03 🏈 Seorang Renata
-- happy reading --
🍒🍒
-- Ainuha Soraiya PoV -
Belahan bumi yang selalu aku pijak dan menjadi saksi atas semua doa yang aku bisikan kepadanya untuk bisa dilangitkan hingga menggetarkan arsy-Nya masih terlihat sunyi. Sepertiga malam yang sulit sekali aku lalui tanpa bergelung dengan tumpahan air mata untuk selalu memujiNya. Ya Allahku, tempat segala curhat, keresahan dan kebimbangan hatiku. Kepadanya selalu aku meminta jalan keluar yang terbaik.
Katakanlah seorang Bill Gates yang menjadi orang terkaya nomor wahid di dunia dengan harta melimpah yang dia miliki, atau Carlos Slim Helu, Amancio Ortega, Warren Buffet, atau yang lain-lainnya. Ternyata mereka semua kalah dengan seorang muslim yang dengan rutin berdiri dengan dua rokaat fajar, yaitu melaksanakan dua rokaat qobliyah subuh karena itu lebih baik dari dunia dan seisinya. Lalu aku? Relakah aku melewatkan menjadi orang paling kaya sedunia?
Aku segera berdiri setelah adzan subuh berkumandang. Menegakkan dua rokaat fajar untuk menjadi muslimah yang bisa menikmati kebaikan dari dunia dan seisinya. Sunnah yang sedari kecil selalu di dahulukan mengingat ini adalah amalan pertama ketika kita memulai aktivitas setiap harinya. Menjadi guru sekaligus ibu rumah tangga meski aku sendiri belum menikah dan juga belum memiliki anak.
Tugasku sebagai seorang anak perempuan dari ayahku satu-satunya adalah menyiapkan semua kebutuhan Ayah. Mulai dengan sarapan beliau hingga pakaian yang akan beliau kenakan untuk pekerja di peternakan. Ya peternakan sapi yang cukup untuk membiayai kehidupan kami dengan susu yang dihasilkan oleh sapi perah yang kami pelihara.
"Malam ini Ayah ada acara di Surabaya, Nuha."
"Kok mendadak Ayah? Ada acara apa?" tanyaku saat tiba-tiba ayah mengatakan akan pergi ke ibu kota provinsiku itu.
"Sebenarnya tidak, cuma ayah lupa untuk memberitahumu. Ada pertemuan dengan Gubernur dan Menteri. Ayahmu yang ditunjuk untuk mewakili peternak dari kota ini. Pagi ini Ayah akan berangkat mungkin sampai dua hari mendatang. Biar nanti mbak Tumi yang menginap di rumah untuk menemanimu." Mbak Tumi itu adalah sepupu Ibu yang bisa membantu di rumah jika kami membutuhkan bantuan seperti saat ini saat ayah harus keluar kota dan aku sendiri di rumah. Mbak Tumi yang biasanya menemaniku.
"Iya ayah. Hati-hati di jalan. Nuha berangkat dulu ke sekolah. Tidak elok rasanya kita meminta para siswa untuk tidak telat datang tetapi bu gurunya malah ngaret. Assalamu'alaikum. Nuha sayang Ayah."
Ayah hanya tersenyum sambil membelai kepalaku setelah aku mencium tangan kanannya. Harta paling berharga yang kumiliki kini, penyemangat hidupku, orang yang selalu mendukungku dalam kondisi apapun. Bagaimana mungkin aku tidak mengungkapkan rasa sayangku kepadanya. Rasanya milyaran rasa sayang yang aku ucapan tidak akan pernah bisa membalas apa yang telah beliau berikan kepadaku. Terlalu naif jika semua harus dihitung dengan angka, tidak akan pernah sebanding selamanya. Sekarang yang ingin aku berikan hanyalah kebahagiaan Ayah, bagaimana membuat ayah tersenyum dan bangga telah memilikiku meski aku tahu aku bukanlah wanita yang sempurna dengan semua kekuranganku.
Rutinitasku, tertawa bersama mahasiswa kecilku. Aku adalah seorang guru, mengajar mahasiswa kecil yang duduk di bangku sekolah dasar. Anak-anak yang baru bisa membaca dan menulis, anak-anak yang selalu kritis menanyakan segala hal yang belum mereka ketahui. Dan tugaskulah untuk mengantarkan mereka menjadi penerus bangsa yang berkualitas.
"Bu Nuha, boleh minta waktu sebentar."
