09 🏈 Menentukan Langkah
🍒🍒
Hauzan merasakan perbedaan yang begitu berarti. Benar kata Renata, setelah Hauzan berpindah haluan untuk lebih mengenal Tuhannya, hidupnya benar-benar tenang. Hafalan doa-doanya juga mulai banyak. Jangan lupakan bahwa Hauzan kini selalu menjadi makmum di barisan pertama setiap sholat wajib lima waktu di masjid rumah sakit meski dia sedang sibuk menjalankan tugasnya.
Tahu bahwa pekerjaan tidak akan pernah ada habisnya. Tetapi panggilan Allah yang utama. Perubahan fisik yang begitu kentara adalah dia kini mulai enggan untuk menebas habis rambut-rambut halus di dagunya. Hanya sekedar dirapikan namun masih terlihat jelas rambut-rambut itu tumbuh dengan suburnya.
Penampilan juga mulai berubah. Jika dulu dia pantang untuk memotong celana panjangnya ketika dia membeli karena memang sudah proporsional. Kini Hauzan tahu bahwa isbal sangat dilarang dalam islam, adalah kesombongan yang ada dalam setiap isbal. Itu sebabnya Hauzan mulai memotong panjang celananya dan kini selalu terlihat mata kaki di setiap penampilannya.
"dr. Hauzan tadi berangkat dari rumah kebanjiran?" itu ledekan pertama yang dia dengar saat penampilan barunya di publikasikan ke khalayak. Sepertinya memang aneh tapi itulah sunnah.
Hauzan sudah mendapatkan nasihat dari Ainuha sebelumnya. Jalan hijrahnya untuk mendekat kepada Allah pasti akan menemui bebatuan, terjal dan tidak selalu mulus. Entah itu dari masyarakat, teman ataupun saudara. Bersyukurlah, Hauzan tidak sendiri di rumah ada Renata bersamanya. Berdua mereka belajar untuk bisa memperbaiki diri.
Tidak perlu menjawab, cukup dengan senyuman dan semua akan tahu bahwa kita memang telah berubah. Hijrah itu bukan hanya soal penampilan dan pakaian. Hijrah itu juga tentang hati, menjalankan sunnah sebagai hal yang sayang untuk ditinggalkan mengingat pahalanya untuk kita. Jika dulu mungkin kita bisa berujar bahwa meninggalkan sunnah itu tidak berdosa namun setelah berhijrah pasti akan sayang untuk tidak melakukannya. Sunnah itu pulalah yang nanti bisa menambal apa-apa yang kurang dari wajib kita.
"dr. Hauzan, tangan saya tidak korengan loh. Memangnya kenapa dengan salaman sekarang." Salah satu staf wanita mencoba bercanda seperti itu kala Hauzan memilih untuk menolak uluran tangannya.
Hauzan tahu, itu tidaklah mudah tapi setidaknya dia mencoba tentang apa yang telah dia terima dari Ainuha. Ternyata selama ini dia banyak sekali melakukan kekeliruan. Ya, karena memang Hauzan tidak berusaha untuk mendekat. Hidayah datang tak terduga, bahkan lewat orang yang justru dia sakiti awalnya. Hingga kini merangkulnya untuk berdiri dan berjalan mencari jati diri untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk bertemu dengan Allah nanti.
Sudahkah Hauzan secerdas itu? Sudah siapkah dia dengan kendaraannya untuk membawa pasangan hidupnya ke surganya Allah kelak?
"Ai__" suara Hauzan tercekat.
"Iya?" Ainuha yang mulai bisa menerima kehadiran Hauzan secara perlahan mencoba untuk menerka apa yang ingin disampaikan oleh lelaki yang kini telah akrab dengan keluarganya.
"Aku__" Hauzan sepertinya ragu ingin mengatakan namun dia tidak ingin menyimpannya sendirian. "Aku ingin kita segera halal. Agar tidak lagi merasa canggung untuk berkunjung. Ayah tahu, tapi bagaimana dengan tetangga di sini, maaf di sini desa beda dengan di kota. Orang-orang disini cenderung rasa keponya lebih tinggi daripada orang kota seperti kami. Tapi Ai__"
Apakah ini berarti lamaran Hauzan untuk Ainuha?
Sepertinya memang benar apa yang dikatakan Hauzan. Hidup di desa itu sangat rentan. Meski Hauzan selalu ditemani Renata dan Rahadi selalu menemani juga saat Ainuha menjelaskan beberapa hal-hal penting. Sesekali justru Rahadi mengkoreksi, intinya mereka berempat bertalabul ilmi. Apa yang pernah Ainuha dapatkan dari pondok pesantren disampaikan ulang kepada Hauzan dan Renata.
