12 🏈 Menikahimu
🍒🍒
Tidak pernah terbayang menikah hanya dengan restu ibu tanpa kemewahan pesta, tanpa ucapan selamat dari ratusan teman dan tentu tanpa kehadiran ayah yang secara biologis menjadi donatur utama membuatnya ada di rahim ibunya.
Hauzan Falabia, dengan satu tarikan nafas kini telah berganti status menjadi seorang suami yang memang sudah terencana begitu lama. Menyebutkan nama seorang wanita yang telah menuntunnya untuk berubah. Mendampingi wanita yang membuat dunianya berwarna. Dan menjadi imam dari wanita yang selalu menguatkan hatinya.
Rien Anjani tak kuasa menahan buliran air mata yang sedari pagi telah menggenang di pelupuk matanya. Disampingnya duduk Renata yang tidak kalah haru menyaksikan pernikahan sederhana kakaknya. Ya, Hauzan memilih untuk menikahi Ainuha di sebuah masjid yang dulu ketika pertama kali bertemu dengan Nuha, Hauzan dengan sikap congkaknya menyebut Ainuha wanita berpenampilan tidak sedap dipandang mata.
Tapi lihatlah sekarang, sekejap mata Allah membalikkan hati Hauzan hingga akhirnya dia mantap untuk menghalalkan Ainuha sebagai pelengkap imannya.
Pelukan hangat dia berikan saat Hauzan berada di depannya. Bukan hanya restu tapi doa terbaiknya sebagai seorang ibu, Rien panjatkan kepada Allah untuk memberikan rahmat dalam pernikahan putra sulungnya.
"Mama__"
"Jadi suami yang baik, saling menyayangi, saling melindungi dan saling mencintai. Apa pun masalahnya di depan selalu jadikanlah komunikasi sebagai jembatan hati. Karena kata hati tidak akan pernah tersampai jika mulut saling bungkam. Nafkahi istrimu dengan baik, baik secara lahir dan batin dia jangan pelit harta kepadanya. Ingat Zan, Ainuha itu istimewa jangan pernah menyakiti hatinya." keduanya lantas berpelukan dengan begitu erat.
Sejak satu minggu yang lalu memang Rien telah berpenampilan sama seperti halnya Renata dan Ainuha. Entahlah, rasanya ada bahagia yang membuncah di hati Hauzan melihat sang mama memakai pakaian yang menyejukkan hati. Meski awalnya Hauzan sempat menghujat Ainuha namun kini dia semakin mengerti apa fungsi dari pakaian gedombrongan seperti itu.
Hauzan melepas pelukan Mamanya kemudian mencium orang yang telah melahirkannya itu dengan penuh cinta. Berganti Nuha yang kini bersiap untuk 'sungkem' kepada mama mertuanya.
"Mama__"
"Tidak ada menantu buat Mama, Nuha. Bagi Mama kamu adalah anak Mama jadi jangan pernah berpikir bahwa Mama ini adalah mertua buatmu. Anggap Mama sebagai ibu kandungmu sendiri. Titip Hauzan ya, ingatkan dia jika salah membimbingmu."
"Terimakasih telah menerima Nuha dengan semua kekurangan." Kata Nuha sambil memeluk Rien.
"Tidak ada manusia yang sempurna anakku. Kalian berdua harus bahagia." Lirih tepat di sebelah telinga Ainuha yang semakin membuat Nuha mengeratkan pelukannya kepada Rien.
Dia rindu merasakan pelukan hangat seorang ibu. Dan hari ini, setelah sekian lama dia kembali merasakan bagaimana cinta kasih seorang ibu kepada anak-anaknya.
Hauzan menuntun Ainuha setelah semuanya selesai dan mereka hendak kembali ke kediaman Nuha. Namun seolah memiliki cakram di kaki mereka, perjalanan menuju rumah Nuha pun terhenti saat melihat empat orang yang berdiri tegap di hadapan mereka.
Imelda tentu berdiri dengan muka yang tidak bisa dikatakan baik. Amarah sepertinya kini sedang merajai hatinya.
