha. Saat Nuha melangkah mendahului Hauzan untuk meraih tangan kanan papa mertuanya hanya satu tujuannya adalah untuk melaksanakan tugas baktinya sebagai seorang anak.
Mata elang Agus Rahman menelisik tajam ke arah Ainuha. Nuha memang bukan seorang gadis cuwawakan yang bisa mengekspresikan diri dengan lebih agresif. Dari kecil Ainuha terdidik untuk menjadi gadis pendiam namun bukan berarti dia introvert dengan keadaannya. Agus Rahman mengakui itu, ada sorot ketulusan dari matanya meski dia tahu bahwa menantunya merasa takut untuk berdekatan dengannya. Tapi dengan besar hati menemuinya untuk memohon diri.
Tangan Agus Rahman terulur meski tidak terucap sepatah kata pun.
Nuha mencium tangan papa mertuanya untuk pertama kali. Entah apa yang dia rasakan hingga membuat air matanya kembali mengalir. Bukan, bukan karena kesedihan namun lebih atas rasa haru akhirnya Nuha bisa mencium tangan laki-laki yang telah membesarkan suaminya. Ingin mengucapkan beribu rasa terimakasih karena adanya hingga membuatnya bisa menemukan belahan jiwa yang mencintai dan berusaha untuk membahagiakannya.
"Papa, terima kasih telah membesarkan mas Zan dengan sangat baik. Hingga Allah mempertemukan dan menyatukan kami dengan kisah yang sangat indah." Ucap Ainuha yang tak pernah disangka sebelumnya oleh Hauzan. Wanita ini benar-benar membuatnya semakin menggila untuk mencintai. Halus budinya dan lembut tutur katanya menyentuh sisi terdalam dalam relung kalbunya.
Hauzan kemudian menirukan apa yang dilakukan Ainuha. Mencium tangan kanan papanya, padahal biasanya jika ingin keluar ataupun pergi dari rumah dia cukup berbicara tanpa melakukan hal ini sebelumnya. Ainuha benar-benar membawa perubahan bagi dirinya.
"Kami pergi dulu Pa. Papa jaga kesehatan, jangan terlalu memforsir diri dengan tumpukan pekerjaan. Dunia tidak akan pernah lari papa kejar. Sayangi jantung Papa." Pesan Hauzan sebelum dia dan Nuha berlalu untuk meninggalkan Agus Rahman dengan kertas-kertas yang ada di hadapannya.
Dalam perjalanannya menuju rumah Rahadi kembali setelah tadi pagi mereka bertolak. Ya, akhirnya Hauzan memang memilih untuk tidak menginap mengingat air mata istrinya dan juga pesan dari mama tercintanya. Papanya bukan seorang yang kolot hingga tidak bisa menerima sebuah alasan dalam bentuk apapun. Hanya perlu waktu dan butuh sedikit kesabaran untuk bisa diterimanya dengan baik.
Satu pesan mama Rien yang harus segera dilaksanakan bersama Ainuha. Hauzan harus mengajak Ainuha check up tentang kondisi rahimnya dan membicarakan dengan dokter kandungan kemungkinan-kemungkinan yang harus mereka tempuh dengan kondisi Ainuha sekarang ini tanpa harus membuat Ainuha tersinggung atau melukai hatinya.
Beberapa dari teman-temannya merekomendasikan nama seorang dokter yang cukup layak untuk diajak bertukar pikiran dan memberikan saran yang cukup baik. Tinggal bagaimana eksekusi Hauzan untuk menyampaikannya dengan penuh kebijaksanaan kepada istri tanpa harus melukai hatinya.
"Mas kok diam saja, ada yang mengganggu di pikiran? atau terlalu fokus dengan jalanan?" Hauzan menoleh kepada Ainuha sekilas kemudian meraih tangan kanan istrinya untuk dicium.
"Tidak ada yang dipikirkan. Kamu ingin kita membicarakan apa, hmmm?" tanya Hauzan setelah diam beberapa saat. "Kamu ingin mampir atau mau beli sesuatu?" tanyanya lagi.
"Boleh?"
"Ya boleh dong, mau kemana?"
"Kita mampir di warung dekat perbatasan itu ya Mas. Ayah suka sekali belut goreng di warung itu. aku ingin membelikannya." Kata Nuha yang langsung mendapat jawaban dari Hauzan. "Selalu siap, ada lagi Bu Hauzan yang ingin di beli?"
Geli rasanya mendengar suaminya menyebut dengan panggilan itu. Tapi memang benar semenjak kata sah telah diucapkan du saksi atas ijab qabul pernikahan mereka stempel dengan gelar baru pun pantas Nuha terima, Ny. Hauzan Falabia.
Malam panjang itu pun telah berganti pagi. Semalam memang Hauzan dan Ainuha sampai di rumah ba'dal isya. Mereka bahkan masih sempat menikmati makan malam bersama Rahadi karena Ainuha memberitahu bahwa dia membawakan lauk kesukaan ayah mereka.
