(27) Gimana Perasaanmu?

Waktu Dhuhur hampir habis. Beberapa menit lagi sudah menuju Asar. Jenar risua luar biasa. Ia tak bisa mengambil wudhu, dikarenakan situasi di luar masih belum stabil. Tangisnya sudah surut, meski jejak-jejak basah itu masih kentara. Bersedih boleh, tapi ia tak bisa begitu saja melenggang dari kewajibannya.

Menempelkan telinga, memastikan tak ada lagi suara kakak-kakaknya bertengkar, Jenar membuka pintu amat perlahan. Mengintip sejenak, ia lihat dapur kosong. Bersyukur ia dapat kamar belakang, dekat dapur meski lebih kecil dari kamar lainnya.

Dirasa aman, Jenar mengendap langkah sambil menatapa awas sekeliling. Terdengar suara televisi yang dinyalakan. Rupanya ada Tinah yang tertidur di depan televisi. Kakak-kakak lainnya, istirahat di kamar karena lelah jalan hari ini.

Sebelum ambil wudhu, Jenar ke belakang untuk membuka pintu. Area belakang yang dijadikan tempat jemuran, tersambung dengan jalan setapak kebun tetangga yang bisa dilalui menuju jalan depan. Jenar mengambil handuk, baju dan kerudungnya yang kering, alat mandi dan mengumpulkan sejenak di meja setrika sementara ia ambil wudhu. Setelahnya segera masuk ke kamar.

Gimana keadan kamu? Baik2 sj kan? Kenpa tlp ku gk kamu angkat? Aku gk pernah tahu kerasnya khidupan kamu. Pantes Mak pernah peringtin aku buat hati2 saat berkunjug ke rumahmu.

Tunggu sebentar lagi. Aku hanya butuh satu jawaban, dan semuanya akan selesai.

Kapan kita bs ketmu?

Tolg jwab dan pastikan kmu baik2 aja. Aku khawatr.

***

Diantar Umah, Jenar menghadap Bu Nyai. Ia izin untuk ikut mengaji di pondok sesuai yang diminta beliau. Jenar juga izin mondok. Keinginan tersebut disambut hangat oleh Bu Nyai. Berhubung Jenar bukan santri yang bersekolah di unit umum seperti lainnya, maka proses daftar tidak dilakukan secara formal. Lagipula Jenar juga sudah dianggap bagian dari pondok tersebut karena statusnya sebagai ustadzah. Bu Nyai pun memberi izin dan menempatkan Jenar di kamar mbah-mbah, yang mana sekaligus menjadi pengurus di kamar para lansia tersebut.

Diantar Umah, Jenar menuju kamar mbah-mbah. Hanya membawa satu tas ransel, Jenar segera memindahkan barangnya di lemari bekas yang tersisa. Ia tak masalah. Toh barangnya juga tak banyak. Mbah-mbah senang bukan main kedatangan Jenar yang akan menemani hari-hari mereka dari membuka mata sampai menutup mata lagi. Serasa Jenar dianggao cucu bersama oleh kaum lansia tersebut.

"Aku nggak tahu kenapa kamu tiba-tiba mutusin pindah ke sini. Yang jelas, semoga ini bukan karena desakan masalah semata. Mengaji ya mengaji, Jen. Mondok ya mondok."

Umah penasaran dengan masalah Jenar. Tak tahu kenapa tiba-tiba Jenar mengiriminya pesan dan minta diantar sowan. Bukankah Jenar punya rumah, punya keluarga yang harus diurus?

"Iya, Um. Aku niat ngaji di sini. Tapi, emang ada sedikit masalah. Nanti malam aja aku cerita. Sekarang, aku mau mandi dulu."

Jenar melihat jam sudah menjelang Magrib. Tadi setelah dari TPQ ia langsung ke pondok menggunakan jasa ojek online. Ia kabur lewat belakang dan tak bisa mengambil motor karen gerbang terkunci. Ke TPQ saja ia jalan kaki sambil membawa tas ransel.