Mengapa seolah Allah membuat jalan ke rumah Ainuha menjadi panjang dengan keberadaan mereka?
"Pernikahan kalian tidak sah. Om Agus belum memberikan restunya mengapa kalian memaksakan diri untuk menikah. Atas dasar apa?" ucapan sinis itu keluar dari mulut Imelda yang di sertai tatapan tajam dari 3 pasang mata orang yang berdiri di belakang Imel.
Tamu yang menyaksikan pernikahan Hauzan dan Ainuha bahkan belum semuanya membubarkan diri, jelas mereka melihat drama ftv yang diciptakan oleh Imelda dan kedua orang tuanya. Yang membuat Hauzan tidak habis pikir mengapa Papanya justru berada di pihak mereka. Ah entahlah, apa yang kini sedang dirancang oleh Papa dan kedua orang tua Imelda untuk membuat dia dan keluarga Ainuha malu.
Hauzan hendak menjawab namun tangan Ainuha yang kini digenggamnya memberikan isyarat untuk tidak memberikan jawaban apapun.
"Wanita ini? apa lebihnya datiku Hau?" air mata yang kini mulai mengalir memang menandakan hatinya sedang teriris. Imelda benar-benar melangkah mendekati Ainuha. Memandang untuk menguliti penampilannya.
"Bahkan kamu sendiri tidak memiliki kata-kata yang tepat untuk membelanya." Sambung Imelda lagi.
Tangan Hauzan terkepal keduanya. Jika bukan karena Ainuha yang memintanya diam dan Imelda bukan seorang perempuan, Hauzan bisa memastikan bahwa pipi Imelda kini pasti telah membekas lukisan tangan kanannya di sana.
"Tidak akan ada yang bisa mempekerjakan kamu sebagai seorang dokter Hau, jika kamu masih tetap memilih untuk meneruskan pernikahan ini. Bahkan di perusahaan papamu sendiri." Tambah Imelda yang mendapati Hauzan tetap bergeming di tempatnya.
Mendengar perusahaan milik suaminya dijadikan alasan tentu saja Rien meradang. Tidak ada sopan santunnya sebagai seorang wanita. Kalimat tidak berfilternya membuat bibir Rien Anjani akhirnya terbuka untuk menangkis ucapan tajam perempuan yang pernah dia rencanakan untuk dijodohkan kepada Hauzan. Beruntunglah dia, hingga Allah menyatukan Hauzan dengan seorang Ainuha. Bukan wanita dengan mulut berbisa sepertinya.
"Imel, tidak ada urusannya pernikahan Hauzan denganmu. Jadi untuk apa kamu bicara seperti itu, seorang dokter tidak akan mati jika dia tidak bekerja di jalur profesinya." Kata Rien masih dengan nada tang cukup enak untuk diperdengarkan oleh semua orang yang berada di ruangan mereka berbicara.
"Sayangnya Tante salah, anak yang Tante Rien banggakan ini ternyata jauh lebih merasa nyaman bersembunyi di bawah ketiak ibunya dibandingkan dia harus membela dirinya sendiri." Ucap Imelda yang benar-benar menyulut amarah Hauzan.
"Imelda__"
"Cukup." Bentak Hauzan. "Iya, anda benar dr. Imel. Saya merasa lebih nyaman bersembunyi di bawah ketiak Mama, lalu untuk apa anda datang kemari untuk meminta saya membatalkan pernikahan ini?" tambah Hauzan.
"Pernikahanmu tidak sah, jadi memang tidak perlu dibatalkan. Karena sejatinya telah cacat dimata hukum dan agama." Ucap Imelda menatap garang kepada Hauzan.
"Kata siapa?" cibir Hauzan.
"Papamu tidak memberikan restunya." Jawab Imelda yang langsung di jawab senyuman ringan dari bibir Hauzan.
