(9) Demit Ayu

Bekal makan siang ia keluarkan dari dalam tas. Kebiasaan jika tak ada aral melintang, Mak Sari akan menyiapkan bekal Yuda. Kadang juga tidak, jika nasi sarapan berasal dari nasi kemarin dan hanya cukup untuk sarapan saja.

Hari ini Mak Sari izin ingin jalan-jalan bersama temannya ke pasar apa ke mana, Yuda iya-iya saja. Asal nomor temannya sudah dalam genggaman.

"Pak, maaf mengganggu."

Yuda yang tengah mengunyah nasi bertabur bawang goreng langsung menoleh ke pintu ruangan yang terbuka. Ada Sita berdiri sambil membawa tas. "Ada apa?"

Sita masuk dan meletakkan tas di atas meja, dekat dengan kotak makan Yuda. "Tahu dari toko keluarga kami, Pak. Silakan."

Yuda melihat merk tahu yang tertera di tas. "Oh, terima kasih."

"Sama-sama, Pak. Kalau Bapak sedang ada acar, bisa pesan ke saya. Soal harga, dijamin lebih murah dari yang lain."

Yuda tersenyum sekilas. "Iya. Terima kasih sekali lagi. Sampaikan terima kasih juga buat keluargamu."

Sita mengangguk. Dengan binar bahagia karena sambutan Yuda akan tahu yang dikelola Rekta, Sita pamit. Ia berharap mode pendekatan kali ini berhasil, selain kiprahnya menjadi tim marketing yang sukses.

***

"Mak, beli es oyen dulu yuk. Capek keliling."

Mak Sari mengacungkan jempol. Ia pun lelah berkeliling di pasar Pahing, ke toko baju serba tiga puluh lima ribu, ngadem di Golden Swalayan dan berakhir di jalan Dhoho. Niat cuma jalan-jalan, berakhir memabawa belanjaan juga. Hari pun sudah menjelang siang. Sebentar lagi dhuhur.

Keduanya menikmati es oyen dan sebungkus plastik pentol ayam. Duduk berhadapan di pinggir jalan, sembari menatap lalu lalang pejalan kaki dan kendaraan jantung kota Kediri.

"Beli banyak mau ada hajatan to, Nduk? Apa kamu mau nikah?"

Jenar menggeleng. Ia melirik barang belanjaan. Tadi ia berkeliling membeli kain, mika, dan beberapa bunga plastik. "Bukan, Mak. Semua pesenan orang. Aku sama temen nerima order baju, tapi kemarin ada yang pesen mahar dan seserahan. Jadi biar sepaket gitu. Ya sudah, ambil saja."

Mak Sari kagum. Segala jenis pekerjaan sepertinya dilakoni gadis yang tengah membenarkan bros bunga harga tujuh ribu lima ratus di depannya. "Kalau kamu, kapan nikah?"

Pertanyaan tiba-tiba yang langsung membuatnya meringis. Pasalnya, keinginan menikah masih jadi wacana yang membuatnya kadang miris. Ia akan menikah, tanpa orang tua kandung. Punya ibu saja, ia pasti disuruh mengalah karena keempat kakak tiri Jenar belum tampak tanda segera menikah.

"Nanti, Mak. Mau usaha dulu. Usaha ... dapetin dia. Hehehe."

Mak Sari hanya geleng-geleng kepala. "Mampir rumah Mak yo. Kita masak-masak."

"Siap, Mak. Apa sih yang nggak buat Mak."

Jenar segera membayar es oyen dan menyalakan motor menuju rumah Mak Sari. Udara terik membuat bulir keringat di balik jilbab menyatu membentuk pasukan. Gerah, gatal, bersatu padu. Namun, lebih terasa gerah jika melepas jilbab dan api neraka membelilainya.

***

Siang setelah meeting dengan penyewa alat berat bersama tim operasional, Yuda pamit ke bank dan langsung pulang. Bank yang menjadi mitra angsuran bulanan, searah dengan jalan pulang. Lagipula, urusannya di bank pasti sampai sore.

Setiba di bank, Yuda disambut Nila. "Pak Saga ada?" tanya Yuda pada gadis manis yang selalu menayapa dan sudah hafal dengan kedatangannya ke bank tersebut. Gadis yang selalu gugup jika Yuda mengajaknya bicara.

"Ada, Pak. Langsung saja ke atas. Sudah ditunggu." Nila berdiri dan menengadahkan tangan menunjuk tangga. Pegawai bagian Customer Servis mengulas senyum. Yuda membalas dengan anggukan, kemudian segera naik.

***

"Mak, maaf ya jadi ngrepotin." Mak Sari tertawa saat Jenar kerepotan membawa dua kantong belanjaannya.

