15 🏈 Kerikil Kecil
🍒🍒
Akal yang tak bisa bersatu dengan logika. Ah iya kadang yang membuat kita terlupa bahwa manusia kadang lupa dia sedang mencintai atau hanya sekedar terobsesi untuk memiliki. Yang saat ini tengah begitu menginginkan seseorang, kadang hasrat begitu menyita waktu dan pikiran. Apa yang di lakukan, termasuk segala pencapaian selama ini demi menarik perhatiannya? Bahkan terkadang sampai membuat berani mendahului takdir dengan meyakini bahwa pasti akan berjodoh dengannya.
Merasa kesulitan menemukan sekat antara cinta dan obsesi. Karena keduanya tampak nyaris tanpa beda.
Meski sudah berupaya keras untuk memiliki. Mendefinisikan perasaan sebagai cinta. Tapi, bukankah jika hanya bersikeras untuk memiliki itu artinya hanya sebuah obsesi? Lalu bagaimana dengan cinta, bukannya cinta juga ada perasaan ingin memiliki?
Obsesi selalu berorientasi pada tujuan, sementara cinta tak ubahnya sebuah proses yang tak memedulikan hasil akhir.
Mencintai itu adalah takdir? Bahwa perasaan itu datang begitu saja, dengan atau tanpa alasan.
Perasaan yang begitu dalam, hingga segala sesuatu tentangnya begitu mempengaruhi hidup. Bahkan pencapaian kita selama ini sesungguhnya hanya demi menarik perhatiannya.
Jika benar demikian, sebenarnya kita tidak pernah benar-benar mencintainya. Kita mungkin hanya terobsesi memilikinya. Terobsesi untuk merebut hatinya. Memang, tidak ada ilmu pasti yang mampu menakar cinta atau obsesi. Namun beda keduanya sebenarnya begitu kentara. Cinta tak menuntut perasaan harus terbalas, sementara memiliki adalah harga mati dari obsesi.
"Apa yang telah kamu berikan kepada Hauzan hingga dia begitu tergila-gila kepadamu." Kaget Ainuha tiba-tiba ada suara wanita yang langsung masuk ke rumahnya.
"Eh__assalamu'alaikum Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" ucap Nuha terbata. Pagi ini dia hanya sendiri di rumah. Suami dan ayahnya sudah sejak satu jam yang lalu berada di kandang karena Hauzan memaksa untuk bisa belajar memerah susu dan melihat langsung bagaimana cara memelihara ternak yang baik.
"Tidak usah sok suci. Lagian kapan aku nikah sama Masmu sampe harus memanggilku dengan panggilan Mbak?"
Kaget tentu saja, dalam benak Ainuha tidak pernah terpikir bahwa Imelda akan bertindak senekat itu sampai harus mendatanginya di rumah. Ini di rumahnya, Nuha masih bisa menutupnya dengan baik. Bagaimana jika Imelda mendatangi sekolah tempat dia mengajar. Bukan tidak mungkin lagi, Nuha harus semakin waspada.
"Maaf kalau tidak berkenan. Mari silakan duduk dulu__maaf sekali lagi saya harus memanggil Anda dengan panggilan apa?"
"Panggil saya dokter Imel."
"Baik, dokter Imel silakan duduk. Saya buatkan minum dulu." Kata Ainuha yang langsung di jawab tolakan dari bibir Imelda.
"Tidak perlu, pantang bagi saya untuk duduk dan bermuka manis kepada wanita yang telah merebut lelakinya. Pelakor! Asal kamu tahu ya, sebelum pernikahan kalian om Agus telah menjodohkan kami. Itu sebabnya beliau tidak menyetujui pernikahan kalian. Sebenarnya kamu ini berjilbab tapi tahu agama atau tidak. Jangan-jangan jilbab lebarmu ini hanya untuk menutupi borokmu saja." Suara Imelda benar-benar mengintimidasi Ainuha.
Tidak ada hati seorang wanita yang bisa mendengar kata-kata kasar seperti itu. Terlebih sebuah fitnah dilontarkan untuk melukai harga dirinya sebagai seorang muslimah.
"Dengar ya Nuha, kamu itu tidak jauh lebih baik dari aku. Kamu ini apa? hanya seorang guru SD penampilan yah hanya begitu saja. Tidak ada menarik-menariknya untuk Hauzan lalu apa yang bisa kamu banggakan di depannya?" bukannya menjawab namun air mata Ainuha telah menetes di kedua pipinya.
