01 🏈 Tentang sebuah Keluarga
Baca mushafnya dulu baru buka WPnya 👍👍
-- happy reading --
🍒🍒
Namanya Ainuha Soraiya. Seorang gadis, bukan, bukan, dia adalah wanita yang masih gadis di desanya. Ya, seorang wanita hidup di sebuah desa yang jauh dari hingar bingar masyarakat kota yang menganggap diri mereka lebih kekinian. Di ujung usia kepala duanya dia memilih untuk hidup sendiri bersama ayahnya yang bekerja sebagai peternak sapi perah di desanya. Ibunya telah lama berpulang ke rahmatullah ketika peristiwa naas itu menimpa mereka.
Di pagi hari Minggu itu Nuha yang sedang tidak sekolah diminta sang ibu untuk ikut ke pasar. Membantu membawakan belanjaan yang agak banyak karena akan ada acara RT yang diadakan di rumah mereka keesokan harinya. Nuha yang waktu itu masih duduk di sekolah menengah pertama duduk di boncengan sepeda motor yang dikemudikan oleh sang ibu dengan barang belanjaan yang ada di pangkuannya. Hingga tepat di belokan menuju ke rumahnya tiba-tiba ada sepeda motor yang melaju sangat kencang dan tanpa ada persiapan untuk melakukan pengereman langsung menghantam sepeda motor yang dikemudikan oleh Ibu Nurhayati, ibunda Nuha. Ketika itu ibunda Nuha meninggal dunia sesaat setelah sampai di rumah sakit, sedangkan Nuha harus menjalani beberapa operasi akibat kecelakaan itu. Sedangkan seorang yang menabrak mereka telah dipindahkan ke rumah sakit kota besar yang lebih lengkap lagi fasilitasnya.
Sejak kejadian itulah, kehidupan Nuha berubah drastis. Nuha yang dulu selalu riang, kini lebih banyak berdiam diri. Bahkan bisa dibilang menjadi seorang yang introvert. Ayahnya sendiri juga tidak bisa berbuat banyak. Nuha masih menjadi gadis yang penurut, namun tidak lagi meminta seperti layaknya remaja yang manja kepada orang tuanya. Kehilangan ibu sepertinya langsung merubah sosok Nuha menjadi wanita yang siap bertanggung jawab untuk menyiapkan semua kebutuhan ayahnya seperti dulu yang selalu dikerjakan ibunya.
Membersihkan rumah, memasak untuk ayahnya, mencuci pakaian miliknya dan juga milik ayahnya. Baginya kini tidak ada harta yang lebih berharga dia miliki selain ayahnya yang begitu mencintainya. Bahkan setiap pagi Nuha dengan cekatan selalu menyiapkan pakaian yang akan dipakai ayahnya untuk bekerja di peternakan. Seringkali mata Rahadi basah dengan sikap lembut putrinya. Entahlah, sikap Nuha benar-benar membuatnya tersentuh terlebih saat sang anak meminta untuk menikah kembali dengan seseorang. Sore itu mereka berdua sedang berbincang sambil menikmati teh diantara gerimis yang mulai turun membasahi bumi.
"Nuha ingin mondok setelah SMA Ayah, ingin menjadi santriwati, lebih-lebih nanti jika Nuha bisa membagikan ilmunya di desa ini. Bukankah tiga amalan yang tidak akan terputus ketika kita mati itu ada tiga macam. Amalan jariyah, doa anak sholeh=sholeha dan ilmu yang bermanfaat. Nuha ingin menimba ilmu di sana." Kata Nuha saat mengutarakan keinginannya.
Meski Ainuha terlahir dari keluarga yang bisa dibilang berkecukupan namun sifat sederhana yang selalu ditampilkan membuatnya memang berbeda dengan gadis sebayanya.
"Bukan sebaiknya kamu kuliah Nuha?" tanya Rahadi seketika itu.
