(8) Anti Dianiaya

Sudah pukul sembilan, dan Jenar belum juga selesai menyetrika. Cucian hari ini lumayan banyak. Baju-baju kakaknya seperti obralan di Gringging baru keluar karung. Banyak tiada guna. Pakai sejam, ganti. Tidak merasakan derita mencuci, makanya bisa semena-mena.

"Baju kok nggak ada yang beres. Mahalan baju mereka daripada kerudung jualanku," monolog Jenar di depan baju kakak keduanya yang lengannya sobek sampai siku. Gaya pakaian yang tanggung. Sobek, tapi tak jadi.

Sambil mendengarkan siaran dari radio RWS, Jenar kembali menyelesaikan tugas paginya. Tinggal menyetrika saja, kemudian ia akan keluar untuk ikut Umah ke pondok. Sejak acara TPQ lansia beberapa pekan lalu sukses digelar, kini banyak lansia yang menjari santri di pondok. Dulu sempat ada, mbah-mbah yang ikut nyantri. Selain banyak yang meninggal karena usia, juga ada yang dijemput anak-anaknya untuk menghabiskan masa tua bersama cucu di rumah.

Kini, Umah akan mengajaknya sowan ke Bu Nyai agar Jenar diperbolehkan ikut membantu, mengajar lansia di pondok. Karena waktu senggang mbah-mbah adalah pagi menjelang siang, saat santri yang lain dengan status pelajar sudah berangkat ke unit sekolah masing-masing.

"Kamu masak lodeh kok nggak pedes gini to?" Tiba-tiba Tinah protes dari dapur, yang bersebelahan dengan tempat setrika Jenar.

"Mbak Rekta pesen nggak mau pedes. Bibirnya lagi sariawan."

Tinah mendengkus. "Mana enak lodeh nggak pedes gini. Aku nggak mau makan kalau gini." Tinah mengaduk-aduk isi sayur lodeh yang sudah Jenar masak sejak jam tujuh tadi, sambil mencibir.

"Oh, ya nggak apa-apa kalau nggak mau makan, Buk. Kalau lapar dan sakit, Mbak Rekta juga bakal anter Ibu ke Pak Suji. Ngantri dari subuh, dapet periksanya siang."

Tinah semakin mendengkus. Kesal, ia banting sendok sayur sampai dentingnya berisik. Untung piring yang mengenainya nggak pecah.

***

Jenar tiba di pondok pukul sepuluh kurang lima menit. Kali ini ia dan Umah sudah duduk bersimpuh di teras ndalem, menunggu Bu Nyai datang. Seorang mbak ndalem sudah menyampaikan kedatangan Jenar dan Umah. Tak berapa lama kemudian, Bu Nyai datang. Jenar dan Umah dipersilakan masuk dan duduk di kursi ruang tamu.

Sowan pada Bu Nyai selesai, begitu Umah memperkanalkan Jenar dan sedikit wejangan pada Jenar untuk bertindak sabar nantinya. Lansia, tak ubahnya anak-anak yang butuh diberi kasih sayang, sabar menghadapi, dan santun bertindak. Selesai dari ndalem, Umah mengajak Jenar ke kantor pengurus. Di sana sudah ada beberapa pengurus yang mahasiswa, dan kebetulan tidak ada jam kuliah. Pengurus di pondok, tidak hanya mengambil mahasiswa atau santri senior yang tidak lagi sekolah umum saja, namun juga beberapa santrj dengan status masih pelajar SMA. Pemilihan pengurus pun betul-betul dipertimbangkan.

"Assalamualaikum," sapa Jenar begitu masuk mengikuti Umah.

"Waalaikumsalam," jawab lainnya. Ucapan salam kadang tidak terucap secara lengkap. Bukan untuk menghindari keberkahan akan makan sapaan salam, hanya saja beberapa orang kadang memosisikan salam lengkap untuk memulai kegiatan formal. Namun, pengucapan salam alangkah baiknya dibiasakan dengan lengkap. Baik yang memberi atau yang menjawab. Sebagaimana doa, tentu ingin mendapat keberkahan yang lengkap.