Dahiku mengernyit menanggapi kalimat dari seorang mahasiswi cantik yang sedang melakukan KKN di desaku. Tidak biasanya dia berkata seperti itu kepadaku karena kami memang jarang bertemu di sekolah. Tapi kali ini dengan sengaja dia mendatangi sekolah tempatku mengajar hanya untuk bertemu denganku. "Boleh. Ada apa ya Dik Renata?"
Gadis cantik dengan rambut di kuncir kuda itu adalah Renata, mahasiswa KKN dari fakultas ekonomi yang sangat nyentrik dan modis penampilannya. Glowing dan bersinar, wajar jika dia menjadi buah bibir di desa sejak kedatangannya karena kecantikannya.
"Saya kan kebetulan diminta oleh koordinator wilayah untuk bisa membuat profil warga yang dirasa bisa mewakili. Nah kebetulan kan saya diminta untuk menulis profil seorang guru. Saya pikir Bu Ainuha menjadi salah satu kandidat yang paling cocok untuk kami wawancara." Kata gadis cantik yang kini telah duduk di sebuah kursi di hadapanku.
"Mengapa harus saya?" tanyaku saat dia menyelesaikan penjelasan untuk menemuiku. Jelas aku ingin tahu alasannya mengapa dia memilihku untuk itu.
"Saya melihat ibu sangat produktif sekali. Menjadi guru kesayangan adik-adik dan juga mengajar ngaji juga di masjid untuk mereka. Disamping itu juga karena Bu Nuha sukses seperti ini, mohon maaf hanya besar dengan Ayah. Jadi mungkin itu yang menjadi alasan paling mendasar kami, atau saya secara khusus."
Tidak ada yang salah untuk berbagi cerita. Bagiku pengalaman hidup bukan sesuatu yang harus disembunyikan jika memang bisa menginfluence orang lain untuk bisa menjadi lebih baik. Mengenai sesuatu yang tidak bisa aku ceritakan pasti tidak perlu untuk dibagi. Bukankah Allah akan menutup rapat aib kita ketika kita sendiri berusaha untuk menutupnya dengan rapat. Sekali lagi dengan huruf besar dan garis bawah jika perlu. Allah akan menutup rapat aib kita ketika kita sendiri berusaha untuk menutupnya dengan rapat. Tidak perlu cerita kepada orang lain terlebih curhat di sosial media. Allahlah yang tempat yang paling aman untuk kita bercerita. Mengenai vonis dokter akan kondisiku cukuplah aku dan ayah yang tahu dengan pasti bagaimananya.
Dalam dua hari ini Renata akan menginap di rumah untuk bisa melihat kegiatan keseharianku dalam jarak yang lebih dekat. Tidak menjadi soal, disamping aku akan punya teman ngobrol ayahku juga tidak sedang berada di rumah. Sehingga Renata tidak perlu sungkan kepada beliau. Dia mengikuti setiap aktivitasku, mulai dari bangun pagi menyiapkan makanan, membersihkan rumah, berangkat ke sekolah, hingga mengajar ngaji di masjid. Dari sekian banyak aktivitas itu aku sangat menikmati bersamanya kecuali satu hal. Saat Allah memanggil hambaNya untuk segera menghadap sepertinya Renata ini terlalu santai atau enggan untuk memenuhi panggilan dari Allah untuk segera menghadap. Awalnya aku mengira bahwa Renata ini tidak seiman denganku. Namun setelah tanpa sadar aku menemukan dompetnya terbuka dan ada sebuah kartu pengenal disana yang menunjukkan religinya rasanya seperti batu besar yang dihantamkan ke seluruh bagian tubuhku. Namun aku masih terdiam karena aku merasa takut jika harus menanyakan itu secara langsung sementara hubungan kami belumlah terlalu dekat.
Hingga peristiwa berlalu, hari berganti dan itu membuatku menjadi dekat dengan Renata, bukan menjadi sebuah rahasia lagi jika aku dan dia menjelma layaknya seorang kakak dan adik. Dia tidak lagi memanggilku dengan sebutan Bu, tetapi dengan panggilan Kak.
