08 🏈 Saat Hati Bicara

🍒🍒

Tidak perlu banyak bicara. Allah menciptakan dua tangan, dua telinga, dua mata dan satu mulut itu memang karena kita harus lebih banyak bekerja, mendengar, melihat daripada bicara.

Hauzan, bukanlah orang bodoh yang tidak mengerti seperti apa ingin dari Ainuha. Kedua orang tuanya tidak mempermasalahkan, justru sekarang bagi Hauzan meyakinkan Nuha adalah hal terpenting dalam hidupnya.

Pekerjaan yang luar biasa memeras tenaganya tidak serta merta bisa membuatnya lupa kepada wanita yang baru saja membuat dunianya terpusat seketika.

Perlahan tangan Hauzan membuka catatan yang sengaja di tuliskan Nuha setelah tugas utamanya terselesaikan. Tata cara tentang bersuci berikut dengan hadist yang mendasarinya. Bersuci bukan hanya sekedar akan melaksanakan panggilan Allah, tetapi Nuha juga menuliskan apa saja yang mewajibkan seseorang untuk bersuci. Termasuk setelah memperoleh mimpi yang indah di malam hari.

Bibir Hauzan tertarik ke atas saat membaca catatan Nuha dengan tanda bintang itu.

"Hingga sekecil ini pun tak luput kau beritahukan kepadaku. Aku tahu kamu adalah wanita yang memang dipilih untuk merubahku, Ai." Lirih suara Hauzan memahami maksud Nuha.

Kembali Hauzan membaca dengan seksama. Sedikit mempraktekkan dan menghapalkan tentunya. Karena tidak mungkin dia berwudhu dengan membawa catatan kecil itu.

Segala niat ada di dalam hati manusia, tidak perlu dilafalkan karena sesungguhnya Allah mengetahui apa yang sesungguhnya tersembunyi di dalam hati setiap hambanya. Hanya ucapan bismillah untuk mengawali dan mengakhirkan dengan bacaan doa setelah berwudhu.

Halaman selanjutnya adalah tentang bagaimana tata cara sholat. Posisi tangan pada saat takbiratul ikhram, posisi punggung saat melakukan ruku' dan bagaimana sesungguhnya seseorang hendak mengambil sujudnya.

Tujuh titik tubuh manusia yang harus menyentuh tempat sujudnya. Namun apakah kedua lutut yang didahulukan ataukah kedua tangan terlebih dahulu yang menyentuh bumi. Nuha menjelaskan berdasarkan beberapa hadist yang telah dikajinya.

Hauzan kembali menggelengkan kepala, dulu dia tidak pernah berpikir akan hal ini. Tapi semenjak mengenal Nuha sepertinya dia merasa menjadi manusia paling bodoh di dunia. Hal-hal kecil yang penting seperti itu bahkan tidak pernah terlintas di benaknya. Padahal dia tahu semua rezeki dan kesehatannya adalah anugerah dari Allah, pemilik hidup dan matinya. Mengapa justru tidak sekalipun dia berterimakasih kepada Allah atas semua nikmat yang telah diberikan kepadaNya selama ini?

Masih teringat dalam kenangnya saat bibir mungil Nuha bertanya, 'Andaikata semua nikmat sehat yang Mas Hauzan terima diambil oleh Allah seketika. Siapa yang akan membantu? Apa hanya karena Mas Hauzan seorang dokter lantas merasa bisa mengobatinya? Harta yang mungkin sekarang Mas Hauzan banggakan bisa jadi akan habis untuk biaya pengobatan. Itu pun masih belum juga ingat bahwa Allahlah yang paling berkuasa. Kisah Nabi Ayub sebagai contohnya. Beliau dicoba dengan sakit puluhan tahun bahkan harus ditinggalkan seluruh keluarganya. Tapi masih tetap dengan syukurnya memuji kepada Allah, beliau tetap beriman kepadaNya. Beliau yang dulu kaya raya dibangrutkan oleh Allah, putranya satu persatu diambil oleh Allah hingga tidak bersisa.'

Hauzan terus mengingat kisah pembangun jiwa yang diceritakan pertama kali oleh wanita yang pernah dia hina karena penampilannya. 'Nabi Ayub yang semula gagah, sehat, ditimpa penyakit yang tidak ada obatnya. Bahkan lebih memprihatinkan, badan Nabi Ayub membusuk sehingga banyak belatung menempel di tubuhnya. Istri-istrinya, satu persatu meninggalkannya. Namun satu orang yang paling cantik diantaranya justru tetap setia berada di sampingnya.'

Cerita Nuha memang sarat akan sejuta makna. Hauzan bahkan hanya menggunakan kedua telinganya untuk mendengarkan tanpa ingin membuka bibirnya untuk berbicara. Dia memberikan sepenuhnya hak bicara itu untuk Ainuha.

