11 🏈 Pilihan Terakhir

🍒🍒

"Secepat itu?" kata Ainuha dengan mata membulat.

"Aku membutuhkanmu untuk menghindarkan diri dari fitnah Ai, aku butuh kamu sebagai seseorang yang selalu ada di belakang untuk mendorongku berjalan maju, aku membutuhkanmu berada disampingku untuk membuat jalanku tidak pincang. Intinya aku akan menghalalkanmu secepatnya." Kata Hauzan saat kini dia berada di rumah Ainuha.

Sejak kejadian bersama Imelda waktu itu Hauzan sudah tidak berkonsentrasi kepada pekerjaannya. Jika bisa memilih dia ingin untuk mengundurkan diri dari rumah sakit tempat dia bekerja. Namun sesuai dengan perjanjian kontrak kerjanya dia masih harus melewatkan setengah tahun ke depan untuk bisa out tanpa harus membayar denda.

Apalah arti bilangan uang untuk seorang keluarga Hauzan Falabia. Dia hanya tidak ingin dicap sebagai seorang yang minus profesionalitas dan tidak memiliki etos kerja yang baik.

"Bagaimana kalau resign saja Mas?"

"Aku juga sempat berpikir seperti itu. Hanya saja ini masalah profesionalitas dan etos kerja." Jawab Hauzan.

"Bukan karena dendanya?"

"Ya jika masih diminimalisir untuk tidak membayarnya, mengapa harus membuang uang untuk keperluan yang tidak perlu."

"Meski nanti akan ada fitnah yang lebih besar lagi?"

Stop. Jika harus berdebat dengan seorang Ainuha, Hauzan memilih untuk diam dan mengalah mungkin itu adalah bentuk rasa yang kini sudah mulai tumbuh di hatinya. "Aku punya sedikit uang tabungan mungkin bisa dipakai untuk menutup itu Mas."

Bukan seperti itu maksud Hauzan, namun Nuha sudah terlanjur masuk ke kamarnya untuk mengambil sesuatu dan satu menit berikutnya sudah datang dengan menyerahkan kartu debit kepada Hauzan.

"Eh, apa ini?" tanya Hauzan.

"Mas Hauzan resign saja, ini tidak banyak tapi mungkin bisa dipakai untuk menutup dendanya."

"Astaghfirullah, tidak perlu Ai. Aku masih punya meski sebenarnya uang itu bisa kita pakai untuk biaya pernikahan kita nanti." Kata Hauzan.

"Muslimah yang baik itu pasti akan memudahkan mahar dan proses menuju kehalalan. Tidak ada tuntunan untuk melakukan pesta Mas. Jadi itu bisa di skip, apa perlu aku yang membuatkan surat pengunduran dirinya?" jawab Ainuha.

"Tapi Ai__"

"Jangan memilih menggadaikan akhirat untuk hal yang bersifat duniawi Mas. Aku ikhlas dengan semuanya, jika tidak untuk menolong orang lain ilmu Mas Hauzan masih bisa dipakai menolong aku atau pun keluarga yang membutuhkan."

"Ai__"

Rentetan kilat dan petir menggelegar di langit seolah menjadi penengah perdebatan tanpa ujung mereka. Bukan untuk mencari siapa yang benar atau siapa yang salah tapi bagaimana dengan cara orang dewasa menyelesaikan tanpa harus melukai satu dan yang lainnya.

Hauzan telah memilih untuk menetapkan hati. Itu artinya dia harus siap dengan semua konsekwensi atas pilihannya. Terlepas dari faktor intern maupun ekstern. Dari awal dia memilih jujur kepada Ainuha tentang Imelda dan tentang orang tuanya.

Restu, sekali lagi mereka sangat membutuhkan itu untuk melangkah ke jenjang yang lebih membahagiakan. Mungkin karena masalah Imelda itu pula yang masih mengurungkan niatnya untuk memberitahukan kepada kedua orang tuanya.

Benar. Sepertinya lebih mudah memimpin sebuah operasi dibandingkan harus mengatakan semua niatnya kepada orang tua. Hauzan lebih percaya diri untuk melakukan semua itu dan sepertinya mungkin untuk beberapa bulan ke depan dia harus menjadi seorang pengangguran intelektual.

Tidak perlu menunggu besok, setelah dari rumah Ainuha Hauzan memilih untuk mengemudikan mobilnya menuju ke kediaman direktur rumah sakit. Membicarakan pengunduran dirinya hingga berapa denda yang harus dibayarkan untuk itu.