"Kuliah bisa nanti setelah Nuha selesai mondok Ayah, Tapi bagaimana nanti dengan Ayah? Ayah akan sendiri sepeninggal Nuha. Atau ayah menikah lagi saja, selain ayah akan memiliki istri yang bisa merawat ayah ketika Nuha sedang mondok Nuha juga akan memiliki ibu lagi."
Jelas tatapan tak bisa diartikan dari sorot mata Rahadi kepada putrinya. Pasalnya sejak meninggalnya Nurhayati, istrinya, Rahadi telah berjanji untuk tidak menikah kembali dan berjanji untuk bisa merawat dan membesarkan Nuha dengan baik sampai nanti akhirnya dia bisa menyerahkan tanggung jawab itu kepada seorang pria yang dipilihkan Allah untuk menjadi suami putrinya.
"Ayah sudah tidak ingin menikah lagi Nuha, sejak ibumu meninggal." Jawab Rahadi getir.
Nuha menggeleng kemudian tersenyum, kemudian mendekatkan dirinya kepada sang ayah. "Ada kebutuhan ayah pastinya yang jelas tidak bisa tersampai jika ayah tidak menikah lagi. Nuha juga ingin memiliki adik, Ayah."
Kenyataan bahwa Nuha adalah anak satu-satunya yang dimiliki oleh Rahadi adalah satu kebenaran. Dan bahwa seorang dokter yang merawat Nuha pasca operasi karena kecelakaan itu menjatuhkan vonis yang membuat masa depan Nuha memburam mungkin perlu dipikirkan kembali oleh Rahadi. Tapi tidak, janji di hatinya untuk tetap setia kepada almarhumah istrinya masih menjadi janji yang akan selalu dijaganya. Mungkin hingga nafas terakhir yang dihembuskannya.
"Allah tetaplah pemilik rencana yang paling indah. Percayalah anakku, jika satu itu yang kamu khawatirkan Ayah sudah ridho, Ayah sudah ikhlas. Mengenai vonis dokter untukmu, itu nanti yang akan kita usahakan bersama. Karena kita tidak akan bisa melangkah jauh sebelum kamu menikah juga kan?" Air mata Ainuha yang menjadi jawaban dari kalimat panjang yang keluar dari bibir Rahadi tersebut.
"Setidaknya ada adik Nuha nantinya yang bisa meneruskan garis keturunan Ayah."
"Itu hanya prediksi dokter, dan dokter itu juga manusia. Sama seperti kita, dia tidak akan tahu apa yang telah ditulis Allah untuk kita semua, termasuk ayah dan kamu di dalamnya."
Kecelakaan lima tahun silam itu memang membuat luka yang serius di tubuh Ainuha, selain beberapa tulangnya yang bergeser Nuha juga mengalami sedikit gangguan di rahimnya yang akhirnya harus di operasi dan membuatnya dinyatakan sulit untuk memperoleh keturunan oleh dokter.
"Ingat Nuha, sulit itu bukan berarti tidak bisa. Kita masih bisa mengusahakan nantinya." Kata Rahadi kemudian memeluk sang putri yang sudah sembab mukanya karena lelehan air mata yang mengalir dari pelupuk mata bulatnya.
Dan begitulah hingga akhirnya benar, Nuha memilih untuk mondok di sebuah pondok modern sekaligus untuk melanjutkan kuliahnya atas perintah Rahadi, ayahnya. Ilmu keguruan dan Ilmu Pendidikan menjadi pilihan Nuha, benar dia ingin menjadi seorang guru. Seorang guru yang ingin membagikan ilmunya kepada orang lain.
'Allahu Rabb, jika mungkin nanti tidak ada kesempatan bagi hamba untuk bisa menerima doa anak-anak hamba karena kejadian di masa lalu hamba. Semoga dengan jalan ini masih ada amalan hamba yang tidak akan terputus saat kematian menjemput hamba nanti.'