Pagi ini saat gerimis menyapa bumi dengan hawa dinginnya membuat Hauzan enggan beranjak dari petiduran mereka. Adzan yang berkumandang membuatnya memang harus membuka mata. Menyegerakan diri untuk membersihkan badan dan menunaikan kewajiban atas panggilan Rabbnya. Allah tidak pernah tidur, Allah juga tidak pernah mengabaikan doa setiap umatnya. Dalam beberapa hal Dia menggunakan haknya untuk memberi, secara langsung, menundanya atau mengganti dengan sesuatu yang lebih barokah.
"Mas, ada apa melihatku seperti itu?" rasanya diperhatikan sebegitu intens juga membuat Nuha salah tingkah.
"Kamu selalu terlihat menarik."
"Gombal." Hauzan langsung terbahak mendengar jawab Nuha. Istrinya mengatakan gombal tapi kedua pipinya merona tanda bahwa dia sedang tersipu.
"Sayang__" Hauzan menatap kedua mata lentik Nuha. Tidak ingin menundanya lebih lama lagi. Sebaiknya Hauzan membicarakan pagi ini bersama istri tersayangnya. "Kamu masak apa pagi ini? Aku boleh bantu?"
Tentu saja Nuha mengiyakan dengan senang hati. Meskipun bantuan Hauzan kadang justru membuat acara masak memasak mereka cenderung lebih lama. Bagaimana tidak, Hauzan lebih banyak merecoki daripada membantu Ainuha. Namun karena masih dalam rangka libur setelah pernikahan mereka Nuha memiliki banyak waktu luang untuk menikmati harinya berkegiatan bersama suami tercinta.
Dalam waktu satu jam keduanya telah berhasil menyiapkan menu sarapan yang bisa di santap bersama Rahadi.
"Sayang, kemarin aku bicara dengan mama dan beliau setuju sekali." Yah inilah cara Hauzan membuka percakapannya dengan Ainuha.
"Perihal?"
"Aku ingin kita berdua memeriksakan diri, screening dan juga mengikuti tahapan test tentang masalah kesuburan." Mendengar kalimat Hauzan, mendung seketika datang di raut muka Ainuha namun dengan sigap Hauzan menenangkan dengan kalimat yang membuat hati Nuha kembali dingin. "Bukan hanya kamu, tapi kita. Kita berdua tahu bukan bahwa Allah itu maha kaya? Tidak boleh berkecil hati sebelum berusaha. Aku mendapatkan rekomendasi nama untuk bisa berkonsultasi dengan dokter kandungan. Kalau perlu nanti kamu ceritakan kondisi kamu sesuai dengan yang pernah dikatakan dokter yang merawatmu dulu."
"Mas aku__"
"Aku tidak memaksa, jika kamu belum atau tidak siap ya nggak apa-apa. Sebagai seorang dokter, aku wajib menyampaikannya kepadamu. Karena tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak." Kata Hauzan kemudian memberikan senyum manisnya kepada Ainuha.
Nuha sangat mengerti, mengejugde sebuah takdir tanpa mengusahakan dan berusaha mencari kesembuhan adalah suatu kesalahan besar. Setiap muslim tidak pernah disarankan untuk berpasrah sebelum mereka mengusahakan atas sesuatu hal dengan maksimal.
"Aku siap Mas. Memang seharusnya kita berikhtiar sebelum menyerahkan hasil ikhtiar kita kepada Allah." Jawab Nuha setelah keduanya diam beberapa saat.
Lengkungan senyum terlihat sangat jelas di bibir Hauzan. Bahagia menyelimuti hatinya saat sang istri memilih untuk berpikiran positif atas usulan yang dia berikan.
"Kapan kita akan mulai?" tanya Ainuha.
"Kamu kapan ada jadwal kosong? Nanti akan aku reserve beliau terlebih dulu."
"Apakah kita langsung melakukan test?"
"Tidak, kita konsultasi terlebih dulu. Sharing banyak hal tentunya dengan kondisi kamu dan juga kondisiku." Jawab Hauzan.
"Besok bisa Mas? Aku masih hari Senin depan masuk ke sekolah untuk mengajar." Kata Ainuha.
Mengusahakan yang terbaik. Bukan hanya sebuah simbol atau hanya deretan kata yang membentuk sebuah kalimat sebagai pemanis bibir saja. Sebagai seorang muslim sudah sepantasnya jika kita berusaha sebelum berpasrah dan kali ini Hauzan serta Ainuha memilih untuk melakukannya.
"dr. Hauzan, silakan duduk. Ah suatu kehormatan bagi kami bisa membantu kesulitan dokter muda multi talent ini. Bagaimana ada yang bisa kami bantu?" kata dokter yang mereka temui dengan sangat sopan.
"Alhamdulillah, kehormatan bagi kami berdua ini dapat free pass untuk bisa bertemu dengan anda tanpa harus mengantri terlebih dulu." Jawab Hauzan tak kalah sopannya.