Gelengan kepala Hauzan dan pandangan matanya kepada kepala Kantor Urusan Agama yang masih berada di tempat yang sama membuat lelaki paruh baya itu mengerti bahwa saat ini ucapannya sangat ditunggu atau bahkan di harapkan sebagai penengah dari pertikaian mendadak ini.
"Maaf Bapak dan Ibu yang berada di sini. Sepertinya saya memang harus berbicara, saya menjadi petugas pencatatan sipil yang mengesahkan pernikahan saudara Hauzan Falabia dan Ainuha Soraiya karena memang telah terpenuhi semua syarat sah pernikahan dan rukunnya sesuai dengan agama mereka. Seorang ayah hanya diperlukan sebagai wali itu pun dari pihak mempelai wanita bukan dari mempelai pria. Jadi tidak perlu lagi diperdebatkan tentang sah atau tidaknya. Kemudian, mohon maaf ini masih dalam beranda masjid. Tempat bagi kami mengagungkan nama Allah sehingga akan lebih sopannya kalau tidak ada pertengkaran di sini. Apalagi ini banyak warga yang melihatnya." Kata penghulu tersebut kemudian pamit untuk melanjutkan tugasnya kembali.
Nuha seolah tidak lagi memiliki muka di kampungnya. Selama ini dia cukup menjadi gunjingan warga karena kondisinya dan juga tidak satupun pemuda di desanya yang bersedia untuk menjadikannya seorang istri. Hingga datanglah Hauzan Falabia meminang dan menikahinya. Namun disaat yang sama dengan hari bahagianya. Tiba-tiba hadir tamu tak diundang yang datang untuk mempermalukannya.
Sepeninggal penghulu itu, Hauzan juga menarik lengan Nuha perlahan untuk berjalan meninggalkan ketidakfaedahan berbicara dengan mereka. Bersama itu pula Rien dan Renata berjalan menyusul langkah Hauzan.
"Tidak perlu kembali ke rumah lagi Ma. Jika kamu melangkah mengikuti anak durhaka itu, Begitu juga dengan Rena." Ucap Agus Rahman kepada Rien yang membuat Hauzan menghentikan kembali langkahnya.
Hauzan meminta Rien untuk tidak mengikutinya namun Rien menolak. Baginya tidak lagi ada ketenangan dalam hidup saat segala sesuatu diukur berdasarkan harta yang dimiliki.
"Ma, hidup Mama dengan Papa. Cukup restu Mama untuk Zan dan Ai, kami akan bahagia. Kami janji untuk itu. Pulanglah dengan Papa. Rena, jadi anak yang baik ya. Tolong jaga Mama saat Abang tidak bersama kalian. Zan sayang kalian berdua."
Adakah yang lebih membahagiakan selain mendengar ucapan sayang dan bukti cinta seorang ibu dari anaknya? Rien hanya bisa menangis saat melepas kepergian Hauzan bersama Ainuha. Anaknya yang sedari kecil tidak pernah merasakan kekurangan mungkin ke depan dia akan merasakan bagaimana berjuang dalam kerasnya kehidupan. Percaya bahwa Nuha adalah wanita paling tepat untuk membuat Hauzannya kuat yang diberikan oleh Allah.
Tidak ada percakapan lagi antara Agus dan Rien setelahnya. Mereka berada di dalam mobil yang sama namun seolah enggan untuk saling membuka obrolan. Menekan ego untuk saling menyapa. Sejak pertengkaran hebat 2 minggu yang lalu membuat hubungan diantara keduanya tidak lagi harmonis seperti dulu.
Awalnya Rien memilih untuk pergi namun Hauzanlah yang menjadi alasan. Belum lagi Renata yang masih membutuhkan bimbingan mereka berdua sebagai orang tuanya. Biar bagaimanapun otaknya masih berjalan dengan normal. Jika Agus berani untuk menutup akses pekerjaan untuk Hauzan bukan berarti dia tidak bisa menyakiti Nuha atau pun Renata ke depannya.
Sementara Hauzan yang kini telah berada di rumah Nuha sedang asyik berbincang dengan Rahadi.
"Bagaimana Yah?"