Sapuan kedua tangan di mukanya sebagai penutup rangkaian doa yang selalu Nuha langitkan setelah sholat malamnya.
Dan kini sepuluh tahun telah berlalu dari kejadian itu, Nuha masih sendiri. Kembali ke desanya menjadi seorang abdi negara yang bertugas untuk memajukan bangsa melalui putra penerus bangsa dengan berjuta cita-cita mereka. Nuha telah resmi mengajar di sebuah sekolah dasar dan karena dia juga seorang lulusan pondok maka diminta juga untuk mengajar ngaji di masjid sore harinya.
Tidak ada yang memberatkan ketika kita melakukan pekerjaan dengan ikhlas dan penuh cinta. Jika kita mencintai pekerjaan tentu pula akan dengan sangat mudah melakukan walaupun itu merupakan pekerjaan yang sulit. Jadi masihkah kita merasa berat melakukan pekerjaan kita? Jawabannya hanya satu, ketika kita masih merasa berat untuk melakukan pekerjaan itu berarti kita belum sepenuhnya mencintai apa yang kita kerjakan selama ini.
"Siapa yang mengisi pengajiannya nanti?" tanya seorang ibu pada saat sekelompok ibu-ibu muda sedang berbincang menunggu anak-anak mereka keluar dari sekolah.
"Ustadzah Ainuha."
"Oh, yang dari desa sebelah itu ya? Kasihan ya, sebagai seorang wanita dia seperti dipermainkan oleh takdirnya." Jawab ibu lainnya.
"Maksudnya bagaimana saya kok tidak mengerti?"
"Iya, karena kecelakaan yang dialaminya dulu membuat dia menjadi mandul sehingga tidak ada satupun pria yang mau mendekatinya. Bahkan beberapa bulan yang lalu ada seorang yang datang kemudian membatalkannya karena alasan itu. Kasihan ya?" ah, tidak tahukah mereka bahwa dalam perbincangan mereka syaitan berada di dalamnya. Seolah memberikan empati namun justru mencetak dosa dengan mengghibah orang lain. Bukan hanya itu ternyata, mereka juga seolah menyalahkan takdir yang telah diberikan Allah kepada seorang hambaNya.
Apa kesalahan yang dilakukan Nuha kepada mereka hingga harus menerima ghibahan seperti itu. Bukankah Allah itu maha adil dengan semua iradhahNya? Lantas mengapa orang masih juga menggunjingnya?
Selalu berakhir dengan senyum di wajah ayunya. Wanita yang menutup rapat tubuhnya dengan pakaian longgar dan jilbab lebar ini benar-benar telah kebal hati. Menelan sendiri seluruh air mata dan lingkupan doa dalam sujud panjangnya setiap hari. Membisikkan segala kegundahan hatinya kepada bumi untuk bisa dilangitkan kepada sang pemilik Arsy hingga semesta mampu berkonspirasi untuk membersamai kisahnya dengan seseorang yang kelak menjadi kehalalannya menuju surga yang selalu dirindukan oleh semua makhluk ciptaanNya.
"Nduk, kamu sedang apa?" tanya Rahadi saat Nuha sedang menyelesaikan tugas dari sekolahnya di kamar.
"Ini sedang membuat RPP yang harus selesai Ayah, lusa ada pengawas yang akan datang ke sekolah Nuha." Jawab Nuha.
"RPP itu apa to Nduk? Ayah kok nggak mudeng."
"Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, setiap guru seperti Nuha wajib membuat itu sebelum melakukan pengajaran di sekolah Ayah."
"Sulit?" tanya Rahadi lagi.
"Inshaallah tidak, hanya harus menyediakan waktu luang agak banyak untuk membuat itu."
Melihat Rahadi yang tidak segera berlalu membuat Nuha menghentikan pekerjaannya kemudian menatap ayahnya dengan lebih intens. Sepertinya memang ada sesuatu hal yang ingin disampaikan sang ayah kepadanya.