Allah tahu apa yang tersembunyi dalam hatinya, mengapa dia memilih untuk melakukan ini. Bukan semata karena Ainuha namun juga untuk bisa menjaga hati dan jalan menuju hijrahnya.

"Sebenarnya tidak perlu seperti itu dr. Hauzan. Karena memang rumah sakit masih membutuhkan tenaga anda sebagai seorang paramedis."

"Secara pribadi saya sangat nyaman bisa bekerja di rumah sakit itu. Hanya saja ada alasan pribadi yang tidak bisa saya ungkapkan dengan jelas mengingat banyak hati yang harus saya jaga." Jawab Hauzan.

"Oh jadi masalahnya___?"

Hauzan hanya tersenyum hambar, ditutupi seperti apa rekan sejawat di rumah sakit telah mengetahui bahwa sebentar lagi dia akan melangsungkan pernikahan dengan pemilik saham terbesar di rumah sakit itu.

"Dokter jangan salah faham dulu. Mungkin saya boleh meluruskan atas isu yang kini merebak di rumah sakit terkait dengan saya. Semua yang beredar termasuk yang mungkin dokter dengar itu adalah hoax. Iya benar, inshaallah saya akan menikah namun sepertinya tentang pasangan bukan seperti isu yang merebak di antero rumah sakit." Jelas Hauzan.

"Itu artinya dr. Hauzan dengan dr. Imelda__?"

"Maaf, itu juga yang menjadi alasan utama mengapa saya memilih untuk mundur. Saya harus menjaga hati calon istri saya. Saya hanya ingin persetujuan dokter selaku direktur atas pengunduran diri saya."

"Biar bagaimanapun, persetujuan saya tidak akan berarti jika mungkin nantinya orang tua dr. Imelda tidak memberikan persetujuannya."

"Setidaknya cukup bagi saya persetujuan dokter, tentu saya bersedia membayar apa yang telah menjadi kesepakatan awal saat saya melakukan offering letter dengan manajemen rumah sakit."

"Saya bisa memahami itu. Tapi jujur harus saya katakan terlepas dengan permasalahan anda dan dr. Imelda, sayang kalau saya harus melepas tenaga seperti anda. Rumah sakit masih sangat membutuhkan."

Kalimat penutup yang sesungguhnya juga sangat berat bagi Hauzan melepaskan semuanya. Tapi sekali lagi, mendarmakan ilmu bukan hanya di tempat dia bekerja sekarang. Bisa jadi ilmu yang dia pelajari untuk diperjuangkan di jalan Allah. Bukankah Allah adalah sebaik-baiknya sutradara untuk kehidupan manusia di semesta ini? Lantas apa lagi yang harus dia risaukan.

Bismillahi tawakkaltu 'allallah, laa hawla walaa quwwata illa billah.

Kening Agus Rahman berkerut, membaca pesan singkat dari Surya yang mengatakan bahwa Hauzan mengundurkan diri dari rumah sakitnya. Dalam ingatan Agus, Hauzan belum sekalipun membicarakan perihal ini kepadanya. Apa mungkin putra sulungnya ini telah bercerita dengan mamanya? Agus hanya bisa mencarai nama istrinya di dalam phonebook kemudian bertanya.

Yang mencengangkan, Rien juga menyampaikan keterkejutannya. Sama seperti yang dirasakan oleh Agus Rahman, rasanya memang ada yang mengganjal dengan putra mereka namun belum dibicarakan. Atau memang Hauzan sengaja menyembunyikannya.

"Jangan-jangan karena rencana perjodohan yang ditawarkan oleh mas Surya, Ma?"

"Itu juga mengapa papa dari awal tidak menyampaikan yang sebenarnya bahwa Hauzan__" kata Rien.

"Memangnya mama mau Hauzan dengan anak desa itu?"

"Nuha Pa namanya, dia baik dan tidak ada yang salah dengan dia. Memangnya mengapa?" tanya Rien.

"Dia tidak mungkin memberikan keturunan untuk Hauzan Ma. Apa mama tidak berpikir kalau Hauzan itu putra kita satu-satunya. Sebenarnya jika dia mundur dari dokter papa lebih senang karena nantinya akan papa ajak untuk bisa mengelola perusahaan bersama."

"Hauzan memang anak kita Pa, tapi apa adil buat dia jika kita memaksakan sesuatu yang tidak disukainya?"