"Formal banget brow, weish apa kabar internis kebanggaan kita ini?" tawa dokter itu membahana saat Hauzan yang menjawab sapaannya dengan sangat formal. Hingga membuat Ainuha mengerutkan kening atas ambiguitas yang ditunjukan kedua laki-laki yang kini berada dalam satu ruangan bersamanya.
Hauzan memandang Ainuha kemudian tersenyum pelan. Memperkenalkan istrinya kepada sahabat yang dulu pernah berada dalam satu bangku kuliah yang sama ketika mereka menempuh pendidikan dokter umum.
"Kenalkan Sayang, ini Risyad. Obstetricians, dr. Risyad Mohammed Hubeishy. Teman dulu waktu ambil kedokteran umum." Kata Hauzan sebelum akhirnya mereka berbicara cukup serius.
Beberapa kali bahkan Risyad harus mengulang pertanyaannya untuk memastikan apakah tindakan yang seharusnya dia ambil untuk bisa membantu teman kuliahnya tersebut.
"Ok, coba kita lihat di ultra sonografi terlebih dulu. Setelahnya baru kita diskusikan apa yang harus kita lakukan." Ajak Risyad kepada keduanya untuk berpindah ke bed guna dilakukan cek USG.
Hauzan sendiri yang membantu Ainuha untuk mengoleskan gel di perut bawah Nuha kemudian mata ketiganya mengarah kepada monitor yang ada di hadapan mereka.
Risyad beberapa kali menggeser probe ke beberapa titik di perut Nuha. Kemudian memandang kepada Hauzan dan berkata. "Tidak ada masalah dengan kandungan Nuha, Zan. Apa yang harus dikhawatirkan?"
"Yakin?" tanya Hauzan.
"Apa perlu kita lakukan USG internal?"
"Aku hanya ingin memastikan bahwa istriku dalam keadaan yang baik."
"Harus, sebagai dokter kita wajib melakukan itu. Tidak perlu khawatir, banyak berusaha saja kuncinya dan jangan lupa berdoa karena sebanyak apapun usaha kita tanpa bantuan dariNya semua juga akan sama, nihil tanpa hasil." Kata Risyad menambahkan.
"Sayang, tuh denger sendiri kan kata dokter apa?" kata Hauzan kepada Ainuha.
Binar bahagia terpancar dari sorot mata Ainuha mendengar semua ucapan Risyad namun kemudian harus melemah saat kembali terdengar Risyad melanjutkan kalimatnya.
"Sebaiknya ketika istri sedang menstruasi hari ketiga kalian ke sini lagi guna mengikuti serangkaian test untuk memastikan kekhawatiran kalian itu. Jika memang ada indikasi kandungan lemah atau sebagainya yang tidak bisa terdeteksi oleh USG secara dini bisa kita ketahui. Lu juga brow, jangan cuma bini lu yang periksa. Mentang-mentang laki, ntar kalau istri belum juga hamil disalahin padahal belum tentu masalah fertilitas itu dari pihak perempuan, laki-laki juga turut mengambil peran. Karena tanpa milik kita yang sehat, ovum para wanita tidak akan terbuahi dengan baik sebaik apapun kondisi wanita," ucapnya. Berbicara dengan obgyn itu terkadang agak ke arah adegan 21+ tapi memang begitulah adanya, mereka dituntut menjelaskan dengan sangat gamblang namun tetap dalam koridor yang benar.
"Oh siap gue. Ok kalau begitu thanks banget brow, lega gue ketemu dengan lu."
"Sa ae."
"By the way apa kabar keluarga lu, bini sama anak sehat kan?"
"Alhamdulillah, mereka sehat dong. Eh ngomong-ngomong sebenernya gue butuh internis nih di klinik yang gue sama temen-temen dokter lainnya kelola. Lu mau gabung kagak? ya masih sedikit sih feenya kalau sama tempat lu kerja sekarang jauhlah." Hauzan menggeleng kemudian berkata yang sejujurnya.
"Gue resign dari rumah sakit itu."
"Hah, beneran, gila lu." Kata Risyad dengan kaget.
"Yah banyak hal, tapi gue sekarang enjoy di rumah ngurus sapi di peternakan ayah mertua gue." Jawab Hauzan.
"Zan, sayang ilmu lu nggak dipergunakan. Beneran gue butuh tenaga kek lu. Lu pikirin deh, kalau lu berminat lu bisa gabung di klinik gue." Kata Risyad.
Ainuha menanggapi dengan penuh senyum. Entahlah rasanya malam ini hatinya sedang bertabur bunga-bunga yang bermekaran.
Mulai dengan kondisi rahimnya dan juga kabar baik tentang pekerjaan untuk suami tercintanya.
Percaya bahwa Allah itu adil?
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Blitar, 29 Maret 2020
*Sorry for typo*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top