"Ayah ada apa, sepertinya ada yang mau disampaikan kepada Nuha?" tanya Ainuha.
Rahadi kemudian menepuk pundak putrinya kemudian berkata, "Di depan ada pak ustad Eshan Altair bersama istrinya ingin bertemu denganmu." Kemudian Rahadi berdiri dan kemudian melanjutkan ucapannya sebelum meninggalkan Nuha sendiri di kamarnya. "Bersiap dan temuilah mereka."
Ustad Eshan Altair, pengasuh pondok pesantren yang sangat termasyur di kota tempat tinggalnya. Ada angin apa yang menyebabkan sang ustad muda lulusan Kairo itu sampai harus datang ke rumah untuk menemuinya sedangkan dia sendiri kurang begitu mengenal dengan ustad yang berusia dibawah 50 tahun itu. Kening Nuha berkerut namun akhirnya dia memilih untuk menuruti perintah ayahnya untuk segera bersiap. Toh Ustad Eshan datang bersama istrinya, apalagi yang harus menjadi pertimbangan Nuha untuk menolak bertemu dengannya. Di rumah juga ada ayahnya yang menjadi mahram jadi tidak ada lagi yang harus dirisaukannya. Namun pertanyaan besar tetaplah bergelantungan di kepala Nuha, apakah gerangan yang menjadikan alasan Ustad Eshan untuk ingin menemuinya?
"Assalamu'alaikum." Sapa Nuha saat dia telah sampai di ruang tamu dan melihat siapa tamu yang ingin bertemu dengannya.
"Wa'alaikumsalam Ainuha." Jawab istri Ustad Eshan.
Istri ustad itu langsung memperkenalkan diri. Aisha Bassamah, yang ternyata memang satu almamater dengan Ainuha di pondok tempat Nuha menuntut ilmunya. Aisha telah menyelesaikan nyantrinya beberapa tahun sebelum Nuha masuk. Jadi wajar jika mereka tidak mengenal satu sama lain sebelumnya.
"Mashaallah, harusnya ana yang mengunjungi anti, Ukh. Waduh ini seperti keruntuhan duren ana menjadi tersanjung menerima tamu seagung panjenengan berdua." Ungkapan bahagia jelas terpancar dari raut muka Ainuha.
"Inshaallah sama saja. Silaturahim itu bukan berarti junior yang diharuskan sowan kepada seniornya. Lagian ana bukan lagi senior anti jadi kita semua adalah makhluk Allah yang harus saling menjaga ukhuwah. Habluminallah dan habluminannas kita harus seimbang, inshaallah. Bukan begitu Pak Rahadi?" jawab Aisha yang langsung meminta persetujuan kepada ayah Nuha.
Percakapan seputar prolog dan introducing yang cukup hangat mengalir dengan begitu lancarnya. Sesekali Aisha ataupun Nuha yang mencoba mengingat kembali beberapa kebiasaan yang sering mereka lakukan di pondok dahulu. Sampai dengan masalah takzir yang harus di lakukan bagi santri yang melanggar peraturan.
"Nuha dulu termasuk khadimah to?" tanya Aisha akhirnya. Khadimah itu berasal dari bahasa arab khodim yang artinya 'orang yang melayani'. Biasanya ini dilakukan oleh para santri ataupun santriwati yang memang ingin mengabdikan diri untuk melayani kebutuhan kiainya. Para santri yang mengabdikan untuk kebutuhan kiai sedangkan santriwati biasanya mengabdikan diri untuk membantu Bu Nyai di dapur dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh perempuan.
"Ukhti tahu?" tanya Nuha dengan terkejut. Dulu ketika sedang mondok Nuha memang seorang khadimah, bahkan dia sangat dekat dengan bu Nyai yang sudah dianggapnya sebagai ibu. Ummi Rodiyah yang bisa menggantikan sosok ibu yang begitu di rindukan oleh Nuha, mashaallah.