Inilah mungkin saatnya waktu yang tepat bagiku untuk mulai bicara. Renata adalah seorang muslimah namun dia tidak pernah menunaikan kewajibannya. Benar sholat memang nomor dua, yang pertama membaca 2 kalimah syahadat bukan dalam rukun islam? Namun ketahuilah bahwa shalat adalah amalan pertama yang akan dihisab oleh Allah kelak di hari kiamat. Apalagi yang akan kita katakan jika timbangan amalan tentang shalat akan jauh berat ke kiri? Naudzubillahimindzalik.
Bukan, bukan karena aku merasa lebih baik namun sebagai saudara sesama muslim aku memiliki kewajiban untuk mengingatkan. Renata memiliki wajah yang sangat cantik, sangat disayangkan jika dia tidak menunaikan perintah Tuhannya. Sementara aurat yang harus di tutup mungkin itu nanti akan pelan-pelan aku ingatkan. Katakanlah aku terlalu mencampuri urusannya, namun sebelum aku mengatakan Al Kafirun ayat 6 setidaknya aku telah mencoba terlebih dulu untuk mengamar mahrufi.
"Maaf Rena, jika aku salah untuk mengingatkanmu." kataku untuk memulai percakapan dengannya setelah aku menyelesaikan sholat maghribku.
"Iya Kak, maksudnya seperti apa ya? Aku kok tidak tahu."
"Kamu ini seorang islam kan?" tidak ada jawaban dari bibirnya, yang aku tahu dia hanya mengangguk kemudian memalingkan mukanya dariku.
"Kamu tahu kewajiban seorang islam itu apa setiap harinya?" lagi-lagi tidak ada jawaban dari bibir Renata. Kemudian aku berdiri dan duduk di kursi sebelahnya seraya mengulurkan tangan untuk merangkul bahunya. "Wajib bagi setiap muslim itu untuk melaksanakan sholat 5 waktu dalam sehari. Kamu tidak ingin mengetahui nikmatnya dengan menjalankan sholat 5 waktu?"
Dia menatapku dalam-dalam tanpa suara. Aku yang akhirnya berinisiatif untuk melanjutkan kalimatku tanpa bermaksud untuk mengguruinya. "Wanita itu pasti akan sangat takut jika timbangan badannya bergerak ke kanan. Dia pasti akan melakukan apapun juga untuk bisa membuat tubuhnya kembali langsing dan indah untuk dipandang mata. Diet, senam, olahraga dan kegiatan yang lainnya. Sholat? Olahraga juga bukan. Bahkan komplit dengan pemanasan sampai pendinginannya. Kita tidak perlu melakukan senam apa itu ya yang bisa memusatkan diri___?"
"Yoga." akhirnya pancinganku untuk membuatnya bicara berhasil.
"Iya, Yoga. Tidak perlu dengan yoga, dengan sholat kita bisa memusatkan pikiran hanya untuk menghadap kepada Allah. Mengagungkan namaNya dan memujiNya atas semua kesyukuran limpahan rahmat yang diberikan kepada kita sebagai hamba." aku cukupkan sampai disitu. Sekali lagi aku tidak ingin mengguruinya. Biarlah dia berpikir menggunakan logikanya, sebagai seorang mahasiswa rasanya tidak pantas memberikan penjelasan panjang lebar seperti halnya mengajar mahasiswa kecilku.
Tidak dalam waktu yang lama kulihat mukanya memerah entah karena malu atau karena apa. Namun beberapa detik kemudian air matanya meluncur jelas. Getaran bahunya aku rasakan sangat keras menandakan bahwa dia dengan kuat menahan isakan tangisnya supaya tidak keluar. Namun aku memahaminya, dia hanya butuh tempat. Dia hanya butuh waktu.
"Menangislah jika itu membuatmu tenang." kataku sambil membawanya masuk kedalam pelukan.
Tidak ada percakapan setelah itu dan Rena memilih pamit kepadaku untuk kembali ke base camp KKN yang berada di rumah bapak kepala desa. Aku hanya mengangguk sambil menatap kepergiannya. Setelah ini mungkin aku harus bisa berbesar hati jika gadis itu marah kepadaku. Entahlah, apakah ini bisa disebut jihad atau justru malah menjadi sebab atas pengibaran bendera perang antar saudara. Tujuanku hanya satu, aku hanya ingin Renata yang cantik itu bisa mengenal Allah sehingga Allah bisa lebih sayang lagi kepadanya.
Dua hari berselang, alangkah terkejutnya diriku saat aku seang mengajar mengaji tiba-tiba Renata datang menghampiriku setelahnya dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Selembar kain menutup kepalanya, bukan jilbab karena lehernya masih juga kelihatan. Aku tersenyum menyambutnya dan saat dia memelukku dengan bersimbah air mata hanya kata tanya apa yang terjadi dengannya yang ada di hatiku.