"Lagian kamu pernah dinyatakan mandul kan oleh salah seorang dokter? Apa kamu tidak malu sebagai seorang wanita tapi tidak bisa memberikan keturunan untuk suamimu. Kamu tidak berpikir bahwa Hauzan itu anak laki-laki satu-satunya di keluarganya. Papanya pasti akan sangat mengharapkan keturunan untuk mewarisi nasab keluarganya. Apa yang bisa kamu berikan kepada mereka?" kalimat panjang Imelda ini benar menghujam ulu hati Ainuha. Benar kata orang jika lidah itu bisa lebih tajam dibandingkan mata pisau. Imelda tidak menyadari itu yang dia inginkan saat ini hanyalah kepuasan untuk memaki Ainuha yang dianggap telah merebut Hauzan darinya.
Tanpa Imelda ketahui sebelumnya bahwa Hauzan telah tertarik kepada Ainuha jauh sebelum bertemu dengan Imelda.
"Dengar ya Nuha, sampai kapan pun om Agus tidak akan merestui pernikahan kalian. Mau sampai kapan kamu bisa bertahan dengan status sebagai menantu yang tidak dikehendaki? Menyerahlah atau kamu akan menerima sesuatu hal yang jauh lebih parah daripada ini dari beliau. Tunggu saja." Muka Imelda memerah dengan jari telunjuk mengarah kepada Ainuha yang kini sudah berlinangan air mata.
Sayangnya sudut matanya menangkap kehadiran seseorang hingga akhirnya urung Imelda menghujat Nuha dengan kalimat yang lebih mencubit hatinya. Dia memilih untuk meninggalkan Nuha dan Hauzan.
Dan kedua tangan Hauzanlah yang menjadi tempat untuk menumpahkan semua sesak yang ada di dalam hatinya. Pelukan hangat yang diberikan Hauzan sedikit mengurangi. Hanya pelukan tanpa pertanyaan apapun. Beruntunglah Ainuha karena Allah memberikan separuh jiwa yang begitu perhatian kepadanya. Tanpa harus menjelaskan secara detail Hauzan telah tahu apa yang dia butuhkan saat ini.
Hingga akhirnya semuanya mendarat begitu manis di kamar mereka berdua. Kembali Ainuha mencicipi indahnya kebersamaan bersama Hauzan yang hanya bisa dinikmatinya berdua tanpa ada orang lain menyertainya.
Sayup-sayup terdengar suara adzan dhuhur berkumandang. Ainuha membuka matanya perlahan. Disampingnya masih ada sosok dengan helaan nafas yang teratur. Hauzan masih memejamkan matanya namun karena Allah telah memanggil mereka Nuha membangunkan suaminya untuk segera membersihkan diri.
"Mas bangun dulu sudah adzan dhuhur."
Lenguhan Hauzan menandakan bahwa dia masih enggan untuk membuka matanya. Tangan kanannya kini justru meraih kembali tubuh Ainuha untuk merebah disampingnya kembali.
"Mas, bangun dulu. Allah sudah memanggil kita untuk meminta haknya."
"Lima menit lagi ya. Capek banget."
"Kalau ada pasien darurat harus segera dioperasi kemudian dokternya bilang lima menit lagi. Pasti Mas Hauzan akan diadukan oleh keluarga korban. Dokter tidak memiliki etika kerja yang baik. Jika Mas Hauzan begitu patuh dengan peraturan yang dibuat manusia mengapa tidak patuh dengan panggilan yang dibuat Allah? Tuhannya manusia loh ini. Ayo bangun."
Kalau Nuha sudah berkata seperti ini haram hukumnya Hauzan menolak lagi.
"Siap Ustadzah. Ngajinya nanti lagi masmu ini mandi dulu saja."
Nuha kemudian tersenyum dan menyusul langkah Hauzan menuju kamar mandi. Mengetahui Nuha mengikutinya Hauzan memilih untuk membalikkan badan sambil bertanya dengan gestur tubuhnya.
"Mandi bareng saja biar cepet." Kata Nuha.
Benar bukan bahwa ada banyak hal yang dulu begitu dipungkiri atau malu-malu untuk dikerjakan namun kini justru menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan bersama. Hanya butuh waktu tidak kurang dari satu minggu Hauzan mendengar sendiri dari bibir Ainuha yang mengajaknya untuk mandi bersama.