Aisha kemudian menceritakan bahwa beberapa bulan terakhir ini dia dan suami memang sering bersilaturahim ke pondoknya dulu. Bertemu dengan Pak Kiai dan tentu bu Nyai Rodiyah untuk sharing beberapa tata kelola pondok dan banyak hal yang tidak mungkin diceritakan oleh Aisha pada pertemuan pertama mereka.
"Bu Nyai sering menyebut nama anti, sebagai santriwati yang rajin dan sangat patuh." Ucap Aisha pada akhirnya.
"Mashaallah, alhamdulillah. Sanjungan lagi buat ana, Ukhti."
Sungguh tidak ada satu pun yang ganjil dari pertemuan pertama mereka. Silaturahim yang menjadi alasan utama diterima sangat baik oleh Ainuha hingga pertemuan-pertemuan berikutnya mengalir seperti layaknya makanan bernama godir. Godir ngalir, ah perumpamaan yang harusnya membuat rasa syukur atas limpahan karunia yang diberikan Allah semakin meningkat.
Hingga pada suatu kesempatan Aisha mengatakan kepada Nuha atas beberapa hal yang membuatnya harus membulatkan matanya. Ditambah lagi Aisha mengatakan itu dihadapan laki-laki yang masih sah menjadi suaminya.
"Ana harus mengambil pendidikan ini Nuha, bisa tiga atau bahkan empat tahun."
"Afwan Ukh, apa tidak sebaiknya itu pak Ustad yang mengambilnya?" tanya Ainuha.
"Kita telah mengupayakan, namun tidak bisa merubah. Dahulu itu terdaftar atas nama ana, dan ilmu itu sangat penting untuk bisa kami sampaikan kepada seluruh santri." Jawab Aisha.
"Baiklah, lantas apa yang ana bisa bantu untuk anti, Ukh?" tanya Nuha.
Rasanya seolah dunia menjadi pekat dalam keheningan. Tidak ada suara yang menjawab, hanya desau angin yang mungkin menjadi saksi bisu diantara ketiganya. Hingga akhirnya suara Aisha yang lirih memecah keheningan itu mampu menusuk relung hati Nuha.
"Menikahlah dengan Gus Eshan, Nuha."
"Innalillahi." Spontan bibir Nuha mengucapkan kalimat istirjak.
Wallahi, Nuha adalah seorang santri yang tahu persis bagaimana adabnya seorang santri yang disuruh oleh bu Nyainya. Tidak ada kata lain yang keluar dari mulut santri selain kata iya. Karena dawuh Kiai atau Bu Nyai itu adalah berkah untuk para santri. Dan Aisha adalah bu Nyai dari pondok pesantren yang diasuh bersama suaminya.
"Gus Eshan membutuhkan pendamping, Nuha. Empat tahun itu bukan waktu yang singkat untuk seorang laki-laki dewasa yang jelas membutuhkan itu."
"Afwan Ukhti, tapi menikah bukan hanya karena masalah itu saja." Jawab Nuha yang masih terkejut dengan permintaan Aisha.
"Percayalah padaku, menikahlah dengan Gus Eshan dan menjadi maduku."
Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata bagaimana perasaan Ainuha sekarang. Seperti tertonjok namun tak bisa menghindar. Ingin menjerit namun tidak mampu menguar, sembelit dan terkungkung dalam syair-syair yang terlafazkan untuk sebuah kata dengan nama pengabdian.
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an menjadi bacaan utama
Jazakhumullah khair
🍒🍒
Blitar, 22 November 2019
Ini bukan cerita poligami, poliklinik, polibag, terlebih polisemi....
Ini hanya tentang tulisan receh yang bisa dinikmati sambil menyesap teh atau kopi di pagi hari.
Selamat berhari jum'at
Jangan lupa untuk selalu membaca Al Kahf 😍😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top