"Nggak magriban sekalian, Nduk? Di rumah katanya nggak ada orang, tidur sini sekalian piye?" tawar Mak Sari.

"Enggak ah. Rumah juga deket. Di rumah sendiri malah enak, bebas."

Seharian ini Jenar bisa bebas keluar dan pulang menjelang magrib. Bahkan saat mengajar TPQ tadi, barang-barang Jenar ia titipkan di rumah Mak Sari. Mau pulang ke rumah dulu nanggung. Lagian di rumah juga tak ada orang. Tinah ada acara keluarga di rumah adiknya. Rekta di toko, dan pasti menyusul. Sita di kantor, pulang juga langsung ke rumah buleknya. Nila, dari bank juga tak perlu repot pulang dulu, dan Lilis pulang kuliah pasti tak ketinggalan juga ikut. Tinggal Jenar sendiri. Tak pernah diajak jika ada acara keluarga Tinah.

"Pasti kamu nggak sempat masak nanti. Bawa jangan tewel ya," tawar Mak Sari. Jenar hendak menggeleng, namun Mak Sari bergegas masuk ke dapur dan menyiapkan sayur nangka. Tak enak hati, Jenar menaruh kembali belanjaannya dan mengikuti Mak Sari ke dapur untuk membantu.

Mak Sari mengeluarkan kantong plastik ukuran satu kilo. Disendoknya sayur nangka yang tadi ia masak bersama Jenar ke dalam plastik. "Bawa nasi ya? Tuh, ambil kertas minyak di lemari atas." Mak Sari menunjuk arah lemari dengan dagunya. Jenar sigap. Ia langsung mencari ke tempat yang ditunjukkan.

"Assalamualaikum. Mak ... belanja apa aja kok boros banget."

Yuda yang baru masuk rumah langsung disuguhi dua kantung besar yang isinya sedikit mencuat. Melepas sepatu, kemudian bergerak ke dapur. Ia heran kenapa salam dan pertanyaannya tak disahuti. Rumah pun tampak sepi di jam sore. Biasanya sore begini Mak Sari terlihat di ruang tamu sedang melihat Rumah Uya.

Bergerak semakin ke dalam, Yuda mendengar suara cakap diiringi cekikian. Mengernyit heran, siapa gerangan, Yuda mempercepat langkah. Ia sibak tirai yang terikat di tengah dan mendapati Mak Sari sedang tertawa bersama seorang perempuan. Jelas orang itu perempuan, karena ada jilbab abu-abu yang dipakainya.

"Mak?"

Baik Mak Sari maupun Jenar menghentikan tawa dan menoleh ke sumber suara.

"Udah pulang, Le?"

"Iya. Udah." Meski balasan pertanyaan ditujukan pada Mak Sari, namun tatapan Yuda mengarah pada Jenar yang mengernyit.

"Kok nggak salam?"

"Udah." Pandangan Yuda tak lepas dari perempuan yang saat ini bergerak memasukkan bungkusan ke kresek putih.

"Mak nggak denger."

"Hem." Yuda bahkan memperhatikan gerakan Jenar membungkus nasi, merapikan piring, dan membawanya ke tempat cucian.

"Makan, Le."

"Hem."

"Mandi dulu sana."

"Hem."

"Apa sih ham hem terus. Mak masak jangan tewel kesukaanmu ini loh."

"Subhanalloh."

Mak Sari makin bingung dibuatnya. Ia tepuk pundak Yuda begitu sadar tatapan anak lelakinya itu mengarah ke mana. "Ileng, Le. Ileng!"

Yuda tersadar. Ia meringis begitu Mak sari malah menamparnya. "Sakit, Mak. Masya Allah...!"

"Kamu lihatinnya begitu nggak kedip. Mak takut kamu berubah jadu ikan yang nggak bisa kedip."
Haduh, Mak Sari ini bisa-bisa saja.

"Mak, pamit dulu. Makasih ya," pamit Jenar segera. Yuda mundur sedikit agar Jenar bisa lewat. "Mari, Mas."

"Oh, iya."

Yuda tak melepaskan pandangan pada Jenar yang tergopoh-gopoh dengan barang bawaan. Baru Mak Sari menepuk pantatnya, sadarlah pemuda tersebut.

"Siapa itu, Mak?"

"Kenapa? Cantik kan? Temen Mak itu."

"Kayak demit." (Hantu)

Mak Sari menjitak kepala Yuda karena mengejek teman kesayangannya. "Maksude opo?"

"Lah, koyok demit i, Mak. Neng ndi-ndi kok pethuk." (Seperti hantu, Mak. Di mana-mana kok ketemu terus)

"Jodoh paling."

"Mugo-mugo, Mak. Eh? Waduh!" Dan keduanya pun tertawa.

_______________

Semangatnya mana? Komen dan vote dong. Makasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top