Hendak ikut salat Magrib berjamaah, Jenar rupanya sedang kedatangan tamu bulanan. Mungkin karena stres hari ini, membuat tanggal bulanannya maju beberapa hari. Sementara lainnya salat, Jenar di kamar sendirian menata baju.

Ponselnya berkedip-kedip dari tadi sebenarnya, dari nomor yang sama. Ia senyapkan karena tak ingin bersinggungan dulu dengan Yuda. Diabaikan juga pesan-pesan dari siang hingga kini. Ia tak pernah tahu, bahwa laki-laki yang ia kenal sebagai anak Mak Sari itu, ternyata direbutkan oleh saudara-saudaranya. Semesta membuat sinopsis yang rumit, dan ia bisa apa? Toh, perasaan manusia tak bisa dikendalikan begitu saja. Meski ia tengah nyaman dan sedikit menaruh rasa, pada akhirnya ia juga bisa apa? Sama seperti hidupnya. Anak yang disisihkan, jadi pembantu, padahal ia lah pemegang kuasa di rumah orang tuanya.

Jenar.

Kmu dimna?

Kamu baik2 saja?

Jenar?

Jgn begini.

Tlong kabri aku sebentr sja.

Jnar?

Dek.

Sayang

*Pesan ini telah dibapus

Nggak jadi dihapus wes. Pokok dibales to yo. Aku nggk bsa tdur nyenyak nanti.

Aku ke rmahmu lagi sekrg ya.

Bls, please.

Aku bawa Mak ke rmh ya. Ajak anjelo sekalin po piye.,

"Nggak solat, Nar?"

Ike yang ia kenal dekat selain Umah, datang masih dengan mukena di tubuh. Jamaah Magrib sudah usai. Sebentar lagi saatnta jam sekolah diniyah.

"Halangan. Salatnya udah selesai ya? Sebentar lagi diniyah berarti."

Ike duduk sambil melipat mukena di dekat Jenar. "Iya. Anak-anak diniyah, aku juga."

"Aku bisa ikut diniyah juga?" tanya Jenar.

Ike menghentikan gerakan melipat. "Bisa sih, tapi masuk diniyah harus tes dulu buat nentuin kamu bakal masuk di jenjang kelas berapa. Eh, tapi kamu bukane udah pernah ngaji nahwu sorof sama kitab kuning juga kan?"

Jenar mengangguk malu. Ia memang pernah ikut dulu saat SMA. Ada pengajian nahwu sorof di masjid dekat SMA nya tiap sore. Jenar ikut, dan hasilnya lumayan bagus. Ia bisa memaknai kitab, meski tak ada latar belakang pesantren, bisa belajar sedikit soal nahwu dan nadhoman. Kemudian saat lulus SMA, ia tak bisa ke masjid tersebut karena kyai yang mengaji di masjid tersebut meninggal. Beruntunt kemudian ia mengenal Umah dan mengenalkannya kehidupan pesantren.

"Iya, sedikit. Tapi bisa kan? Nggak papa aku ikut tes."

Ike kemudian segera pamit karena ada panggilan dari anak kamar yang mencarinya, sebelum menjawab rasa antusias Jenar.

"Mau ikut diniyah, Nduk?"

Salah seorang Mbah mendekatinya sambil melepas mukena. Jenar mengagguk.

"Ngaji sama Mbah saja to," pintanya. "Mbah diwarahi ngaji ben ndang lancar." (Diajari; biar segera)

Sebuah salam terdengar. Rupanya Umah datang, masih dengan mukena. Orang-orang yang ada di kamar langsung menjawab salam dari Umah. Gadis itu menhampiri Jenar.

"Bilang Ike, kamu mau ikut diniyah?"

"Iya, Um. Aku kelas dasar juga nggak papa kalau memang hasil tes nanti dapat segitu."