Hauzan kini telah memegang kunci trufnya. Pepet hingga harus membuat mereka mandi menjelang waktu sholat. Nuha pasti akan meminta dengan sukarela untuk bisa mandi bersamanya dengan alasan mempersingkat waktu. Benar, modus yang sangat menyenangkan.
Cinta manusia kepada manusia memang selayaknya tidak lebih dari cinta manusia kepada Allah.
Hauzan menatap Nuha dengan begitu dalam sekembalinya mereka dari masjid. Tidak ada masalah yang harus disembunyikan bukan diantara sepasang manusia yang telah halal. Ibarat sebuah tubuh mereka kini telah menyatu jika salah satu anggota badan itu sakit maka anggota badan lainnya akan merasakan sakitnya juga.
"Siap untuk menceritakan atau masih butuh waktu lagi?" tanya Hauzan akhirnya.
Ainuha mengerti tidak akan ada gunanya memendam semuanya sendiri. Namun juga tidak baik jika dia menceritakan semuanya secara gamblang. Bisa-bisa Hauzan bisa perang dengan papanya.
"Dokter Imelda kemari. Sepertinya dia masih belum bisa menerima pernikahan kita. Sebenarnya ada hubungan apa suamiku ini dengan dokter cantik itu?" kini justru Nuha membuat suasana menjadi tidak kaku supaya dia bisa bercerita dengan nyaman.
"Aku dengan Imel maksudnya?" Nuha menganggukkan kepalanya kemudian Hauzan kembali berkata, "Hubungan? aku bertemu dengannya saat dia menjadi bagian dari rumah sakit kemudian tiba-tiba keluarganya datang ke rumah sore hari setelah aku mendengar kamu menerima lamaranku. Teman satu kantor, apalagi?" Hauzan memang tidak berbohong Ainuha juga sangat mengerti akan hal itu.
Jika akhirnya mereka berdua yang kini bersanding bukan salah keduanya, bukan juga salah orang tua mereka. Yakin bahwa segala sesuatu telah tertulis dalam mega server lauhul mahfudz sejak 50.000 tahun sebelum semesta tercipta. Jodoh, mati, dan qodar semua makhluk yang bernyawa ada semuanya di sana. Lantas siapa yang bisa disalahkan?
"Iya aku percaya."
"Lanjutkan ceritamu." Perintah Hauzan.
"Tiba-tiba datang kemudian berkata seolah-olah dia yang paling istimewa. Padahal manusia tidak mungkin ada yang sempurna. Intinya dia memintaku untuk meninggalkanmu." Jawab Nuha dengan angan yang menerawang jauh. Meski Hauzan yakin tidak sesimpel itu mengingat air mata yang mengalir di pipi istrinya tadi pagi. Namun cukup untuk menjadikannya alasan untuk membicarakan semua ini dengan kedua orang tuanya.
"Air matamu sudah menjelaskan kepadaku. Seberapa besar perasaan cintamu kepadaku. Tidak perlu dijelaskan lebih banyak aku telah mengetahuinya." Kata Hauzan sambil tersenyum. Nuha bersiap untuk menyiapkan makan siang mereka yang cukup terlambat. Hanya menghangatkan karena sudah dimasaknya tadi pagi.
"Kapan Mas Hauzan mengajak Nuha ke rumah papa dan mama? Cuti libur Nuha tinggal 3 hari lagi."
"Besok pagi ya, kamu siap-siap. Aku nyari rental mobil dulu. Kita mau menginap atau langsung pulang?" kata Hauzan.
"Kita bisa naik sepeda motor kok. Menginap saja kan Nuha juga ingin belajar banyak dari mama tentang kesukaan Mas."
"Jangan, kita naik mobil saja. Nggak tega akunya. Mengajakmu naik sepeda motor lebih dari satu setengah jam, apalagi mengenakan rok dan harus duduk miring." Jawab Hauzan kemudian mengusap lembut kepala Ainuha.
"Tapi kita harus berhemat sementara Mas Hauzan mendapatkan pekerjaan kembali." Kata Nuha.
"Ai Sayang, ingatlah bahwa kamu itu ratuku. Seberhematnya kita, aku tidak ingin menyusahkanmu. Allah tahu bagaimana niatku. Kamu pernah bilang Dia pasti akan memudahkan semuanya bukan?" Ainuha mengangguk. "Lalu apalagi yang harus kita takutkan? Aku pasti mengusahakan yang terbaik untuk masa depan kita, dan aku akan belajar yang terbaik untuk akhirat kita berdua."