Namun mendengar akhir kalimat yang diucapkan Hauzan seolah menggantung membuat hati Ainuha teremas. Entahlah, mungkin rasa ketakutan jika Hauzan tidak akan menikahinya mengingat apa yang dialami Ainuha dan vonis dokter untuknya. Ataukah karena Ainuha telah menaruh harapnya dan membuka hati untuk mencintai Hauzan?
Kening Ainuha berkerut, menantikan lanjutan kalimat Hauzan yang menggantung. Namun hingga satu menit berlalu sepertinya Hauzan masih bungkam. Hingga akhirnya Ainuha memilih untuk bertanya.
"Mas__?"
"Maaf__Ai, aku bahagia sekali dengan keadaanku sekarang. Tidak pernah terpikirkan dahulu sampai aku berada di titik ini sekarang. Dan semua itu kamu yang membukakan jalannya." Kata Hauzan.
Belum menjawab penasaran Nuha mengenai apa yang digantung Hauzan. "Lantas?"
"Aku yang butuh Allah, itu sebabnya aku berusaha mendekat. Entah bagaimana aku harus mengucapkan terimakasih kepadamu yang telah membuka mata hatiku meskipun awalnya aku salah menempatkan niatku. Tapi dengan berjalannya waktu aku benar-benar ingin berubah karena Allah yang memerintahkan seperti itu. Aku bahagia, dan bersyukur kepada Allah yang telah mempertemukan kita. Hanya saja semakin kesini mengapa justru aku semakin ragu."
"Ragu?"
"Ragu, apakah aku pantas untuk bisa menjadi imam untukmu. Sedangkan kamu begitu sempurna dimataku. Aku benar ingin menikahimu, tapi bersediakah kamu menerimaku yang jauh dari kata sempurna ini? Aku takut nanti tidak bisa menjadi imam terbaik untukmu. Tapi aku ingin sekali menikahimu, wallahi."
Air mata Hauzan menetes bersamaan dengan air mata Ainuha. Sempurna di mata Hauzan? Padahal Nuha tidak pernah merasa seperti itu.
Perubahan signifikan yang ditunjukkan oleh Hauzan cukup memberikan bukti. Nuha tinggal menunggu semua siap dan dia akan mengiyakannya, karena sepertinya petunjuk Allah memang mengarah kepada laki-laki yang dekat dengannya ini.
"Tidak ada yang sempurna kecuali Allah Mas. Aku juga bukan kesempurnaan, masih banyak kekurangannya yang mungkin Mas Hauzan belum ketahui." Jawab Nuha.
"Jadi__?"
"Hmmm__?" pipi Ainuha sudah merona saat mendengar pertanyaan Hauzan.
"Kamu menerimanya? Bersedia menjadi istri, terus membantuku istiqomah di jalan Allah dan menjadi ibu dari anak-anakku kelak?"
Tidak ada yang salah dengan pertanyaan Hauzan. Semuanya biasa saja namun membuat butiran-butiran bening mengalir semakin deras di pipi Ainuha. Bukan karena dia menolak, tapi permintaan terakhir Hauzan membuat hatinya semakin menciut. Menjadi ibu, sedangkan dokter telah menjatuhkan vonis untuknya.
Dokter juga manusia bukan, dia bukan Tuhan yang bisa menentukan hidup dan mati seseorang. Rezeki dan musibah, atau cobaan sedih serta bahagia. Dokter hanyalah manusia, tapi mengapa seolah Nuha menutup telinga untuk mengerti akan hal itu. Bukankah Hauzan juga seorang dokter? Lalu dimana salahnya?
"Mas___"
"Eh kamu mengapa menangis seperti itu? Apakah aku salah bicara? Maaf." Hauzan merasa tidak enak sendiri melihat air mata yang mengalir di pipi Nuha.
"Nggak Mas, aku nggak papa. Hanya saja__"
"Kamu belum siap?" Nuha menggelengkan kepalanya. "Kamu telah memiliki calon lain?" Nuha kembali menggelengkan kepalanya. Hauzan menjadi bingung kemudian dia bertanya lagi. "Kamu menolakku?" masih, Nuha menggelengkan kepalanya dan cukup membuat bibir Hauzan tertarik ke atas.
