(7) Rencana Perjodohan

Jenar baru selesai melipat baju ketika ponselnya bergetar. Ada nama Umah yang berdip di notifikasi WA. Segera dibuka, dan dibaca.

Ada paket buat astatid yang kemarin berpartisipasi jadi tutor. Aku yang ke situ, apa kamu main di pondok?

Jenar menimbang sejenak. Jika ia izin lagi ke sana, sudah pasti ibunya akan orasi janji pemerintah yang durasiny melebihi satu vlog kuliner. Kemarin saja ia pulang telat sudah diomelin mirip anak kecil bawa lumpur nempel di baju. Memang sih, selain bercengkrama dengan Mak Sari, ia masih mampir lagi karena ada kumpul panitia.

Padahal Jenar sudah melangkah pergi, melewati gerbang hendak ke halte. Tapi panggilan Umah membuatnya belok tujuan. Sebelum pulang ada kumpul dan pemberian amplop sebagai ucapan terima kasih, juga nasi kotak. Belum lagi masih salat dulu karena masuk jamnya.

"Heh! Setrikain bajuku. Besok pagi-pagi aku pakek." Rekta tiba-tiba saja datang ke kamar Jenar. Anak sulung yang diberi kuasa Tahu Sakwa itu sudah memasang wajah garang saat memrintah. Namun, begitu melihat kakaknya datang, Jenar hanya mengangguk.

"Taruh setrikaan aja. Ngapain Mbak Rekta bawa ke kamarku. Di sini nggak ada setrikaan. Taruh aja, nanti aku kerjain." Kemudian Jenar keluar kamar begitu saja melewati Rekta yang menahan dongkol. Kenapa sih, Jenar tak pernah takut atua mengeluh?

Rekta berniat melabrak adiknya karena tak diacuhkan. Ia mengikuti langkah Jenar yang tak menuju tempat setrikaan, untuk mengomeli lagi. "Heh! Cepetab setrikain!"

Jenar menoleh. Langkahnya terhenti. "Masih besok pagi kan, pakeknya. Sekarang baru jam tujuh malam."

"Besok aku pakeknya pagi-pagi banget. Mana kamu sempet?"

Jenae tersenyum. "Kayak Mbak Rekta pernah bangun lebih pagi dari aku aja. Sempet dong. Masak pagi, cuci baju, sama jemur baju sekalian pagi buta aja aku sempet kok."

Telak. Rekta bungkam. Adik tirinya selalu punya jurus membalik serangan.

"Awas kamu ya?" geram Rekta.

"Awas, udah azan tuh. Kalau nggak mau solat, kena azab. Udah ya, bye dulu Mbak."

***

Seorang ulama yang tengah naik daun, tapi bukan ulat di Teh Mucuk sedang berdiri dan memberikan ceramah. Sementara Yuda, duduk di deretan paling depan bersama abinya yang seorang pengasuh pondok.

Membuka kotak jajan bertulis 'Selamat Menikmati', Yuda mengambil sepotong risoles kentang dengan irisan cabe merah di atasnya. Telinganya saksama mendengarkan isi ceramah. Sesekali ia membuka ponsel dan membalas email yang masuk. Dua hari ia sudah absen dari kantor. Otomatis laporan apa pun hanya bisa ia terima lewat surel.

"Anak Kyai Sambi mau jodohin kamu sama anaknya."

Abi, berbisik pada anak bungsunya yang alhamdulillah akhirnya mau datang dan mengikuti serangkaian acara milad pondok. Biasanya selalu susah.

"Belum ingin nikah, Bi."

"Mau sampai kapan? Umurmu sudah cukup."

"Nanti. Belum ada yang cocok."

"Mau cari yang bagaimana? Teman-teman di kantormu nggak ngerti siapa dirimu. Kalau tahu, apa mereka masih mau? Kamu sendiri kan, yang pesimis bilang begitu sama Abi."

"Nanti, Bi. Biar aku yang cari sendiri."

Keduanya segera bungkam dari aksi bisik-berbisik. Yuda selalu sensitif jika disinggung soal statusnya. Berat memang, jadi anak pengasuh pondok. Dihormati, disegani, dijadikan panutan, semua hal menjadi sorotan. Meski tak seheboh status sebagai artis atau anak pejabat, namun tetap saja ruang geraknya terbatas. Apalagi dari lahir pun ia sudah dibebani tugas berat.

Ingatannya melayang pada masa kecilnya, saat pertama kali mengenal gadis keong. Rana. Ia masih ingat nama itu. Entah di mana gadis itu. Satu-satunya identitas yang ia ingat adalah kalung berinisial R.

***

Atas perjanjian tanpa hitam di atas putih, Jenar pun mengunjungi kediaman Mak Sari. Wanita yang tiba-tiba akrab dengan Jenar itu sudah memberi tahu arah jalan menuju rumahnya saat bercengkrama di dekat pintu masuk santri putri.