"Ngapain sih merendah gitu. Aku tadi dipanggil Bu Nyai habis magriban. Katanya kamu disuruh ngajar diniyah mbah-mbah saja. Kalau siang ngaji iqro sama Al-quran, nah diniyah ini kamu ngaji kitab Ta'bir ar-Ru'ya gantiin Mbak Kin."

Kaget juga Jenar. Pasalnya, ia tak mengusai penuh. Apalagi ia harus mengartikan dulu. Mana ia bisa? Menggeleng-geleng, ia sungguh tak sanggup.

"Kok aku? Um, aku nggak bisa maknani kayak gitu. Bisa baca, tapi nggak bisa maknani banyak. Dikit-dikit aja," khawatir Jenar.

Umah terkikik geli dengan ekspresi sahabatnya itu. "Tenang, kitab yang kamu pegang nanti ada makna gandulnya. Kamu tinggal baca sama jelasin."

***

Usai diniyah, jam istirahat bagi santri pun berlangsung. Pukul sembilan malam, kegiatan di pondok usai. Kantin, koperasi dan  tempat menerima telepon dari keluarga pun mulai dibuka. Aktifitas mulai riuh. Canda tawa mengiringi langkah santri menuju kantin, makan melingkar di teras, belajar, dan cemas menggu panggilan telepon dari orang tua di rumah.

Jenar dan Umah duduk di depan koperasi sambil menikmati kripik singkong. Acara curhat pun berlangsung. Umah mendengarkan saksama, tanpa menyela.

"Kalau kamu sendiri, gimana sama dia? Misal nih ya, dia naksir kamu dan mau melamar. Kira-kira bakal kamu terima nggak?"

"Mana bisa aku nerima dia, Um. Tahu sendiri Ibuk pasti nolak dia. Pasti juga, Ibuk lebih milih Mas Yud nikahin anak-anaknya. Aku anak bungsu, anak tiri, kayaknya nggak sebaik itu Ibu izinin aku nikah dulu."

Umah menelisik raut wajah Jenar dari samping. "Kamu ... cinta sama dia?"

Jenar melotot. "Kok nanyanya gitu. Kita nggak boleh pacaran loh."

Umah menggeleng. "Hadeh, yang nanya kamu sama dia pacaran itu juga siapa. Aku nanya kamu cinta nggak? Setidaknya kamu ada rasa, bisa nerima dia jadi imam kamu gitu, Nar. Kalau soal pacaran, aku juga tahu kali. Makanya aku dari bocah udah dijodohin. Nggak kenal deket, tapi dilamar nikah."

"Serius kamu dah dijodohin?"

"Iya. Nggak usah bahas aku, fokus ke kamu aja. Kamu sama Mas Yudyud siapa itu gimana? Kalau dia ada niat khitbah kamu buat ke jalan yang halal, diterima nggak?"

Mendengarnya saja Jenar sudah malu. Ia mendunduk dalam-dalam. Senyumnya terukir manis seraya memejam mata. Melihatnya saja Umah sudah paham.

"Ya udah, sana minta dikhitbah. Mesam-mesem aja. Balik kamar yuk! Besok ada ngajinya Gus Yuda. Aku mau duduk paling depan pokoknya," rencana Umah yang girang. Jenar hanya mendesah. Bilang sudah dikhitbah, malah pecicilan sama gus pondok ini. Ya sudah, Jenar ikut saja Umah mengajaknya balik ke kamar.

_________________

Fres dari jempol. Wakakka.
Betewe, kisah Umah udah tayang ya .... di work ada. Judulnya BINGKAI SENJA. Kesannya suram ya? Wakakak aslinya nggak kok. Kalian akan kenalan sama Mas Hasan yang setipe sama Gus Yuda. Tapi lebih ke Eka sih Mas Hasan ini. Jadi, jangan ketinggalan.

Selain itu, aku buat work resep simpel. Kalau berkenan bisa mampir. Ditunggu kejutan nanti pas Gus Yuda ngaji, ada Jenar jadi santri. WAKKAKAKAKAKA 😂😂

Ditunggu komennya biar semangat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top