04 🏈 Dokter Gemblung
-- happy reading --
🍒🍒
Katakanlah bahwa Ibu adalah bidadari surga yang dikirimkan oleh Allah untuk menjaga, mendidik, dan membimbing anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang berguna bagi agama dan negara. Mempertaruhkan nyawa antara hidup dan mati dan memberikan kehidupan baru kepada sang buah hati. Maka tak heran jika kedudukan Ibu dianggap lebih mulia dibandingkan kedudukan Ayah. Wajar saja jika seorang Ibu dijuluki Bidadari Surga. Namun bukan berarti ayah tidak memiliki jasa, dengan ayah harusnya kehidupan setiap ibu bisa terjamin. Karena memang ayahlah yang memiliki peran sebagai kepala keluarga yang mencarikan nafkah untuk keluarganya.
Adakah yang masih meragukan itu?
Jaman sekarang justru semakin banyak pria yang lebih menyukai berteduh di bawah ketiak istri. Istri yang dengan sekuat tenaga berjuang untuk mencari penghidupan sementara suami dengan sangat bangganya melipat kaki dan berdiam diri di rumah.
Ah, apakah hidup akan menjadi selucu itu? Tidak. Pria harus bisa menjamin kehidupan keluarganya ke depan. Bukan hanya dengan melimpahi mereka dengan mewahnya materi yang didapatkan di dunia. Namun juga tentang kenyamanan hidup setelah mati di surga nanti dan ini justru banyak terlewatkan.
"Sebenarnya apa tujuanmu kemari Bang?" tanya Renata saat dia dan Hauzan telah berada di rumah kepala desa yang menjadi basecamenya bersama team KKN yang sedang melaksanakan tugas di desa Nuha.
Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Hauzan. Tatapannya masih menerawang jauh kedepan seolah ada sesuatu hal yang mengganggu kehidupannya. Sayangnya Hauzan tidak jauh lebih pintar dari sang adik untuk menyembunyikan perasaannya.
Mendapatkan waktu luang bagi seorang dokter seperti Hauzan itu sangatlah tidak mudah. Terlebih dia aktif di keorganisasian yang banyak menyelenggarakan acara kesehatan yang membuatnya terlihat jauh lebih sibuk dibanding lainnya. Namun melihatnya seolah tidak ingin pulang dan memilih berlama-lama di desa Nuha membuat kening Renata berkerut. Something wrong with her brother.
"Anything want to share?" tanya Rena kemudian setelah tidak mendapat jawaban dari kakaknya.
"Nothing."
"Kita itu hidup bersama sejak kecil Bang, so I know you so well. Kapan kamu butuh bicara namun memilih untuk diam. Apa karena Mama?" kata Rena yang membuat Hauzan menatapnya sangat dalam.
"Sejak kapan kamu jadi cenayang? Ini juga, kenapa sih harus pake taplak meja gini buat nutup kepala. Jelek kali Dek. Kamu nggak terlihat cantik lagi." Bukannya menjawab Hauzan justru mengomentari penampilan Renata yang baru.
"Abang ini sebenarnya muslim bukan sih? Harusnya Abang dukung dong adek Abang yang berusaha untuk merubah penampilannya sesuai dengan yang diperintahkan kepada setiap muslimah. Yah, meskipun belum bisa sepenuhnya memakai rok panjang karena satu dan lain hal." tidak mungkin bagi Renata untuk merubah semuanya karena jelas dia hanya membawa sebagian pakaiannya ke desa itu dan celana panjang yang ada di dalam kopernya.
Hauzan benar-benar memperhatikan penampilan baru Renata mulai dari atas sampai dengan ujung kakinya. Diam beberapa saat kemudian berkata, "Kamu ini orang Jawa, orang Indonesia loh. Tidak perlu menjadi orang lain untuk menunjukkan jati dirimu terlebih menjadi kearab-araban seperti temanmu yang sok__siapa namanya itu? Ainun? Ah, Aina atau siapalah itu. Pakaian kedodoran, hijab kedombrongan____"
Belum sampai Hauzan melanjutkan ucapannya Renata telah memotongnya. "Ainuha. Namanya Ainuha Soraiya. Dia seorang guru SD yang baru saja memperoleh penghargaan dari gubernur sebagai guru paling inovatif dan menerapkan pengajaran untuk menghafal dengan sangat mudah. Mungkin karena Kak Nuha lulusan pondok yang juga seorang tahfidzah. Mashaallah, sudah cantik, baik budinya, pinter masak, cekatan mengurus rumah tangga, dan lagi selalu menjaga pandangannya terhadap laki-laki."