"Dia keturunan kita loh Ma." Mungkin suara Agus sudah mulai meninggi. Rien tahu dengan pasti, apa yang dirasakan oleh suaminya. Namun menjodohkan dengan Imelda sesungguhnya bukanlah keputusan yang tepat saat Hauzan telah memilih untuk menjatuhkan hati kepada wanita lain.

"Tidak ada jaminan juga Imelda akan memberikan keturunan dengan menikahi Hauzan."

"Mama, mengapa harus mengucapkan itu. Itu artinya mama meragukan Hauzan."

Tidak ada yang tahu bagaimana indahnya kehidupan kita di masa mendatang. Nabi sekalipun, begitu juga dengan Agus dan Rien.

Hauzan tentu saja terdiam saat tiba di rumah dan tatapan mata menghunus tajam yang dipamerkan oleh papanya. Tidak ada sanggahan atas semua kalimat yang keluar dari bibir papanya. Hauzan bisa menerima dengan tangan terbuka namun saat nama Ainuha menjadi buah bibir diantara mereka untuk bahasan selanjutnya, mungkin inilah saat yang paling tepat untuk Hauzan mengungkapkan semuanya.

"Zan sudah melamar Ai, Pa." Singkat namun langsung membungkam papanya. Bahkan Rien ikut terkejut mendengar pengakuan Hauzan. Mengapa masalah sepenting ini tidak Hauzan bicarakan terlebih dulu kepada mereka.

"Dan Ai telah menerima pinangan Zan di hari yang sama saat keluarga dr. Imelda berkunjung ke rumah kita." Lanjut Hauzan menyelesaikan kalimatnya.

"Mengapa sampai mama tidak mengetahui ini?"

"Maaf Ma, tapi suasananya begitu genting saat itu. Keesokan harinya, dr. Imelda menyebarkan rumor bahwa sebentar lagi kami akan menikah. Zan harus menyelesaikan terlebih dulu semuanya dengan Ai, dan mengundurkan diri adalah keputusan paling baik untuk mengakhirkan semuanya."

"Bodoh kamu Hauzan." Ucap Agus Rahman.

Hauzan tetap pada pendiriannya meski Agus memberikan banyak argumentasi, masa depan dan harapan tentang keluarga mereka.

"Itu hanya soal dunia Papa, tujuan Hauzan kini sudah berubah sejak Zan mengenal Ai lebih dekat."

"Yang kamu kata mencari jati diri dengan mengenal Tuhanmu itu?" tanya Agus dengan senyum sinisnya.

"Papa__" kompak suara Hauzan dan Rien bersamaan.

"Sejak kapan Mama percaya dengan Tuhan. Kita ini berusaha dengan tenaga loh Ma, bukan hanya dengan doa kepada Tuhan saja." Jawab Agus yang dijawab gelengan kepala oleh Rien. Sepertinya laki-laki yang dia sebut sebagai suami ini telah jauh melangkah dari apa yang kini diam-diam mulai Rien pelajari kembali.

Melihat Hauzan dan Renata yang mulai berubah. Menjadi anak yang tidak lagi membantah tapi lebih banyak diam jika tidak setuju dengan apa yang mereka bicarakan. Sikap lembut yang mungkin sedikit demi sedikit mengetuk nurani seorang Rien Anjani untuk berbenah.

Meski dia belum mengenakan jilbab dengan benar, setidaknya kini mulai diawali dengan mengenakan penutup kepala. Baginya untuk menutup sempurna dia masih membutuhkan proses. Beberapa kali mengikuti majlis taklim ibu-ibu juga membuat hatinya semakin tenang.

"Apa Papa lupa sehat itu siapa yang memberikan?" tanya Hauzan.

🍒🍒

Menyelesaikan pembayaran pinalty dan mengemas barang-barang pribadinya. Pilu, sedih dan tentu saja sangat berat. Setidaknya ruangan ini telah menjadi saksi perjuangan Hauzan untuk bisa menjadi dokter bertangan dingin seperti yang selama ini julukan diberikan kepadanya.

Beberapa kali memandang ruangan yang tidak lebih dari kamar tidurnya ini membuat matanya memerah, hatinya mencelos dan seolah berkata enggan untuk ditinggalkan.

Apa hendak dikata, diapun juga harus tetap berjuang untuk dirinya, hidupnya juga hidup setelah matinya.