"Mas__" Hauzan membuka kedua tangannya hingga memudahkan Ainuha untuk segera datang dan memeluknya.
"Mas Hauzan tidak ingin bekerja kembali sebagai dokter? Tidak ingin apply lamaran kerja di rumah sakit atau mungkin ingin membuka praktek sendiri. Sayang loh jika memiliki ilmu namun tidak kita pergunakan untuk membantu orang lain." Ainuha merenggangkan pelukannya. Sedikit mendongak ke atas melihat ekspresi Hauzan namun mukanya masih datar. Belum menampilkan perubahan yang begitu berarti. "Ya, sambil belajar bagaimana mengelola peternakan Ayah. Tidak ada salahnya bukan di coba?"
Hauzan tersenyum kemudian mencium pucuk kepala Nuha. Dia memang harus bekerja. Namun ada satu PR besar yang harus dia selesaikan dalam waktu dekat ini. Meluruskan semuanya dengan papanya.
"Iya, jadi relawan saja bagaimana. Ke Palestine misalnya. Disana pasti akan banyak membutuhkan tenaga medis sepertiku ini." Ucap Hauzan dengan senyum merekahnya.
"Mas__"
"Hmmm__"
"Aku tidak akan pernah siap menjadi seorang janda. Jangan pernah punya pikiran seperti itu."
"Jika tidak ada rumah sakit yang menerima tenagaku. Katamu supaya bisa membantu orang lain kan? Mereka juga membutuhkan tenaga medis." Kata Hauzan yang kini sudah berjalan mendahului Ainuha ke meja makan.
"Tidak, aku tidak akan rela. Aku tidak ikhlas."
Ungkapan yang begitu jujur karena Nuha tidak ingin meninggalkan ataupun ditinggal oleh Hauzan. Ternyata nikmatnya menikah bukan hanya masalah pertautan mereka menjadi satu. Terlebih karena kini ada tempat yang sangat aman dan tentu paling nyaman untuk saling berbagi.
Keesokan harinya, keduanya benar-benar berangkat menuju kediaman orang tua Hauzan. Dengan mobil yang telah dirental Hauzan dia memberikan beberapa nasihat untuk Nuha saat mereka nanti bertemu dengan Papanya.
"Kamu tidak perlu takut, tidak perlu menangis di sana. Diam saja, biar aku nanti yang menjawab semua pertanyaan Papa. Cukup tersenyum dan tunjukkan kepadanya bahwa kita berdua hidup bahagia." Kata Hauzan yang tiba-tiba menarik tangan kanan Ainuha untuk dia cium. "Bahagia nggak menjadi istriku, Ai?"
"Banget."
"Lalu dulu mengapa begitu lama menerima lamaranku?" tanya Hauzan sambil mengerling nakal kepada Nuha. "Masih menimbang untuk mau dimadu oleh Gus Eshan itu?"
Nuha langsung mengerucutkan bibirnya saat suaminya menyinggung masalah poligami yang tidak pernah dia setujui. Namun ide jahilnya ingin kembali mengerjai Hauzan.
"Dulu mengapa mas Hauzan berinisiatif untuk langsung mengatakan kepada Gus Eshan kalau Mas calon suami Nuha. Atau sebenarnya sejak kita pertama kali bertemu mas Hauzan sudah jatuh cinta pada Nuha hanya saja pura-pura meledek penampilan Nuha biar tidak terlalu terlihat kalau sudah fall in love at first sight."
Hauzan tertawa mendengar ungkapan Ainuha. Apa pun itu semua tidak lagi berarti jika orang yang dimaksud telah melengkapkan separuh nafasnya, separuh hidupnya, dan juga separuh imannya.
"Mungkin__" jawab Hauzan singkat kemudian kembali tertawa bersama belahan jiwanya.
Tidak ada cinta jika kita tidak pernah mengusahakan menjadi ada. Tidak ada pengorbanan jika tidak ada tujuan yang akan kita raih. Dan tentu saja tidak akan pernah ada keluarga jika kita hanya egois memikirkan apa diri kita sendiri.
Cukup untuk memberikan rasa aman untuk bisa merasa nyaman selalu berada di dekat pasangan. Berbicara dengan cara yang menyenangkan. Dan bersikap sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
🍒🍒
-- to be continued --
Selamat berhari jumat, jangan lupa Alkahfi untuk hari ini.
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
🍒🍒
Blitar, 13 Maret 2020
*Sorry for typo*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top