Ungkapan rasa kagum yang digambarkan oleh Renata membuat Hauzan menaikkan sebelah alisnya. Renata sepertinya memang telah dekat dengan wanita yang ditemuinya beberapa saat lalu. Wanita yang menurutnya berpenampilan sangat kuno dan sangat tidak sedap untuk dipandang. Jika dia menginginkan untuk berhijab mengapa memilih untuk memakai hijab yang terlalu lebar? Kan banyak model hijab yang lebih trendy dan sedap untuk dipandang. Bagaimana laki-laki bisa menyukai dan memilih dia kalau aset apa yang dia punya tidak terlalu kelihatan. Dan apa lagi kata adiknya? Menjaga pandangan? Berbicara sambil menunduk itu seperti tidak menghargai siapa yang kita ajak bicara saja.
"Hijab kedombrongan itu maksud abang Jilbab yang dipakai kak Nuha untuk menutup auratnya?" ya iyalah Renata, apa lagi yang dimaksud Hauzan selain itu. Hauzan hanya menatap Renata tanpa menjawabnya. Rasanya pertanyaan retoris yang baru saja Rena tanyakan kepadanya tidak perlu dia jawab.
"Jika masih tertulis islam sebagai religi Abang di KTP, kapan terakhir Abang melakukan kewajiban sebagai seorang muslim? Sholat." Tepat disaat yang sama adzan maghrib berkumandang dan Renata memilih untuk meninggalkan Hauzan seorang diri karena dia harus segera mengambil wudhu untuk memenuhi panggilan Allah.
Hentakan maha dasyat di hati Hauzan mengembalikan ingatannya ke masa dimana dia masih bisa bersenda gurau bersama teman-teman kecilnya dimana mereka berangkat menuju ke masjid untuk mengaji dan menunaikan kewajibannya. Dan parahnya mungkin itu sudah melupakan kapan terakhir keningnya bertemu dengan bumi untuk bersujud mengagungkan namaNya.
Kegetiran hatinya membawa tubuhnya kesini. Entahlah, Hauzan sangat merindukan adik kecilnya yang cerewet tapi sangat dia sayangi. Adik kecilnya yang kini telah berubah menjadi sosok yang baru dia temui sebelumnya. Ah, seandainya Mama Rien tidak memaksa untuk menerima kehadiran seorang wanita putri sahabatnya untuk dijodohkan dengannya.
Kenyataan yang membuatnya pusing dan ingin berlari menjauh. Hauzan bukanlah pria yang senang dengan keterikatan namun bukan berarti dia menyukai melampiaskan hasrat biologisnya kepada wanita yang belum menjadi miliknya. Meski dia tidak pernah sholat namun Hauzan tahu bahwa melakukan itu harus melalui gerbang pernikahan. Mengingat gerbang pernikahan, usianya memang sudah sangat mungkin untuk mulai memikirkan itu namun sekali lagi dia masih ingin menjadi seorang yang bebas tanpa terikat dengan wanita manapun juga.
"Kamu itu nunggu apalagi Hauzan. Mama tidak memilihkanmu dengan wanita sembarangan loh. Dia juga sama sepertimu. Seorang dokter, kalian pasti akan nyambung kalau berdiskusi." kata Rien Anjani saat pertama mengutarakan keinginannya untuk memperkenalkan Hauzan dengan putri temannya.
Mengapa seorang dokter lebih memilih menikah dengan dokter atau dengan tenaga medis lainnya? Karena menurut sebagian dari mereka dosisnya tepat, seperti obat jika dosisnya tepat akan memberikan hasil yang baik bagi tubuh dalam mengobati penyakit. Namun itu tidak berlaku untuk Hauzan, tidak ada keinginan di dalam hatinya untuk menikah dengan seorang dokter. Jangankan dengan seorang dokter, keinginan untuk menikah saja dia masih belum punya. Rasanya ingin menertawakan dirinya sendiri. Apakah sudah semiris itu hidupnya sampai mamanya harus bersusah payah mencarikan seorang istri untuknya? Rasanya tidak. Bukan karena dia tidak laku, tapi karena Hauzan belum mau. Sekali lagi belum mau!!
Dan sore ini adalah waktu yang telah di tentukan oleh mamanya untuk bertemu dengan wanita itu. Itu alasannya mengapa Hauzan memilih untuk mengasingkan diri dan menemui adiknya. Pekerjaannya? Dia sudah menitipkan kepada sejawat dan menutup prakteknya sebelum jam praktek pribadinya buka.