"Memangnya tidak masalah nantinya? Kotor loh di kandang?"
"Saya juga belajar mengurus sapi-sapi Ayah bukan? Kotor itu biasa nanti juga bisa mandi." jawab Hauzan.
Rahadi paham sekali alasan apa yang mendasari dibalik sikap Hauzan meminta diajak ke peternakan. Beberapa kali Hauzan mencoba untuk melamar kerja di rumah sakit namun jawabannya sama. Hingga akhirnya dia memutuskan membantu Rahadi untuk mengelola peternakannya.
Keputusan yang tentu saja disambut bahagia oleh Rahadi karena memang selama ini dia sangat khawatir kepada siapa nantinya akan mewariskan usahanya ini. Usaha Surya menutup akses dokter Hauzan bisa praktek di semua rumah sakit membawa anugerah tersendiri oleh Rahadi dan Ainuha untuk tetap mengucapkan syukurnya. Karena dengan begitu tidak lagi membuatnya harus mempercayakan usaha yang telah dirintisnya sedari awal kepada orang lain. Hauzan bersedia menerima dengan tangan terbuka.
"Yakin Mas, rezeki nggak akan tertukar." Kata Nuha saat menyiapkan minuman hangat untuk suami dan Ayahnya.
"Iya, bismillah saja. Semoga aku bisa belajar sama ayah dengan baik dan cepat." Jawab Hauzan.
"Aamiin."
Nuha bukan seorang perempuan penuntut. Cukup Hauzan bisa memahami kondisinya saja sudah lebih dari cukup bagi Nuha untuk bisa melangkah bersamanya. Membangun masa depan bersama. Bukan juga karena titel Hauzan sebagai seorang dokter yang membuatnya mau menerima pinangan laki-laki yang telah menjadi suaminya kini. Tapi karena kegigihan Hauzan untuk bisa memperbaiki diri.
"Kamu tidak menyesal menikah denganku?" tanya Hauzan saat kini sedang berdua dengan Nuha di kamar.
"Mengapa harus menyesal?"
"Aku pengangguran loh sekarang. Mungkin juga aku belum bisa menjanjikan kehidupan yang layak untukmu. Belum bisa memberikan rumah untukmu, belum bisa__"
"Mas, rezeki itu Allah yang atur. Mas tahu mengapa kita diberikan jalan seperti ini? Mungkin memang kita harus merawat Ayah, tinggal bersama beliau jadi buat apa membeli rumah baru. Tidak bisa hidup mewah seperti halnya teman-teman dokter Mas, karena Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebihan." Jawab Nuha.
"Bagaimana mungkin aku tidak semakin jatuh cinta kepadamu, bidadariku? Syukraan telah menerimaku yang tidak sempurna ini." Kata Hauzan sambil mencium pucuk kepala Nuha yang masih berbalut jilbab lebarnya.
"Mas__"
"Hmm__?" kini netra Hauzan memindahi setiap inchi paras yang selalu menampilkan senyuman di hadapannya. Sempurna, senyum yang kini halal untuk dia nikmati.
"Pernah memakai sepatu tapi hanya sebelah saja?"
"Mana mungkin? ya pasti belum pernahlah. Lagian mana ada pake sepatu hanya sebelah saja, Sayang? kurang kerjaan?" Nuha kembali tersenyum mendengar penuturan Hauzan.
"Bukan maksudku itu seperti kita. Allah menyatukan kita dalam sebuah ikatan yang inshaallah hanya maut yang akan memisahkan nantinya. Ibarat sepatu, Mas Hauzan itu yang sebelah kanan aku itu yang sebelah kiri." Hauzan sepertinya masih belum bisa mencerna perkataan Nuha hingga keningnya masih terlihat berkerut.
"Ya, seperti sepatu kita memang harus berpasangan saling melengkapi supaya jalannya tidak pincang sebelah. Jika hilang sebelah sepatu itu tidak ada gunanya lagi. Sama seperti kita harus saling melengkapi, apa yang kurang di Mas Hauzan bisa aku tutup begitu juga sebaliknya yang kurang di aku bisa ditutup oleh Mas Hauzan." Kata Nuha akhirnya.
