(28) Bab Bersetubuh
Rekta menggedor pintu kamar Jenar. Saking tak sabarnya, Sita yang sudah emosi di ujung sore itu pun membawa batu pengganjal pintu belakang untuk merusak handel.
"Bodo amat pintunya rusak. Salah sendiri punya telinga disumpel krudung!"
Begitu pintu terbuka, emosi Sita semakin menjadi. Ia lapar karena makanan di meja, kosong. Belum lagi amarah gara-gara Jenar merebut Yuda. Ditambah panggilannya diabaikan. Sekarang, tersangka yang hendak ia giring paksa keluar kamar itu lenyap. Tak ada tanda-tanda Jenar. Kamar tersebut tampak rapi.
"Mana Jenar?" Nila yang baru bergabung ikut masuk. Ia ikuti langkah Sita dan Rekta yang mengobrak-abrik kamar Jenar.
Setelah menelisik, baju-baju Jenar tinggal sedikit. Barang di meja sudah hilang sebagian. Besar kemungkinan bahwa Jenar kabur.
"Dia kabur!" duga Rekta.
"Pasti ke rumah Pak Yuda," sahut Sita.
"Bener tuh! Pasti dia kabur ke sana. Sok ngedrama habis dibully. Modelan dia pasti bakal ngadu macem-macem ke Mas Yuda," tuduh Lilis yang baru pulang kencan bersama pacar dan diberitahu kabar mengejutkan tersebut, ikut naik pitam.
Rekta berkacak pinggang. "Sit, kamu tahu alamat rumah Mas Yuda? Kamu kan satu kantor. Pasti ada data apa gimana. Kita harus jelasin ke Mas Yuda, sebelum Jenar ngadu yang macem-macem."
Sita langsung menelpon seseorang di kantornya, yang pernah ke rumah Yuda. Setelah mendapatkan alamat tersebut, keempat saudara itu berencana ke rumah Yuda malam ini.
"Sekarang Jenar nggak ada. Siapa yang masak? Lelenya habis dimakan Ibuk. Tinggal jangan tewel aja sama sambel," celetuk Nila yang kelaparan.
"Goreng telur aja udah. Gampang itu," menurut Sita.
"Mbak Sita yang gorengin ya? Aku nggak bisa." Meringis, Lilis dihantam kepalan tangan Sita yang geram.
***
Acara memasak lauk untuk makan malam itu pun penuh tragedi. Saat memecahlan telur untuk dibuat ceplok, minyak panas mengenai pipi Sita. Gadis itu mengaduh dan meninggalkan wajan yang tengah panas dan api yang menyala terlalu besar. Telur pun gosong, panci apalagi. Kalau bukan karena baunya yang menyengat, Tinah yang habis dari kamar mandi buru-buru mematikan kompor.
Percobaan kedua dengan teflon, membuat telur dadar oleh Rekta. Kulit telur ikut diaduk dan keasinan. Meski begitu, masih bisa dimakan. Belum lagi Nila yang mengangkat jemuran di belakang, mengeluh kakinya gatal-gatal. Lilis sibuk mengobati pipi dan tangan Sita, kebingungan. Luka bakar tapi malah dikasih Betadhine.
Selesai membuat telur dadar asin, Rekta memanggil adik-adiknya untuk makan. Meski asin dan rasa kulit telurnya terlalu krispi di gigi geraham, mereka pun melahap tanpa protes.
"Besok kita beli aja makannya," putus Sita.
"Ngapain. Kan malam ini kita bawa Jenar pulang. Biar Jenar yang urus lagi," sahut Tinah.
***
Yuda garuk-garuk kepala sebelum melangkah keluar kamar. Hatinya masih gelisah, galau dan merana karena pesan-pesannya tak dibalas. Namun, ia harus mengaji pagi ini. Ia sengaja salat Subuh di kamar, karena jamaah di pondok putri diimami oleh Aini. Biasanya jadwal sebenarnya Umar yang manjadi imam kemudian lanjut mengaji. Dulu, tapi karena suatu hal entah kenapa Abi meminta dirinya menggantikan Umar untuk seterusnya. Sepertinya usaha Abi memang mulai digerakkan lebih, agar Yuda banyak waktu mengurusi pondok juga.
Dibukanya lagi bab yang akan ia bacakan nanti. Lanjutan yang minggu lalu. Masih dalam bab yang membuat Yuda malu sendiri. Menjelaskan hal persetubuhan suami-istri di depan santri putri, dengan status dia yang masih perjaka. Apa ia bawa ember saja saat membaca dan menjelaskan nanti ya? Kalau Umar, jelas sudah pantas. Sudah menikah, dosen pula. Sudah barang tentu mahir menjelaskan di depan umum, materi pelajaran. Tak menganggap ilmu pengetahuan di dalam kitab Quratul Uyun ini hal yang tabu.
Tapi dirinya? Allahu Akbar! Yuda ingin salto saja sebelum keluar kamar agar ia bisa lebih tenang. Panggilan dari Aini membuatnya segera membuka pintu dan melangkah pelan ke masjid.
Suara riuh santri menyambutnya. Ditundukkan pandangan karena tak mungkin juga pecicilan. Begitu sampai di kursi mimbar, ia duduk tenang sembari menyalakan tombol pada microfon. Mengucap salam, ia langsung memabaca dan memaknai. Lima menit berlalu, ia geser kursi sedikit ke depan.
"Saya ini nggak pantes sebenarnya menjelaskan ini. Saya ini belum menikah to, belum bisa praktek juga."
Suara gelak tawa mengiringi. Yuda meringis. Ia tatap lurus ke depan, mengedar sejenak. Kemudian melanjutkan. "Ini pesan buat para suami, termasuk. saya berarti ini ya. Tinggal menunggu acc dari penghulu baru bisa praktek. Jadi, suami yang hendak bersetubuh sebaiknya menghindari hari-hari berikut. Hari rabu yang jatuh pada minggu terakhir tiap bulan, hari ketiga awal tiap bulan ramadhan. Lalu hari kelima awal tiap bulan ramadhan."
"Banyak sekali pantangan bulan ramadhan ini. Nanti kalau punya istri, mau tak suruh coret tanda silang di kalender saja biar tidak lupa ya."
Lagi, suara gelak tawa membahana di pagi hari tersebut. Pandangan Yuda mengedar lagi. Hingga entah kenapa ia berhenti pada satu orang santri yang menunduk terlalu dalam pada posisi duduk bersilanya. Semua santri tertawa, kecuali dia.
Wajahnya tak terlihat jelas, meski duduk di deretan kedua dekat pilar. Namun, Yuda mengenali santri itu. Ia tidak salah lagi. Bahkan saat ia menjelaskan lagi hari-hari yang dihindari; hari ketiga belas pada setiap bulan, hari keenam belas pada setiap bulan, hari kedua puluh satu pada setiap bulan, hari kedua puluh empat pada setiap bulan, dan hari kedua puluh lima pada setiap bulan ... pandangan Yuda tak lepas pada satu titik.
Benar, itu dia.
Derai rindunya yang membara. Kegelisahannya sepanjang malam.
_________________
Punya Umah kok sepi ya. Hiks... hiks... sabar ya kalian.
Betewe, Selamat menunaikan ibadah puasa ya. Semoga barokah dan diterima amal ibadah kita. Jangan lupa buat tarawih dan tadarus. Kalau nggak ramadhan, nggak bakal tarawih juga kan. Momen langka. Jangan disia-siakan.
Follow IG ku @Icha_rizfia ya, karena akan ada fiksi mini yang aku post selama bulan ramadan ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top