Jika Nuha menggelengkan kepala saat Hauzan bertanya 'apakah kamu menolakku?' Itu artinya Nuha menerimanya. Tapi apa yang membuat dia menangis tersedu seperti itu?
"Kamu kenapa?"
"Mas__" suara Nuha memelan kemudian dengan terbata dia mengatakan semuanya. "Jika Allah mentakdirkan aku tidak bisa menjadi seorang ibu?"
"Subhanallah__" Hauzan mengusap mukanya dengan kasar. Dia baru menyadari bahwa kalimat itu begitu sensitif untuk Nuha. "Jika ternyata aku yang bermasalah, apa kamu juga akan meninggalkanku?"
"Setidaknya aku telah memeriksakannya ke dokter Mas. Orang tua Mas Hauzan pasti menginginkan keturunan, apalagi Mas Hauzan putra laki-laki satu-satunya di keluarga." Jawab Nuha dengan kepala tertunduk. Mungkin itulah ketakutan terbesar dalam hidup Nuha, tidak bisa membahagiakan suami karena masalah keturunan.
"Itu artinya kita dititipkan rezeki yang lebih oleh Allah untuk mengasuh anak yatim piatu. Anak itu rezeki Allah yang atur Ai, kita tidak boleh suudzon dengan Allah bukan? Wayu'adz-dzibal munaafiqiina wal munaafiqaati wal musyrikiina wal musyrikaatizh-zhaanniina billahi, dan supaya Allah mengazab orang-orang munafik serta musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Al Fath ayat 6."
"Mashaallah, Mas Hauzan__" Nuha memandang takjub kemudian langsung menunduk dan beristighfar karena mengagumi ciptaan Allah yang belum halal baginya. Tapi hatinya terlampau bahagia mendengarkan Hauzan mengucapkan semuanya dengan benar dan kesungguhan.
"Aku belajar darimu Ai, ayolah jangan mengotori hijrahku dengan melakukan itu, tolong. Ainuha Soraiya, will you marry me?"
Tidak perlu bertele-tele, Nuha tidak ingin menggantungkan sesuatu. Dia merasa Hauzan cukup pantas untuk menjadi imam. Belajar sambil berjalan, saling melengkapkan dan saling menutup kekurangan. Nuha pun menganggukkan kepalanya mantap. "Bismillahirohmanirrohiim, inshaallah atas izin Allah aku bersedia Mas."
"Alhamdulillah." Suara serempak dari bibir Renata dan Rahadi mengucapkan hamdalah secara bersamaan. Mereka memang duduk tidak jauh dari Hauzan dan Nuha sehingga cukup bisa tahu dan mendengar apa yang Hauzan dan Nuha bicarakan.
Rona merah menghiasi wajah Ainuha dan Hauzan. Pinangannya diterima setelah sekian lama dan sebelum Hauzan pamit kepada Rahadi, laki-laki itu memberikan sesuatu kepada Rahadi. "Om, saya nitip ini untuk dipakaikan kepada Ainuha. Setidaknya sampai dengan kedua orang tua saya datang kemari untuk kunjungan khitbah resminya."
Sebuah cincin bertahta permata terlihat begitu cantik jika dipakai di jari Ainuha. Rahadi kemudian menepuk bahu Hauzan kemudian merengkuhnya ke dalam pelukan.
Rahadi adalah saksi, bagaimana Hauzan jatuh dan bangun mencari jati diri untuk melakukan suatu perubahan. Berperang dengan akal untuk menerima sebuah ketentuan. Menjadi tempat curhat saat Hauzan diremehkan oleh lingkungannya karena perubahan yang begitu mencolok.
"Om bangga denganmu, dan inshaallah ridho melepaskan Ainuha untuk menjadi pendampingmu. Dari awal Om sudah yakin bahwa kamu bukanlah orang salah, hanya butuh orang yang bisa mengajakmu untuk menjadi lebih baik lagi."
"Terima kasih Om, telah menerima saya dengan semua kekurangan saya. Saya berjanji untuk tidak membuat Ai menangis." Jawab Hauzan.
Mengharukan dan juga begitu menegangkan tetapi sangat membahagiakan setelahnya. Hauzan memacu pedal gas mobilnya dengan baik. Suasana hati jelas sekali mempengaruhi moodnya sore ini. Ingin rasanya cepat sampai di rumah dan memberikan kabar membahagiakan ini kepada kedua orang tuanya.
Hingga akhirnya menjelang maghrib Hauzan telah sampai di halaman rumahnya.