"Aku ingin sepertimu, Kak. Menjadi wanita yang disayang oleh Allah. Tapi aku tidak tahu harus memulainya dari mana." Klik, gayungku bersambut. Lantunan kebesaran Allah menguar secara spontan dari bibirku. Rasa bahagia menjalar di seluruh ruang hatiku. Adikku, iya adikku Renata telah menemukan dirinya untuk mau belajar mengenal Tuhannya.
Mulai dari A. Tidak ada kata terlambat untuk memulai kebaikan. Renata yang masih terbata mengeja huruf hijaiyah tidak sungkan berada di sampingku saat aku mengajari beberapa anak kecil yang juga sedang belajar membaca AlQur'an. Buku tuntunan sholat yang sengaja aku buatkan ringkasannya, aku berikan kepadanya untuk bisa dipelajari sebelum dia tidur.
"Aku tidak tahu kak, mengapa aku tidak pernah diajari seperti ini oleh orang tuaku. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaan mereka." katanya saat dia sudah mulai bisa dengan sempurna membaca dan melakukan gerakan sholat dengan benar. Pembelajaran yang lumayan singkat. Kemajuan pesat yang ditunjukkan oleh Renata ini benar-benar membuat surprise untukku.
"Stttt, sudah. Tidak perlu menyalahkan siapa atau bagaimana. Yang penting kamu sekarang tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Siapa tahu dengan perubahan sikapmu ini nanti yang akan menyadarkan kedua orang tuamu. Bahwa ada hal yang lebih penting di cari dari dunia dan seisinya ini." Ucapku.
"Aamiin. inshaallah Kak. Doakan juga ya. Semoga papa dan mama bisa secepatnya seperti aku."
"Aamiin."
Dan seperti itulah, tepat di minggu terakhir mahasiswa KKN itu berada di desaku. Penampilan renata telah berubah. Dia tidak lagi memperlihatkan rambutnya. Setiap keluar dia selalu menggunakan pakaian tertutup dan tidak lupa dengan jilbab yang selalu menutup kepalanya. Meski masih dengan celana yang bisa dia pakai, tapi setidaknya itulah caranya untuk berproses kearah kebaikan.
Sore ini adalah jadwalku bersama Renata untuk mengajar para santri yang mengaji di masjid untuk mengenal lebih lanjut tentang tawjid bacaan yang ada di dalam AlQur'an. Renata telah berjanji kepadaku untuk datang namun telah lewat seperempat jam dari waktu yang telah kami sepakati dia belum juga menampakkan dirinya. Padahal biasanya tidak pernah sekalipun dia ingkar janji seperti yang hari ini dilakukannya. Baiklah, mungkin dia mendadak ada urusan yang lain dan belum berkesempatan untuk mengabarkannya kepadaku.
Lebih baik aku memulainya dan segera mengumpulkan para santriku.
"Bacaan apa adik-adik saat nun mati atau tanwin bertemu dengan huruf lam atau ro'?" tanyaku kepada mereka.
"Idghom bilaghunnah."
"Bagaimana dengan nun mati atau tanwin tersebut?"
"Ada tapi dianggap tidak ada ustadzah karena bacaannya langsung masuk ke lam atau ro'." jawab salah satu dari santriku. Ah ini jadi mengingatkanku kepada cinta yang bertepuk sebelah tangan. Banyak meme yang mengatakan, 'di hadapanmu itu aku laksana nun mati atau tanwin diantara idghom bilaghunnah, ada namun tidak pernah dianggap.'
"Selain bilaghunnah ada idghom apalagi?" tanyaku menyambung jawaban mereka. Tapi belum sempat dijawab oleh santriku terdengar suara ribut di serambi masjid yang membuatku akhirnya segera bergegas menuju ke arah sumber keributan.
Kulihat Renata yang dicengkeram lengannya oleh seorang lelaki yang berpenampilan begitu trendy. Sayang, sorot mata yang menatap Renata begitu tajam membuatku sedikit takut untuk menghalaunya pergi. Namun apa iya aku bisa rela jika kaumku diperlakukan seperti itu oleh kaum adam?
