(24) Sensus Calon Istri
"Oh, jadi tinggal sama ibu tiri brati ya?"
Jenar mengangguk. Ia menjawab setelah menelan kunyahan nasi soto daging dengan lauk tambahan babat goreng dan kerupuk udang. "Iya. Dan kakak tiri empat orang. Jadi, rumahku rame, Mas."
Yuda mengangguk paham. Berarti ia harus minta izin ke ibu tiri yang sudah mengasuh Jenar setelah orang tua gadis itu meninggal. Tinggal bertanya siapa yang bisa jadi wali.
"Saudara ayah kamu ada yang laki-laki?"
"Nggak ada. Saudaranya perempuan cuma satu. Anaknya juga sama kayak aku, perempuan. Kenapa, Mas? Mas Yud bukan petugas sensus kan?" selidik Jenar yang kemudian menyeruput jeruk hangat.
"Nggak papa. Biar makin kenal aja."
Jenar hanya mengangguk percaya saja. Keduanya lanjut makan hingga semangkuk soto masing-masing dan segelas jeruk habis. Yuda berdiri untuk membayar, sementara Jenar diminta menunggu di parkiran sambil tak lupa menyerahkan uang untuk membayar.
Sambil menunggu, Jenar melihat ada penjual kreco lewat. Zaman sekarang sudah jarang penjual kreco atau tutut, hewan yang biasa ditemukan di sawah. Ingatan Jenar berlari pada hewan yang mirip dengan tutut sawah tersebut. Tak lain adalah keong. Saat kecil ia sering memainkan keong. Melombakan keong masing-masing yang dibeli di penjual keliling. Ada keong yang bergerak cepat, ada juga yang tak mau mengeluarkan kakinya meski sudah ditiup. Bahkan lidah Jenar pernah terkena kaki keong.
"Hei, lihat apa?"
Jenar menoleh. Didapatinya Yuda sudah berdiri sambil mengangkat helm hendak dipakai. "Ada yang jualan kreco. Jarang sekarang orang jualan gitu."
"Kamu mau?"
Jenar menggeleng. "Enggak. Aku sudah kenyang. Pulang aja, udah 'kan beli buahnya?"
Yuda mengangguk. "Udah."
***
Di depan gerbang rumah Jenar, Yuda masih menunggu gadis itu masuk. Meski tak dipersilakan masuk karena tak enak hati bertamu malam-malam, Yuda sadar diri.
"Mas pulang aja. Makasih udah dianter pulang. Salam buat Mak, maaf belum bisa jenguk."
"Iya sama-sama. Santai aja. Mak udah bugar. Ngangkat Anjelo saja kuat sekarang."
"Anjelo?" bingung Jenar.
"Kambing kesayanganku. Namanya keren to? Biar kekinian." Kekehan Yuda menular pada senyum Jenar.
"Aku masuk dulu. Assalamualaikum, Mas."
"Eh, tunggu. Hari Minggu boleh dateng ke sini nggak? Sama Mak, tapi. Maksudnya nggak malem begini bertamunya."
"Boleh. Kabari aja, Mas."
"Ok. Waalaikumsalam."
Setelah Jenar benar-benae masuk, Yuda segera menyalakan motor dan bergegas pulang. Ia kembali lagi ke pesantren, karena tujuannya ke sana untuk pulang. Esok Subuh ia diminta Abi mengaji Qurrotul Uyun di pesantren. Santri putri pula. Sebenarnya mau menolak, karen agak malu saja membahas kitab kuning tersebut. Tapi mau bagaimana lagi. Harusnya jadwal Umar, tapi kakak iparnya itu sedang pulang ke Pasuruan. Hal ini baru pertama kali menggantikan Umar. Biasanya ia hanya badal Abi, itu pun di pondok putra.
Di dalam rumah, Jenar dicibir karena kedapatan pulang bersama laki-laki. Sita yang pertama kali mencibir, menuduh adik tirinya itu sok suci tapi maksiat juga. Kemudia diikuti Rekta yang memintanya tak usah pulang sekalian, Lilis yang menuduh puber diam-diam cipokan ditutupi kerudung, dan Nila sendiri yang masa bodoh. Efek patah hati berhari-hari lalu masih membuatnya gegana.
Tak mau ambil pusing dan menanggapi. Ia langsung ke kamar untuk ganti baju, ke dapur guna mencuci piring dan menggoreng lauk, serta ke belakang mengurus cucian.
Hidup memang melelahkan jika hanya menanggapi penilaian orang lain. Jadi, Jenar memilih diam saja.
____________
Eits, aku potong dulu. Cuma dikit nggak papa yak. Lanjutannya besok.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top