Hauzan Falabia, 34 tahun. Seorang internis yang terkenal bertangan dingin. Dia bukan dokter yang dingin seperti yang biasanya sering di ceritakan di roman-roman picisan. Sikapnya yang hangat kepada semua orang membuat Hauzan sangat diterima di banyak kalangan. Hanya saja tentang kehidupan pribadinya dia benar-benar menutup akses kepada siapapun juga yang ingin mengetahui dan masuk ke dalamnya.
"Bang, masih juga duduk disini. Ambil wudhu sana, sholat maghrib. Yang lain sudah selesai berkencan dengan Allah Abang masih juga bergeming disini. Giliran nanti abang sudah tidak bisa datang untuk bersujud lagi sadar dan ingin waktu diputarbalikkan." Kata Renata mengoyak lamunan Hauzan. "__atau jangan-jangan abang lupa bagaimana caranya sholat makanya tidak mau mengerjakannya?"
Skak mat, bukan hanya lupa. Hauzan memang tidak tahu bagaimana caranya.
"Kalau begini Abang sebaiknya memang harus berkenalan lebih jauh dengan Kak Nuha. Tapi masalahnya Kak Nuha bersedia untuk mengajari Abang atau tidak ya, secara Abang kan bukan mahramnya dan Kak Nuha sangat konsisten dengan hal itu."
"Nuha lagi, Nuha lagi. Apa tidak ada bahasan lainnya yang lebih baik. Wanita sok arab yang nggak banget itu? Nggak kamu nggak mama sama saja." Pertanyaan yang menyerupai cibiran diarahkan kepada Ainuha. Rasanya Renata ingin membuka mata kakaknya lebar-lebar. Bagaimana mungkin orang yang belum mengenal bisa menilai seperti itu.
"Menutup aurat itu perintah bagi muslimah Bang. Kita itu__"
"Ingat ya kita ini orang jawa. Budaya kita tidak seperti mereka, kita memiliki ciri khas pakaian kita sendiri sebagai orang jawa." Kata Hauzan yang langsung dijawab oleh Renata.
"Lalu mengapa Abang sekarang pakai celana jeans? Tidak memakai jarik seperti layaknya pakaian orang jawa?" tanya Renata yang langsung mendapat tatapan dengan sorot tajam berkilat.
Coba bayangkan seorang dokter di era modern ini harus mengenakan beskap dan jarik dengan membebat perutnya dengan centing atau stagen. Bagaimana dalam keadaan emergency dan membutuhkan pelayanan dengan cepat. Apakah dia bisa berlari seperti layaknya seorang dokter yang sedang berlari menyambut code blue untuk segera memberikan tindakan medis kepada pasien? Pertanyaan Renata saling berkejaran di dalam otak Hauzan.
"Perihal Jawa, Arab, Eropa, Afrika itu tidak akan menjadi masalah jika kita mengetahui dengan pasti mengapa kita harus berpakaian seperti itu? Tidak mungkin abang, seorang tukang pemetik kelapa memakai thoub layaknya lelaki arab. Demikian juga Abang, giliran dapat emergency pasti akan rempong jika harus mengenakan jarik. Iya itu dulu, mungkin dipakai oleh dokter Wahidin Sudirohusodo jaman dulu. Namun seiring dengan perkembangan jaman, celana, rok itupun juga ada pengaruhnya dari budaya Belanda yang memperkenalkan kepada kita. Ah, Abang ini kelihatannya pintar tapi ternyata tidak cerdas. Pikirannya cethek, huuuuuuu." Tambah Renata yang langsung membungkam bibir Hauzan.
Diamnya Hauzan ini membuat Renata semakin berpikir bahwa ada sesuatu antara kakak dan orang tuanya.
"Abang sedang ada masalah dengan Mama?"
"Eh__kamu? Mengapa kamu__?" Hauzan tergagap mendengar pertanyaan dari Renata yang langsung mengarah kepada intinya namun secepatnya dia bisa menguasai keadaan dan bertanya dengan kalimat yang tidak menimbulkan asumsi yang berlebih dalam benak Renata. "Abang kangen sama kamu, kita cari penginapan disini. Abang juga ingin merasakan jadi mahasiswa lagi."