"Mashaallah, ini benar istriku?"
"Mas lupa tadi siang menjabat tangan ayah untuk berjanji kepada Allah untuk namaku?" tanya Nuha.
"Kalau begitu, bolehkan kalau malam ini aku menyempurnakan sepatu itu benar-benar menjadi sepasang yang tak pernah terpisahkan?" kerling mata Hauzan membuat Nuha tersadar bahwa suaminya tidak sepolos itu untuk sekedar mendengarkan cerita darinya tentang sepasang sepatu. Intisari dari percakapan mereka ternyata ada disini dan Nuha tidak lagi boleh menolaknya
"Loh kok malah menangis?" tanya Hauzan saat melihat Nuha justru menangis saat dia selesai membacakan doa sakral yang baru pertama kali terucap.
"Aku bahagia sekaligus takut." Jawab Nuha.
"Takut kenapa?"
"Aku_aku_takut kalau Mas Hauzan tidak__"
"Ssstttt, ini pertama kali untuk kita bukan. Jadi wajar kalau kita masih beginner, mengapa harus dikhawatirkan? Bukan katamu tadi kita ini sepasang sepatu yang saling melengkapi? aku bermain kamu pasti bisa mengimbangi dengan baik. Teorinya kan sudah dapat tinggal prakteknya doang belum." Jawab Hauzan yang mendapat pukulan mesra dari Nuha di dadanya.
"Issshhh, bukan itu maksudku Mas."
"Loh terus apanya?" tanya Hauzan lagi.
"Kalau ternyata perkiraan dokter dulu itu benar apa Mas Hauzan masih bersedia bersamaku selamanya?" kata Nuha lirih dengan kepala tertunduk.
Lagi-lagi masalah sensitif itu yang membuatnya menjadi krisis percaya diri. Hauzan juga seorang dokter, dan dia tahu bahwa dokter bukanlah Tuhan yang bisa memberi sakit atau menyembuhkannya. Kata-kata dokter itu hanyalah hasil dari sebuah observasi pasien yang dikaitkan dengan ilmu yang mereka pelajari. Jadi bisa jadi benar, bisa jadi salah karena segala kemungkinan tentang hidup dan kehidupan itu hanya milik Allah semata.
"Sayang, lihat aku." Hauzan memegang dagu Nuha hingga kedua mata mereka saling bertatapan. "Jika seandainya aku yang ternyata juga bermasalah apa kamu juga akan meninggalkanku?"
"Mas____,mengapa berkata seperti itu?" tolak Nuha.
"Kalau kamu tidak menyukai aku berkata seperti itu sama juga halnya aku tidak suka kamu mengatakan itu." Jawab Hauzan dengan tatapan penuh cinta.
"Tapi seenggaknya aku__" tidak ingin terjadi pendahuluan yang terlalu panjang hingga akhirnya membuat tujuan utamanya terabaikan Hauzan justru membungkam mulut Nuha dengan sapuan lembut dari bibirnya.
Menuntut untuk bisa diterima tanpa adanya penolakan.
Menikah? bukankah ibadah yang paling menyenangkan dan menyehatkan apabila kita benar-benar melakukannya sesuai dengan tuntunan sunnahnya.
Dan malam ini menjadi saksi bersatunya dua insan yang telah resmi dipersatukan dalam sebuah ikrar suci sehidup semati. Ribuan Malaikat bahkan kini menjadi pelindung atas segala tahmid cinta yang mereka dengungkan saat peluh bermesra di bawah langit sebagai atap kisah cinta halal Hauzan dan Ainuha.
🍒🍒
-- end? --
eh, eh, eh....gimana enaknya???? lanjut atau kelar???
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
🍒🍒
Selamat berhari jum'ah jangan lupakan AlKahf untuk hari ini.
Blitar, 07 Februari 2020
*Sorry for typo*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top