Nabi Ayub yang akhirnya diasingkan masyarakat padahal semula mereka memuja dan menghormati pada awalnya. Hidup terpencil di sebuah gua namun Nabi Ayub tetap ingat dan patuh kepada Allah. Dia selalu rajin berdoa meminta kesembuhan dan ketabahan menerima segala ujian hidup. Setiap kali akan melaksanakan shalat, dia mencabut puluhan belatung yang menempel di lukanya. Meski begitu, Nabi Ayub tak pernah membunuh belatung-belatung itu. Karena pantang baginya membunuh sesama makhluk ciptaan Allah.

Suatu hari Nabi Ayub dan istrinya tak memiliki apapun untuk di makan. Mereka kelaparan, namun tetap tawakal dan bersabar. Dalam keadaan seperti itu, istri mana yang tega melihat pasangan jiwanya semakin parah sakitnya. Kemudian istri Nabi Ayub itu pun ke pasar untuk menjual rambutnya agar bisa membeli makanan.

Apa yang terjadi setelahnya? Nabi Ayub justru tidak gembira dengan apa yang telah dilakukan istrinya. Dia marah karena istrinya telah menyalahi hukum Allah dengan menjual rambut demi makanan. Nabi Ayub bersumpah, bila Allah memberi kesembuhan dia akan menghukum istrinya mencambuk 100 kali.

Allah mendengar semua doa dan sumpah Nabi Ayub. Lantas memberikan kesembuhan dan meluluskan Nabi Ayub dari ujianNya. Menerima itu semua bukan berarti Nabi Ayub lupa akan sumpahnya dengan menghukum istrinya dengan mencambuk 100 kali. Hatinya teremas manakala mengingat bagimana ketulusan dan kesalehan istrinya, sebagai suami dia tidak akan pernah tega melakukan itu kepada wanita yang telah merawatnya di masa paling sulit hingga akhirnya Allah yang maha penyayang mengajari bagaimana menghukum tanpa menyakiti yaitu dengan 100 lidi diikat menjadi sapu lantas dipukulkan dengan keras. Ini berarti telah memukul 100 kali sekaligus.

Kembali Hauzan menerawang kepada sosok Ainuha. Seorang guru SD di sebuah desa yang memang jauh sekali dengan peradaban kota yang membawa masyarakatnya untuk berpikir dan bersikap modern. Kisah Nabi Ayub yang bisa melalui ujian dengan tetap bersyukur dengan iman dan sabarnya.

"Allah mempertemukan kita pasti juga bukan tanpa alasan Ai, jika lewat dirimu aku bisa mengenal Tuhanku dengan lebih dekat. Maka dengan itu jugalah aku akan mendekatkan hatiku kepadaNya untuk memintamu melengkapkan kehidupanku." Hauzan harus segera menghapal catatan kecil dari Nuha itu. Setidaknya itu yang paling utama, yaitu bersuci dan juga sholat untuk memenuhi panggilan wajib dari Allah Azza wa Jalla.

Bukan soal yang sulit bagi Hauzan untuk menghapal, ratusan obat saja bisa dia hapal diluar kepala untuk membantu pasiennya. Hanya saja dia ini yang berusaha untuk bisa tetap istiqomah menjalani proses perbaikan hati dan budi pekertinya. Habluminnannaas dan Habluminnallah harusnya memanglah seiring dan seimbang.

Hingga pintu ruangannya dibuka seseorang saat Hauzan bangkit dari duduknya. "Maaf Dokter Hauzan, siang ini ada undangan ke rapat direksi rumah sakit." Suara seorang helper mengantarkan undangan kepada Hauzan.

"Ada apa ya Mas Andre?"

"Sepertinya ada penyambutan dan pengenalan dokter baru yang akan bergabung di rumah sakit kita."

Jawaban Andre sudah cukup memenuhi rasa ingin tahu Hauzan. Upacara simbolis yang terkesan membosankan menurut Hauzan. Tapi mau bagaimana lagi, tuntutan dari sebuah management tempat dia bekerja. Kenal dengan partner kerja. Meski tanpa upacara penyambutan seperti itu mereka juga akan kenal dengan sendirinya. Karena tugas dan pekerjaan yang saling berkesinambungan.

"Baik, terima kasih Mas Andre." Hauzan melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih cukup setengah jam untuknya bersiap-siap. Sesungguhnya sore ini dia telah berjanji untuk bisa bertemu Nuha untuk mulai belajar sholat dan mengaji. Itu pun Hauzan harus rela merendahkan egonya meminta Renata untuk ikut serta. Namun acara mendadak yang tiba-tiba diadakan oleh rumah sakit membuatnya sedikit untuk memundurkan jadwalnya.