Bukannya membuat Renata diam dan menuruti namun semakin penasaran dengan sikap 'tidak biasa' yang ditunjukkan kakaknya. Renata mengerti bahwa Hauzan sesungguhnya sangat menyayanginya, jadi sekedar untuk menjenguknya di tempat KKN bukanlah hal yang istimewa hanya saja sikapnya yang sedikit berbeda dari biasa membuat Renata mengambil kesimpulan itu.
"Abang tidak bermaksud untuk melarikan diri dari rumah kan?"
Rasanya percuma saja membohongi Renata karena adiknya itu sangat mengerti bagaimana perangai sang kakak jika dia sedang membutuhkan bantuan. Dengan kilat akhirnya Hauzan menceritakan semuanya, namun bukannya empati dari Renata yang dia dapatkan dengan keadaannya namun justru tawa keras dari bibir Renata hingga dia harus memegang perutnya untuk menghentikan semuanya.
"Menikah itu memang untuk menyempurnakan separoh agama Abang. Ibadah, amal kebaikan kita bisa dilipatgandakan pahalanya karena kita menikah."
"Ah kata siapa?"
"Makanya Abang mengaji biar tahu dan mengerti. Apa sih sebenarnya yang menjadi tujuan hidup abang? Bekerja? Mengumpulkan uang? Membangun rumah? Menumpuk aset? Apa semua itu nanti bisa menyelamatkan abang ketika Allah menghisab amalan Abang di akhirat nanti? Jika Abang diminta memilih mana yang akan Abang baguskan. Rumah masa kini yang akan Abang tinggalkan selamanya atau rumah yang Abang bangun dan akan Abang tinggali selamanya?"
Apalagi yang harus Hauzan jawab jika jawabannya sudah sangat jelas. Tidak perlu dijelaskan lebih panjang lagi, apa artinya rumah yang dimaksud oleh Renata. Sampai akhirnya mereka mendapatkan kamar di sebuah penginapan, keduanya hanya terdiam dalam alur pikiran masing-masing.
Renata memutuskan untuk menginap bersama sang kakak. Tujuannya hanya satu, sebelum mengajak kedua orangtuanya berubah. Kepalang tanggung kakaknya sudah melihat perubahannya, maka dia putuskan untuk mengamar makrufi sang kakak untuk bisa berubah. Setidaknya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu sholat.
Keputusannya untuk mengajak Hauzan keesokan harinya ke rumah Nuha sudah bulat. Biarlah kakaknya tidak menyukai itu tapi Renata sangat menyayanginya dan dia bersedia menukar dengan apapun untuk kebahagiaan kakaknya. Jika sang kakak memilih untuk lari dari acara yang sesungguhnya telah dirancang untuknya berarti dia sudah sangat tidak menginginkan itu. Namun meski mengomel sebanyak apapun tapi masih mau mengikuti berarti masih ada harapan untuk melangkah maju.
Malam yang panjang karena Hauzan memilih untuk merenungkan semua kehidupannya. Pertemuan dengan Renata sore ini menghantam dengan jelas kekokohan hatinya dengan dalil-dalil kuat tentang arti kehidupan yang selama ini begitu dia agungkan.
Bukan dengan omelan panjang. Pagi ini Hauzan justru lebih banyak terdiam. Setelah mengantar Renata untuk bergabung dengan teman-temannya yang harus menyelesaikan kegiatan desa akhirnya sampailah dia di sebuah rumah sederhana. Dikatakan sederhana karena memang rumah yang memiliki halaman luas itu tidak menonjolkan sesuatu yang istimewa. Hanya dua kata yang bisa menggambarkannya, bersih dan asri. Dengan sebuah mobil yang berada di halaman luasnya.
Ketika mereka berdua telah mendekat rumah dan hendak mengucapkan salam terdengar percakapan dari dalam yang begitu mengusik hati Hauzan. Dia memang belum pernah merasakan jatuh cinta atau mencintai wanita dengan pandangan sebagai lelaki dewasa. Namun bukan berarti dia tidak memiliki hati untuk bisa merasakan perasaan orang yang lain yang tersakiti.
"Ana tahu itu sunnah Ukh, namun tetap saja. Tidak mungkin bagi ana bisa seperti itu karena tanggung jawab ana sebagai Aparatur Sipil Negara. Mohon untuk bisa mengerti akan hal ini." suara Ainuha terdengar begitu bergetar. Masih berdiri di tempat yang sama Hauzan saling bertatapan dengan Renata. Mereka sama terdiam seolah menunggu kelanjutan dari percakapan itu.
"Ana siap untuk mundur Nuha, wallahi."