Berpikir bahwa ada tamu karena sebuah mobil yang terparkir di halaman rumahnya membuatnya mengurungkan niat untuk masuk rumah melalui pintu utama. Berjalan beriringan dengan Renata, mereka memilih masuk melalui pintu samping yang langsung tembus dengan halaman belakang rumah tersebut.
"Siapa Bi?" tanya Hauzan kepada Bi Mirah, pembantu di rumahnya.
"Temannya Nyonya, Mas."
"Sudah lama?"
"Sudah, sepertinya nungguin Mas Hauzan pulang. Tadi Nyonya nyariin Mas Hauzan katanya di telpon HP Mas Hauzan mati, HPnya mbak Rena malah tertinggal di rumah." Bi Mirah memang sudah sangat lama ikut di keluarga Hauzan, mungkin sejak Renata kecil sehingga sangat hapal dengan 2 orang asuhannya tersebut.
Hauzan memilih untuk masuk ke kamar. Membersihkan dan mempersiapkan diri untuk menunaikan kewajibannya karena sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang.
Memperbanyak hafalannya, Hauzan membuka AlQur'an dan membaca beberapa baris kemudian mencoba untuk menghapalkannya. Meski mungkin tidak sebaik anak-anak menghapalnya namun dia pantang untuk menyerah.
Hingga adzan maghrib benar-benar terdengar dari masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Hauzan memilih keluar dari kamarnya, lengkap dengan mengenakan pakaian koko lengan pendek dan sirwal berwarna putih. Menuruni tangga dan menangkap 5 orang yang berada di ruang makan sedang menikmati makan bersama. Renata menyusul di belakang Hauzan. Dia juga sudah siap dengan mukena dan juga sajadah yang tersampir di lengannya.
"Loh, Hauzan dan Rena sudah pulang?" ucap Rien saat melihat kedua putra-putrinya berjalan menuruni tangga. "Sini kita makan dulu. Bi, Bi Mirah siapkan piring untuk Hauzan dan Rena."
"Maaf Ma, kami harus ke masjid dulu untuk sholat maghrib." Jawab Hauzan yang membuat Rien sedikit kecewa. Hauzan tidak kenal dengan tamu mamanya satu diantara tiga orang itu yang dia kenali wajahnya, Imelda. Ya, dr. Imelda Fristaviska duduk diantara mereka.
"Ah, jarang-jarang loh om Surya dan tante Rain kemari. By the way, kamu sama Imelda ternyata satu rumah sakit ya? Mengapa tidak bilang sama mama kalau ternyata kalian itu bekerja di rumah sakit yang sama, mana spesialisnya sama pula." Kata Rien.
"Tanda-tanda jodoh sepertinya." Sambut Surya yang dibalas senyuman oleh Agus Rahman.
"Maaf Ma, Hauzan sholat dulu. Mama tidak sholat? Papa?" seperti tersengat listrik. Pertanyaan Hauzan untuk sang ibunda membuatnya gelagapan.
"Emm, Mama sedang tidak sholat." Alasan wanita untuk menutupi rasa malunya di depan orang lain. Menutupi keburukan dengan tidak melakukan perintahNya. Hauzan pernah berada di titik itu dan segala macam alasan dia pakai untuk bisa menutupinya.
"Mas Agus, bisa nanti kan? Maghrib masih lama juga kok ada 45 menit kita bisa melanjutkan pembicaraan yang tadi." Hauzan hanya menggelengkan kepalanya mendengar suara lelaki setengah baya yang kemungkinan dimaksud Mamanya memiliki nama Surya tadi.
Tanpa mengurangi penghormatan kepada tamu kedua orang tuanya. Hauzan pamit dan segera berlalu. Rasanya ingin sekali dia merangkul Papa dan Mamanya untuk bisa kembali ke jalan yang benar, setidaknya dengan menjalankan perintah wajibnya. Bukan hanya bersikap baik kepada manusia, tapi juga harus bersyukur kepada Allah dengan menjalankan perintaNya.
Hauzan tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa mendatang. Namun dia selalu berdoa, meminta supaya Allah memberikan kemudahan jalan dan menambahkan kesabaran hatinya. Batu yang keras pun akan berlubang jika ditetesi air setiap saat. Itu pula yang diharapkan Hauzan untuk kedua orang tuanya.
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
🍒🍒
Selamat berhari jum'ah jangan lupakan AlKahf untuk hari ini.
Blitar, 17 Januari 2020
*Sorry for typo*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top