"Assalamu'alaikum Mas." Suara Nuha dibalik gawai yang kini telah menempel di telinga kanan Hauzan.

"Waalaikumsalam Ai. Sepertinya sore ini aku sedikit telat ya. Ada acara di rumah sakit karena ada dokter baru. Tapi inshaallah aku akan tetap ke rumahmu dengan Rena." Renata memang telah menyelesaikan tugasnya untuk KKN di desa Nuha namun dia tidak pernah keberatan jika diajak Hauzan untuk mengunjungi desa yang telah membuatnya berubah itu. Terlebih untuk bertemu dengan calon kakak iparnya.

Sebuah formalitas kerja, beramah tamah dengan rangkaian acaranya yang membosankan. Hauzan memang terkenal seorang dokter paling tegas dan tanpa banyak bicara tapi selalu cekatan dalam bertindak. Baik itu berkenaan dengan tindakan medis ataupun dengan hal yang sangat urgent dan harus diselesaikan dengan segera.

"Abang lama banget."

"Tunggu sebentar, ini lagi ada acara. Abang sudah menghubungi kak Nuha untuk datang terlambat." Jawab Hauzan sambil berbisik di ujung gawainya.

Sepertinya masih akan berlangsung lama dan Hauzan harus bisa mencari alasan keluar dari acara seremonial. Masalahnya sebelum dia berdiri untuk izin meninggalkan tempat tiba-tiba namanya di panggil dan diperkenalkan oleh kepala rumah sakit.

"dr. Hauzan Falabia, salah satu dokter terbaik yang kami punya. Sebagai sesama internist tentunya nati dr. Imelda akan banyak berhubungan dengan beliau." Di saat yang sama Hauzan berdiri untuk meminta izin keluar dari acara tersebut.

Dengan senyum khasnya Hauzan menampilkan performa terbaiknya. Hanya saja setelah melihat siapa dokter yang dimaksud matanya sedikit membulat. Seolah mengenal namun entah dimana, sebelah mata Hauzan memicing untuk berpikir dan ketika otaknya telah sinkron tiba-tiba matanya membulat sempurna. Bukankah wanita yang kini tengah berdiri menyambutnya adalah orang yang sama dengan yang ada di dalam foto yang diberikan mamanya beberapa minggu yang lalu?

dr. Imelda Fristaviska, sama seperti dengan wanita pada umumnya. Cantik, berpenampilan menarik dan senyum yang selalu menghiasi bibirnya bisa membuat hati pria meleleh seketika. Tapi tidak, sepertinya hati Hauzan tidak bergetar melihatnya.

Ah sudahlah, mungkin jika mama Rien mengetahuinya beliau pasti akan heboh untuk memperlihatkan semua kelebihan yang ada di dalam diri Imelda. Mengapa dunia harus sesempit daun kelor?

"dr. Hauzan tidak makan dulu?"

"Maaf Dok, saya masih ada keperluan di luar. Saya mohon izin." Setelah mengucapkan kalimat sakti itu Hauzan segera melesatkan diri.

Perjalanan satu setengah jam untuk bisa mencapai kediaman Nuha. Meski demikian tidak sedikit pun terasa jauh. Hauzan justru menikmatinya, bahkan dia sampai rela menutup jam prakteknya saat harus memenuhi janjinya kepada Ainuha.

Tidak ada yang pernah tahu memang apa yang tengah tersembunyi di dalam hati. Begitu pun dengan wanita yang kini tengah duduk di samping Hauzan. Sedari kenal dengan Ainuha, Renata memang banyak berubah. Terlebih dengan penampilannya. Gadis 21 tahun itu kini telah menutup rapat tubuhnya dengan pakaian yang memang diperintahkan untuk dipakai oleh setiap wanita.

"Bang, kalau boleh tahu nih. Sebenarnya motif Abang untuk mendekati Kak Nuha apaan sih. Ingat ya Bang, Kak Nuha tidak pernah berbuat salah kepada Abang. Kok Abang bisa sejahat itu sama dia?" tanya Rena saat mereka dalam perjalanan.

"Jahat gimana maksudmu?"

"Abang hanya menghindari perjodohan kan? Abang tidak mencintai kak Nuha kan? Lalu untuk apa Abang melakukan sandiwara ini? Kak Nuha juga punya hati kali Bang, awas saja kalau sampai Abang sakiti. Aku pasti akan buka suara di depan papa dan mama." Kata Rena lagi.