Rapat dimulai. Ketua pengurus yang kini menjadi guru madin dengan mata pelajaran Fiqih itu pun mulai membahas program baru untuk pembelajaran santri lansia. Program pembelajaran akan berlangsung pukul sembilan sampai sepuluh pagi dengan kegiatan mengaji baca huruf hijaiyah atau yang sudah bisa membaca, tinggal meneruskan saja. Jika santri lansia mengikuti madin malam, tentu materi yang diberikan akan kesulitan. Sore hari, santri lansia akan tetap mengikuti pengajian kitab kuning meski hanya mendengar tanpa memiliki kitab dan memaknai.

Selain pengurus, ada juga yang sama dengan Jenar. Bukan santri atau pengurus, tapi menjadi ustadzah untuk santri lansia. Ada tiga orang lain, yang seperti Jenar. Direkomendasikan oleh salah seorang pengurus.

Pembahasan tak terasa sudah masuk Dhuhur. Keputusan tentang program, jadwal pembelajaran dan jadwal yang mengajar pun sudah disepakati. Jenar mendapat dua kali dalam seminggu. Rabu dan Sabtu.

***

Yuda mengusap matanya yang basah. Air matanya meleleh tanpa komando. Mak Sari yang melihatnya dari sebelah hanya menggeleng-geleng.

"Mak aja yang iris, kalau kamu nangis terus, Le."

Yuda menggeleng. "Nggak usah. Yang makan juga nanti aku kalau sisa."

Irisan bawang merah untuk digoreng peneman lauk memang membuat Yuda menangis. Meski lelaki, tak ada salahnya cengeng di depan bawang merah. Daripada cengeng karena galau ditinggal pacar pergi merantau.

"Yud, Mak mau jalan sama temen baru boleh?"

"Sama siapa? Ada acara rekreasi ke mana ibu-ibu pengajian?"

Mak Sari menghentikan kupasan wortel. "Nggak rekreasi. Mau jalan sama kenalanku di TPQ waktu itu."

"Oh. Kapan?"

"Belum janjian. Nunggu dia nggak repot."

"Ya wes. Hati-hati. Langsung kabari kalau ada apa-apa. Nanti Mak kasihkan nomor temennya juga. Biar kalau Mak ada apa-apa aku bisa hubungi."

Mak Sari mengangkat jempolnya tanda mengerti. "Oke." Girang bukan kepalang. Ia sudah membayangkan akan jalan-jalan bersama Jenar.

"Oh yo, Mak. Abi mau jodohin aku lagi," keluh Yuda. Seketika ia hentikan kegiatan mengiris bawang. Disekanya air mata yang mulai menetes lagi. Harusnya ia tadi memakai kaca mata hitam saja biar tidak pedih.

"Terus, kamu mau?"

Yuda menggeleng. "Belum tahu. Aku nolak, tapi nggak tahu kalau Abi nekat." Mendesah, Yuda ingat sifat abinya. "Aku mau cari sendiri, tapi kok nggak dapet-dapet."

"Bukan nggak dapet-dapet, tapi kamu sendiri yang nutup diri sama perempuan. Coba kamu lebih ramah sama perempuan, Le."

"Aku nggak galak loh, Mak. Emang aku macan?"

Mak Sari tergelak melihat Yuda tersinggung. "Ya udah, nanti tak bilangin anak-anak temen Mak. Siapa tahu ada yang minat sama kamu. Tak bikin woro-woro."

"Walah, opo aku ini barang dagangan to, Mak."

"Terserah munimu."

"Mak."

"Hem."

"Tolong, jangan kasih tahu ke siapa pun orang tuaku. Karena ... aku pengin orang kenal aku sebagai Yuda. Bukan, Gus."

_________________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top