Pilihan untuk berjuang mempertahankan hubungan dengan orang-orang yang dicintai dan mencintai adalah jalan yang telah dipilih Hauzan. Hal ini memang tidak mudah, seberat apa pun terjalnya jalan yang harus dilalui rasanya  dengan ini dia bisa belajar melepaskan keinginan untuk memuaskan semua orang.

Ekspektasi papanya bukanlah sesuatu yang harus dia penuhi. Hauzan mulai belajar untuk memilih melepaskan orang-orang yang tidak baik baginya dan tidak akan mengizinkan mereka untuk terus berada di hidupnya. Bukan berarti dia memilih untuk melepaskan Papanya. Hanya saja melepaskan diri dari lingkaran yang kemungkinan akan menjerat kehidupannya di masa mendatang. Tawanan tanpa ada kepastian pembebasan atas semua hak asasinya. Pemasungan terselubung atas dasar perjodohan yang sungguh harus dia hindari secepatnya.

Dalam kesibukannya tiba-tiba Hauzan tersentak dengan suara decitan pintu dan sapaan menggelegar yang membuat kepalanya seketika menoleh ke arah sumber suara.

"Keputusan macam apa seperti ini. Tidak, saya tidak akan menyetujuinya. Kamu akan tetap bekerja di sini atau tidak akan ada rumah sakit yang akan menerimamu sebagai tenaga paramedis di luar sana." Hauzan hanya tersenyum hambar. Ini sudah masuk ke dalam perhitungannya. Apa pun itu Hauzan telah menyakinkan diri.

Bukankah Allah maha kaya, mengapa dia harus takut hanya dengan ancaman hambanya yang terlalu sombong itu?

"Maafkan saya Pak Surya. Keputusan saya sudah bulat, terlebih saya juga telah melunasi pinalty yang memang seharusnya saya bayar jika mengundurkan diri sebelum kontrak yang disepakati berakhir." Jawab Hauzan tegas namun tetap sopan.

"Apa kamu pikir aku akan melihat itu, uang senilai itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan masa depan anak saya. Kamu harus menikah dengannya." Kata Surya.

"Maaf, saya tidak bisa."

"Anak saya cantik, pintar dan banyak laki-laki yang menginginkan menjadikan dia sebagai istrinya." Kata Surya dengan nada sedikit tinggi.

"Jika begitu, mengapa tidak anda nikahkan saja putri anda dengan salah satu diantara mereka?" jawab Hauzan masih dengan nada yang sama, datar.

"Lancang sekali bicaramu anak muda. Kamu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa."

"Maaf tapi sepertinya, saya telah selesai berkemas Pak Surya. Saya mohon diri, terima kasih telah diberikan kesempatan untuk bisa menolong orang di rumah sakit ini." Kata Hauzan yang menundukkan sedikit badannya ke depan dan segera berlalu sambil membawa kardus yang berisi barang pribadinya.

"Tidak akan ada rumah sakit yang menerimamu."

Hauzan berhenti dan berkata tanpa menolehkan kepala. Laki-laki paruh baya yang sedang bersamanya ini memang harus di hormati sebagai orang yang lebih tua darinya. Tapi sikap arogansiannya menekan ego Hauzan sebagai seorang laki-laki yang merasa direndahkan.

"Masih ada Allah yang maha kaya menjamin hidup saya ke depan. Assalamu'alaikum."

Geram yang semakin memuncak, Surya tidak bisa menerima penghinaan ini. Dengan secepat kilat dia memainkan gawainya. Menghubungi seseorang yang bisa diandalkan untuk melakukan banyak hal untuk membantunya.

"Tutup semua akses pekerjaan atas nama dr. Hauzan Falabia."

Dengan nafas terengah, Surya mengepalkan tangannya. Tidak banyak yang dia tahu tentang Hauzan. Dokter ramah itu memang sangat kharismatik dalam hal pekerjaan namun sangat sulit di tembus tentang masalah pribadinya. Bahkan siapa saja wanita yang tengah dekat dengannya tidak bisa terendus oleh biang gosip di rumah sakit tempat Hauzan bekerja.

Jika profesi dokter kini sudah menjadi sesuatu yang bisa diintervensi pihak luar dengan begitu mudahnya lantas apa kabar kemanusiaan yang menjadi semboyan utama tangan-tangan dingin itu mendarmakan ilmunya?

🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

🍒🍒

Blitar, 01 Februari 2020

*Sorry for typo*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top