Menghindari perjodohan dan tidak mencintai Nuha? Benar tapi tidak sepenuhnya benar. Hauzan memang melakukan ini untuk menghindari perjodohannya dengan Imelda. Tapi tentang mencintai Nuha? Sepertinya saat ini sedang ditumbuhkan oleh Hauzan. Secepat itukah? Kadang hati tidak perlu berkompromi untuk bisa mengatakan iya saat segala rasa itu tiba-tiba datang dan menyapa.

"Abang tidak bersandiwara Renata. Tentang Ai, memang benar abang menghindari perjodohan yang ditawarkan oleh papa dan mama. Tapi tidak ada niat untuk menyakiti Ainuha, abang serius dengannya. Tentang cinta, abang yakin suatu saat nanti Ai juga perlahan akan mencintai abang begitu juga dengan abang." Jawab Hauzan dengan mata masih fokus di jalan raya.

"Berarti ada sesuatu yang istimewa dong dalam diri kak Nuha yang akhirnya membuat abang menjadi seserius ini, padahal abang baru kenal dan bahkan bertemu dengan kak Nuha bisa dihitung dengan jari tangan." Kata Renata.

"Permen yang di bungkus itu jauh lebih higienis daripada permen yang dibiarkan terbuka." Jawab Hauzan.

"Alhamdulillah, ya Rabb. Akhirnya Engkau berikan hidayah kepada abangku melalui calon kakak ipar." Suara Renata yang membuat tangan kiri Hauzan mengelus kepala adiknya.

Renata benar, mungkin Hauzan mulai mengenal Tuhannya melalui Ainuha. Tanpa dia tahu bagaimana awalnya hingga jalannya mengenal Allah begitu mulus, ditambah dengan hadiah jodohnya sekaligus semakin dekat.

"Kak Nuha memang istimewa, Bang. Di lihat dari sisi manapun dia tetap istimewa." Kata Renata.

Sepertinya memang Hauzan memilih untuk setuju lagi dengan pendapat Renata kali ini. Tentang cinta, Hauzan memilih untuk menghadirkannya segera.

Satu setengah jam berlalu dan disinilah mereka sekarang. Rumah Ainuha bersama Rahadi dan berbincang di beranda sambil menunggu Ainuha yang belum selesai mengajar ngaji di masjid.

"Nuha itu memang anak perempuan Om satu-satunya. Jadi sangat wajar kalau Om menginginkan yang terbaik untuknya. Nak Hauzan pasti sangat mengerti akan hal ini." Ucap Rahadi ketika mereka sedang berbincang.

Sesungguhnya pesan tersirat adalah Rahadi menginginkan lelaki yang mendekati putrinya tidak hanya memberikan PHP hingga membuat luka di hati putrinya. Setiap orang tua sepertinya akan melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh Rahadi. Melindungi putri mereka dari orang yang mungkin hanya mengambil keuntungan dari satu sisi saja.

"Om Rahadi, saya berjanji untuk tidak seperti itu." Jawab Hauzan.

"Buktikan dengan tindakanmu anak muda. Nuha itu memiliki hati yang sangat lembut, jika memang masih meragu sebaiknya Nak Hauzan tidak melanjutkan lebih dalam lagi." Kata Rahadi lagi.

"Om bisa pegang janji saya. Ini bukan tentang Ainuha tapi juga saya ingin menjadi orang baik yang lebih berguna dengan Ainuha sebagai pelengkapnya."

Benar kata orang jika seorang ayah bisa menjadi orang yang paling lembut untuk putrinya namun orang paling tegas kepada lelaki yang hendak memintanya menjadi pasangan hidupnya. Hauzan memahami, mungkin nanti dia akan berada di posisi Rahadi.

Bayangannya terlalu jauh, bahkan disaat Ainuha sendiri masih belum memberikan kepastian dan jawaban atas lamarannya. Hauzan pasti akan berusaha dengan sekuat tenaga, dan semoga itu tidak hanya bertepuk dengan sebelah tangannya saja. Berharap Ainuha juga melakukan hal yang sama.

Mengakhirkan lamunannya, Hauzan kini melihat senyum Ainuha yang merekah menyapanya saat dia telah sampai dari masjid.

"Saya pikir masih lama karena ada acara di rumah sakit Mas."

"Janji itu sama halnya dengan utang bukan?" jawab Hauzan yang memilih bertanya balik kepada Ainuha.

"Tapi bukan berarti kalau utang dibayar dengan janji ya Mas."

Keduanya terkekeh bersama. Renata melihat semua itu. Rahadi bahkan tersenyum tipis mendengar kelakar mereka berdua. Semoga semesta setuju bahwa Allah akan menyatukan mereka, semoga.

🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

🍒🍒

Selamat berhari jum'ah jangan lupakan AlKahf untuk hari ini.

Blitar, 10 Januari 2020

*Sorry for typo*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top