"Assalamu'alaikum." Hanya Renata yang menjawab salamku tidak dengan lelaki yang masih mencengkeram lengannya. Namun mata tajam yang tadi menatap Renata itu beralih menatapku seolah ingin menguliti penampilanku. "Astaghfirullah." Allah, mengapa justru aku menikmati rupa lelaki yang bahkan belum sah untuk kupandangi.
"Oughhh, jadi wanita ini yang telah merubahmu seperti ini. Kamu ingin menjadi seperti dia? Berpakaian tidak modis ini? Pakaian teroris. Lalu kamu menyalahkan kami karena tidak belajar sepertimu? Sekarang aku tanya, apa Tuhan yang mulai kamu agungkan itu akan memberimu makan saat kamu tidak memiliki uang? Apa____" kata lelaki yang mencengkeram lengan Renata.
"Astaghfirullah, afwan ya akhi. Tolong untuk dijaga ucapannya. Ini di serambi masjid. Tempat kami memuji Allah dengan keagungan dan ketauhidanNya. Kalau antum tidak menyukai silakan tinggalkan tempat ini, jangan menganggu aktivitas kami. Dan itu, tolong lepaskan tangan Renata. Dia merintih kesakitan karena cengkeraman antum." kata Nuha sebelum akhirnya Renata ikut berbicara.
"Abang lepaskan. Kak Nuha ini memang yang memperkenalkan islam kepadaku. Dia tidak sepicik yang kakak kira. Dan kami bukan teroris. Lepaskan!" kata Renata.
Laki-laki itu melepaskan cengkeramannya kemudian masih menatapku tajam. Aku yang seketika langsung memutuskan pandangan saat mata kami saling bersirobok pandang. Tampan, sayang tingkah lakunya tidak setampan rupanya.
"Kak Nuha, maafkan kakakku. Bang, kenalkan ini Kak Ainuha. Guru sekaligus ustadzah untuk anak-anak yang belajar mengaji disini." Kata Renata mencoba memperkenalkan laki-laki yang diakuinya sebagai kakaknya.
Kulirik dia masih tetap kaku. Diam, bergeming dengan tubuh atletisnya. Renata memelototkan mata kepada sang kakak untuk segera bersuara. Namun lagi-lagi dengan enggan sang kakak justru membalikkan tubuh mungkin berniat untuk menjauhi kami.
"Pendidikan boleh tinggi, seorang dokter spesialis penyakit dalam. Tapi sayang akhlak Abang masih jauh jika dibandingkan dengan anak TK di desa ini." Kata Renata saat sang kakak benar-benar melangkahkan kaki untuk berjalan menjauhi kami.
Aku segera menggeleng untuk mengingatkan Renata. Dan menarik tangannya segera masuk ke masjid dan mengaji bersamaku. Bukan saatnya untuk berdebat. Buatku, tidak ada untung dan ruginya mengenal atau tidak mengenal lelaki yang bersama Renata. Namun ternyata aku keliru, lelaki itu membalikkan tubuhnya dan berjalan kembali ke arah kami. Dengan gagahnya dia segera mengulurkan tangan kanannya kepadaku dan berkata, "Hauzan Falabia."
Aku yang masih terkejut segera menangkupkan kedua tanganku di depan dada. Dengan pandangan tertunduk aku menjawabnya. "Afwan, saya Ainuha Soraiya."
"Lihatlah Rena. Siapa yang tidak berakhlak disini? Dia menolak kan berjabat tangan denganku. Apa menurutnya aku ini penuh virus sehingga dia tidak mau bersentuhan denganku?" katanya kemudian dia benar-benar pergi meninggalkan kami.
Aku hanya bisa memandang Renata dengan senyuman yang lebar. Bagiku sudah sangat sering diperlakukan seperti itu oleh laki-laki. Mereka yang menganggapku sebagai wanita sok suci yang tidak mau menerima uluran tangan dari laki-laki yang tidak bermahram denganku. Bukankah dalam AlQur'an dan beberapa hadist shohih telah dijelaskan alasannya karena apa?
Hai, Bani Adam. Kajilah islam secara hak. Bukan karena adat setempat atau kebiasaan. Apa itu yang membuat kita kearab-araban? Rasanya tidak, ini tentang akidah. Bukan tentang kebiasaan.
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an menjadi bacaan utama
Jazakhumullah khair
🍒🍒
Blitar, 06 Desember 2019
Selamat berhari jum'at dan jangan lupakan Al Kahf untuk hari ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top