"Nuha, tolong berikanlah kebahagiaan untuk istri ana. Sesungguhnya ana juga tidak menginginkan semua ini namun karena Aisha yang terus meminta akhirnya ana mengabulkan. Inshaallah ana tidak akan menyakiti siapa pun." kini suara seorang laki laki yang begitu lembut terdengar di telinga.
"Sekali lagi afwan Gus Eshan, selain itu ada hal yang sangat pribadi yang tidak bisa ana sampaikan disini. Mohon untuk bisa dimengerti."
Hauzan sepertinya paham kemana arah perbincangan mereka. Sebenarnya tidak ingin ikut campur namun sepertinya Nuha membutuhkan bantuan untuk melepaskan diri. Tiba-tiba kakinya melangkah masuk ke rumah diantara semuanya yang membuat mata Nuha membulat karena keterkejutannya dan langsung menyapa Nuha dengan begitu hangatnya, berbeda dengan hari sebelumnya yang begitu antipati dengan Nuha.
"Mengapa kamu tidak mengatakan yang sesungguhnya tentang kita Nuha? Kemarin sepertinya aku sudah memintamu untuk itu. Sebentar lagi kita akan menikah, lalu apa lagi__?"
"Ainuha__?" seperti tidak percaya dengan ucapan lelaki asing yang tiba-tiba berada diantara mereka Aisha langsung berbicara dan matanya menatap lurus kepada Nuha untuk meminta jawaban sekaligus klarifikasi kebenaran atas ucapan lelaki asing itu.
Sementara Nuha yang masih terkejut dengan kedatangan lelaki yang dia ketahui adalah kakak dari Renata itu benar-benar membuat suasana mendadak mencekam. Bibirnya menjadi kelu namun dia harus menjelaskan sebelum kesalahpahaman ini menjadi melebar kemana-mana. Namun sebelum bibirnya mengeluarkan suara Gus Eshan sudah langsung mengakhirkan pertemuan mereka.
"Ukhti, afwan. Kami benar-benar tidak tahu jika Ukhti sedang berproses dengan seseorang. Maafkan kami yang tanpa sengaja masuk diantara kalian. Tidak perlu dijelaskan lebih lanjut, sekali lagi kami mohon maaf dan permisi. Ayo Neng, kita sebaiknya pulang." tidak butuh persetujuan Aisha, Eshan langsung berdiri dan meninggalkan ruang tamu rumah Nuha secepatnya setelah mengucapkan salam.
What's the problem?
Harusnya Nuha bisa marah kepada Hauzan karena dia menyebarkan isu yang sama sekali tidak ada kebenarannya. Namun bibirnya tetap bungkam dan membisu. Harusnya Nuha bisa berteriak untuk membungkam bibir Hauzan yang begitu lancang ikut masuk terseret dalam lingkaran masalahnya. Harusnya dan harusnya, namun bibir mungil itu justru terdiam. Hanya kalimat istighfar yang kini Nuha lantunkan untuk menenangkan hatinya. Hatinya bergemuruh namun logikanya tetap berjalan dengan benar. Tidak akan ada jalan keluar dengan menyalahkan orang lain.
Pertanyaannya dalam hatinya adalah mengapa Hauzan melakukan semua itu kepadanya?
Dalam keheningan itu tiba-tiba interupsi suara gawai yang berbunyi nyaring membuat semuanya menjadi tersadar. Hauzan segera menggeser panel button berwarna hijau untuk bisa tersambung dengan seseorang yang berada di ujung sana.
"Sudahlah Mama, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi." oh, ternyata telepon dari Rien yang membuat kening Hauzan berkerut kemudian menatap Nuha dengan begitu dalam. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu untuk keluar juga dari acara perjodohan yang dilakukan oleh mamanya.
"Aku sudah memiliki calon Ma. Tidak perlu mencarikannya lagi. terimakasih Mama sudah begitu perhatian kepadaku." kemudian Hauzan segera memutus sambungan telepon antara dia dan Rien.
Berbohong untuk kebaikan memang disarankan jika itu memang sangat diperlukan. Dan sepertinya untuk saat ini Hauzan memilih untuk berbohong kepada mamanya. Entah dia memiliki rencana apa di dalam otak cemerlangnya. Namun senyum manisnya kini terkembang kemudian mengucapkan sebuah kata kepada Nuha yang sedang tertunduk di hadapannya.
"Maaf."
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
🍒🍒
Selamat berhari jum'ah......jangan lupakan melantunkan Alkahf untuk hari ini...😉😊
Blitar, 13 Desember 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top