Pukul tiga sore, saat Jenar baru pulang dari kantor pengirimian barang, ia ke rumah Mak Sari. Mengendarai motor hasil beli bekas milik temannya, Jenar mencari ciri-ciri rumah yang disebutkan Mak Sari. Begitu melihat rumah dengan halaman yang ditumbuhi aneka bunga dan tanaman lain, Jenar yakin bahwa ia sudah sampai.

Melewati sepinggang bercat putih, Jenar masuk ke halaman. Di teras, ia mengucapkan salam beberapa kali sebelum Mak Sari datang membuka pintu.

"Waalaikumsalam, Nduk. Ayo masuk!"

Mak Sari bahagia luar biasa. Cah ayu kesayangannya datang juga. Mempersilakan masuk, Jenar juga merasa senang. "Tadi nyasar ndak?"

Jenar meletakkan tas di samping ia duduk. "Enggak kok, Mak. Kita kan cuma beda kompleks aja. Cuma bingung beloknya saja."

"Oh. Kirain. Rumah Mak ini paling mudah dicari. Lainnya rumah besar, tingkat, pager besi, nah rumah Mak masih zaman dulu. Paling ujung juga letaknya. Maklum, dulu Mak nempatin tanah ini pas belum jadi kompleks perumahan," jelas Mak Sari yang kemudian jadi ingat masa lalunya.

"Tapi yang paling asri. Ada pohon sama bunga. Rumah lain adanya bunga plastik sama burung," hibur Jenar.

"Mau minum apa ini? Eh, udah makan belum. Ayo makan. Eh tapi, Mak masih masak ini tadi belum selesai. Anak Mak pulangnya sore. Biasanya Mak masak lauknya ya jam segini." Rentet kehebohan Mak Sari menyambut tamu, sungguh membuat Jenar merasa benar-benar dihargai.

"Mak mau masak apa? Ayo tak bantu aja."

Mak Sari berbinar. Segera diapitnya lengan Jenar menuju dapur.

***

Jenar mengulek bumbu untuk perkedel kelapa; bawang merah, bawang putih, cabe, ketumbar dan kunir dalam cobek. Kemudian ia campurkan ke parutan kelapa yang ada di mangkuk. Dicampur dengan tangan, sesekali ditabur gula, garam dan penyedap Soyko rasa sapi agar rasanya lebih endulita. Setelah tercampur rata, ia kepal-kepal menjadi bulatan.

Sementara itu, Mak Sari membuatkan minuman untuk Jenar berupa kopi susu sachetan yang sering diminum Yuda. Namun, kali ini ditambah es batu agar segar. Udara memang tengah panas menjelang matahari terbenam.

"Mak, ini langsung digoreng?"

"Iya."

Acara masak-memasak lauk tak sampai setengah jam. Setelah selesai, Jenar dan Mak Sari menikmati makan di ruang televisi. Namun sebelum itu keduanya salat asar berjamaah dulu. Rasa sop ceker Mak Sari memang luar biasa. Sedap, gurih, empuk, dan menyehatkan.

Setelah makan, Mak Sari dibantu Jenar mencuci piring. Keduanya tampak akrab, saling bercerita dan bersenda gurau.

"Mak, ini anaknya?" tunjuk Jenar saat ia tak melihat-lihat lebih saksama ruang tamu Mak Sari. Ada meja di pojokan yang diisi vas bunga, kotak tisu, buku yasin dan tahlil, dan sebuah pigura yang menampilkan dua orang beda gender dan generasi.

Mak Sari menghampiri Jenar. "Iya."

"Oh, ini yang tak telepon kemarin ya? Yang nggak mau jemput Mak pulang ngaji?"

"Hush, nggak boleh gitu. Mak yang sengaja nggak mau dijemput. Dia anaknya baik kok, Nduk."

"Eh tapi, aku kayak kenal orang ini ya, Mak." Jenar tampak mengingat sesuatu.

"Loh, Mak, ini orang pernah beli jilbab sama aku buat istrinya. Terus, pernah ketemu juga di masjid. Jadi, ini anaknya Mak?"

Mak Sari syok luar biasa. Sejak kapan anaknya beristri? Dekat dengan perempuan saja cuma ayam betina peliharaannya yang bawa lima anaknya cari makan. Masa punya istri ndak ngabarin Mak Sari sih? Dan apa tadi bilang,  beli jilbab? Buat perempuan mana ya kira-kira? Mak Sari patut mencatat deret pertanyaan untuk Yuda saat pulang nanti. Harus!

"Eh, Mak, aku mau pulang ya. Udah sore. Waktunya aku ke masjid ngajar anak-anak. Kapan-kapan main lagi deh."

"Loh, kok kesusu to, Nduk."

"Main lain kali kok aku, Mak. Minta nomornya dong, Mak, biar enak hubunginnya kalo kangen."

___________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top